Ibarat Pemancing yang dimainkan Ikan


SEWAKTU di pesantren, saya pernah mendengar peringatan seorang kyai, agar jangan lagi menyentuh narkoba karena dapat menyengsarakan diri. Narkoba adalah sesuatu yang tidak berguna dan dapat berakibat kematian. Jadi percuma saja membuang umur hanya untuk menikmati barang haram tersebut.

Bahkan kyai itu pernah membuat perumpamaan, mencoba narkoba itu ibarat tukang pancing yang bisa-bisa dimainkan ikan. Alih-alih memperoleh ikan, malahan kita yang terseret hanyut. Ada benarnya, memang, memasuki dunia narkoba itu bagaikan menceburkan diri kelautan ide yang tidak jelas batas ke dalamannya.
Narkoba bermula dari masalah dan berakhir dengan masalah. Namun, masalah awal dan akhir memiliki bobot yang jauh berbeda. Ketika hidup sedang dirundung masalah dan tak memiliki jawaban bijak dan cerdas, maka hati dan pikiran kita tak lagi tumbuh, terjebak pada kesombongan sekaligus kepicikan hingga akhirnya mencoba narkoba untuk melepas masalah, Padahal itu justru menimbulkan masalah baru yang bisa bermuara pada kematian.
Namaku Bayu (bukan nama sebenarnya). Aku tinggal di Cimanggis, Depok. Pada tahun 1998 hingga 2002, pernah tercatat sebagai santri di salah satu pesantren di daerah Cikarang Jawa Barat. Meski sudah tidak mondok (tinggal) di pesantren lagi, tapi Bayu sebulan sekali masih datang kepesantren untuk mengikuti pengajian guna menambah ilmu keagamaannya. Ia masuk ke pesantren, awalnya bukan lantaran ingin memperdalam ilmu agama, melainkan karena orangtuanya sudah tidak tahu lagi harus mencari panti rehabilitasi seperti apa agar anaknya bisa berhenti pakai narkoba ketika itu.
Beberapa panti rehabilitasi pernah menjadi kost sementaranya, tapi ia tak pernah jera juga untuk tetap pakai barang haram tersebut. “Bersyukur aku dikirim kepesantren, karena kini aku telah sembuh sebelum sempat diciduk aparat karena memakai narkoba, “katanya datar.
Berangkat dari pengalaman yang kerap nyerempet bahaya dan bisa berakhir kematian, kini Bayu sangat ingin bersungguh-sungguh memperdalam ilmu agama bersama sahabat-sahabatnya semasa dulu menjadi ‘pesakitan’ di pesantren untuk meningkatkan kualitas keimanan yang sempurna.

Awal Kisah
Bagaimana Bayu sampai terjerumus narkoba ?. Diakuinya, ia lahir dari keluarga mampu, ternyata membawa penilaian minus yang tak dapat dihindari saat menjalin cinta dengan seorang gadis sebut saja Btari dari keluarga biasa. Sebenarnya Bayu tak pernah mempermasalahkan materi. Bahkan iapun terbiasa makan di warteg atau warung tenda kaki lima, sayangnya hubungan mereka yang telah terjalin lima tahun tidak direstui orangtua Bayu.
“Apalagi waktu itu, aku tengah menempuh semester akhir, gimana ga stres, “katanya sambil menghiasap rokoknya dalam-dalam.
Menurutnya, yang membahagiakannya saat itu adalah cinta Btari yang tidak pernah berubah. Dia tetap Btari yang dikenalnya saat Ospek, penuh ketegaran. Padahal tak terhitung kalinya Btari menangis karena tekanan dari orangtuaku yang mengharuskan kami berpisah. Hubungan kami sempat merenggang. Kami seolah bermain peran, saling menjauh, tak pernah menelpon dan secara rahasia bertemu di tempat-tempat tertentu.
Tapi serapat-rapatnya bermain peran pada akhirnya ketahuan juga. Suatu ketika aku kepergok orangtuaku sedang makan malam bersama Btari. Orangtuaku marah besar begitu tahu aku masih berhubungan dengannya. Diambilnya kunci mobil dan dipaksanya aku untuk naik ke mobil yang ditumpangi orangtuaku. Namun tiidak hanya itu saja, bahkan kekasihku menjadi sasaran kemarahannya. Akupun masih sempat melihat dari balik kaca mobil, Btari beberapa kali menghapus air mata dengan tangannya yang mungil.
Sejak peristiwa itu, untuk menjaga perasan Btari aku memutuskan menjauh darinya. Sialnya, semakin aku berusaha melupakan, semakin dekat saja bayangan dirinya. Kuliahku yang tinggal selangkah lagi, praktis berantakan, apalagi orangtua menuntut untuk segera menyelesaikannya.
Beragam cobaan yang terus menghantamku, membuat jiwaku rapuh. Kesendirian, frustrasi dan entah apalagi yang bergejolak dalam pikiran dan jiwaku. Perasaaan seperti itulah yang mendekam erat dipikiranku dan membuat beban hidupku semakin berat. Gagal dalam urusan cinta dan kuliah mengubah hidupku jadi semakin tak karuan.
Bayang-bayang frustrasi dan keputusasaan menjelma nyata, begitu dekat dimataku. Aku tak kuasa memikulnya. Sebagai pelarian masalah aku sering ke diskotek ‘HP’ sebagai tempat mangkal sehari-hari melepas stress sambil menenggak minuman keras. “Aku juga gak tahu kapan persisnya pakai narkoba. Semuanya mengalir begitu saja. Bosan dengan minuman, aku coba ekstasi terus sabu dan terakhir putaw, “papar Bayu.
Sambil bercerita, sesekali Bayu menghisap rokoknya, kemudian melanjutkan kembali ceritanya. Menurut Bayu, dibawanya ia ke panti rehabilitasi, lantaran kepergok oleh ibunya ketika sedang pakai putaw di kamar. Bapakku yang tengah sibuk kerjapun ditelpon dan dipaksa pulang oleh ibu untuk membuat keputusan buat diriku. Suasana sempat hening sejenak dan tak lama riuh kembali manakala bogem mentah bapakku mendarat dimuka tanpa sempat aku mengelak. Aku coba melawan, tapi lenganku ditarik ibu. Ibupun protes dengan sikap bapak yang tidak dapat mengontrol emosinya. Tak jarang kalimat istiqfar keluar dari mulut ibu untuk menenangkan hati bapak.

Proses Pemulihan
Setelah suasana berubah tenang, kedua orangtuaku membuat keputusan untuk memasukan aku ke salah satu panti rehabilitasi di Jakarta sebagai upaya pengobatan ketergantungan narkoba. Setelah menjalankan serangkaian pengobatan di panti rehabilitasi dan dinyatakan pulih, aku diperbolehkan pulang. Celakanya beberapa bulan kemudian aku relaps (kambuh) lagi. Kemudian aku masuk lagi ke panti rehabilitasi, tapi setelah keluar aku kambuh lagi.
“Beberapa kali aku keluar masuk panti rehabilitasi tapi gak jera-jera juga, sampai-sampai orangtuaku yang gantian frustasi, “kata Bayu setengah bergurau.
Bersyukurlah, aku punya orangtua yang tidak lelah dan patah semangat membantu menyadarkan diri ini untuk segera lepas dari ketergantungan narkoba. Akhirnya aku diajak ke pesantren oleh orangtuaku untuk segera bertobat dari prilaku yang telah menyimpang jauh selama hidup.
“Alhamdulilah, kini aku cukup bahagia. Apalagi kalau ingat pengalaman beberapa tahun lalu, aku masih bergelimang dengan kenistaan duniawi, “ujarnya.
Diakhir wawancara, Bayu mengatakan, meski dirinya pernah gagal dalam cinta, hidup dalam dunia pesta yang tidak pasti dan terjerat narkoba, namun ia sangat yakin hanya ada satu yang bisa memberikan segala yang terindah dalam memilih arah untuk kemana. Kita memohon saja pada yang Maha Pengasih semoga perlindungannya selalu hadir disetiap langkah kita. Oya, tasbih dan sajadah kini selalu ada dibangku belakang mobilnya, Alhamdulilah. (W)

BEREBUT KASIH SAYANG DENGAN BANDAR



Ronny Pattinasarani
BEREBUT KASIH SAYANG DENGAN BANDAR

Di jagad persepak bolaan tanah air dialah sang macan lapangan. Seorang yang siap menjemput bola di manapun disepak. Pada masa-masa jayanya, ia tampil sebagai pemain dan pelatih sepak bola yang paling dicari oleh klub papan atas. Hingga datang suatu masa yang paling suram… ditengah gelap malam yang senyap, dengan langkah gontai menyusuri hitam jalanan mencari-cari dimanakah gerangan sang anak yang ia kasihi.

Saya sudah tidak perduli lagi orang mau sebut apa Ronny Pattinasarani. Kawan-kawan saya bilang , ‘eh sudah gila barangkali si Ronny, kok jalan malam-malam sendirian…’ “Saya akan lakukan apa saja, dan saya akan lepaskan apa saja yang ada pada diri saya demi anak saya yang sedang menderita”, demikian penuturan Ronny Pattinasarani dalam suatu perjuampaan dengan SADAR di kawasan Kemang.
Berkali-kali Ronny menekankan bahwa dirinya lah yang salah sehingga kedua anaknya menderita oleh kecanduan narkoba. “Saya sebenarnya sedang dihukum melalui apa yang menimpa anak-anak saya”, ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Ya, Ronny harus menerima kenyataan bahwa dua anak laki-lakinya terjerat zat yang mematikan itu.
Ketika ia memandangi anaknya yang tertidur di kamar setelah didera siksaan menahan candu, hatinya berbisik, “Apa kesalahan anak ini sehingga ia harus menderita seperti ini?”
Demi mengasihi kedua anaknya, Ronny melepaskan pekerjaannya sebagai pelatih sepak bola yang merupakan sumber pemasukan terbesar buat keluarga. Ia mencurahkan seluruh waktunya untuk mengurusi mereka. Kapan saja ia dibutuhkan, ia akan selalu ada disamping mereka. Kasih sayang yang bercampur rasa iba dan perasaan ikut menderita yang ditunjukkan Ronny, menghasilkan bentuk perhatian yang sulit dimengerti siapapun juga. Dengan sukarela, Ronny acap menyediakan putaw ketika kedua anaknya sedang membutuhkan. Ia mendampingi hingga ke tempat Bandar untuk membelikannya langsung buat mereka.


Hidup Mati, Beda Tipis
Cahaya lampu hiasan di Dimsum Festival tempat kami bertemu malam itu, meremang, seolah ingin memprotes tindakan Ronny terhadap anak-anaknya. Kenapa bisa begitu? “Alasannya hanya satu”, jelas Ronny, “Saya tidak tega melihat anak saya menderita. Setelah saya lihat sendiri didepan mata saya, putaw yang mereka pakai bisa melepaskan mereka dari penderitaan, saya merasa wajib menyediakannya untuk mereka. Pada saat itu, saya juga menangis karena saya tahu saya ikut membunuh anak saya secara perlahan. Saya tidak punya pilihan lain selain saya harus menolong anak saya segera lepas dari penderitaannya walaupun hanya sesaat. Saya lakukan itu juga karena saya tahu pasti, anak saya sudah bertekad mau sembuh. Tapi mereka kan tidak punya jalan keluar… Supaya mereka tidak lekas menyerah, saya ingin mereka teryakini bahwa saya sangat peduli dengan keadaan mereka”.
Lagi-lagi akal manusia sulit menyelami pengalaman pribadi seseorang yang berpasrah dalam iman, seperti yang dialami Ronny. Berikut kesaksiannya: “Bukan karena saya frustasi atau putus asa, tapi karena saya sudah siap kalau pada akirnya saya akan kehilangan kedua anak saya. Buat pemakai narkoba, kemungkinan hidup atau mati itu beda tipis. Cepat atau lambat anak saya akan meninggal, entah itu karena over dosis atau jadi perampok diluar lalu terbunuh oleh polisi, tapi kalau tokh itu terjadi, mereka sedang berada dalam kasih sayang saya. Itu kekuatan saya juga untuk sealu bertahan agar anak saya bisa sembuh. Karena saya yakin tidak ada kata menyerah sama Tuhan, walaupun kita sendiri babak belur”.
Ronny sampai pada satu titik balik dalam pengabdiannya kepada keluarga, khususnya kedua anak laki-lakinya yang sedang berjuang untuk sembuh. Ia memutuskan untuk mengurus sendiri anak-anaknya. “Sebab setelah dua kali terapi dengan dokter, kedadaan mereka tidak kunjung membaik. Lalu saya ulangi lagi dengan dokter yang lain, tetap tidak baik juga. Hati saya tidak rela seandainya mereka meninggal saat sedang ditangani dokter atau yang lainnya. Jadi saya mengubah sendiri cara penyembuhannya, yaitu dengan mendekatkan diri saya secara pribadi kepada Tuhan dan kepada mereka”, tutur Ronny yang mengungkapkan bahwa rahasia sukses kesembuhan kedua anaknya merupakan proses yang berlangsung melalui tiga simpul hubungan antara dirinya dengan Tuhan, keluarga, dan anak-anaknya. Menurut Ronny, yang membuat rumah tangga menjadi terang bagi anak adalah kasih sayang.
Karena itu ia dan istrinya selalu memperlihatkan kesatuan pendapat. “Mengurus anak normal saja pusing, apa jadinya kalau kita sering ribut-ribut didepan mereka?” sambungnya.
Sofyan Ali, Ketua Gerakan Anti Madat [GERAM], yang menjadi fasilitator kami bertemu dengan Ronny Pattinasarani malam itu menambahkan, “Kalau ada anak terkena narkoba, satu keluarga bisa mati. Masalah narkoba ditengah keluarga menyebabkan tingkat keributan keluarga., utamanya selisih pendapat antar suami-isteri, begitu tinggi sehingga hal itu sering berujung pada perceraian”.

Keduanya Terjerumus Narkoba
Kasih sayang yang ia berikan bukan sekedar ungkapan, namun ia praktekan dalam sikap dan perbuatan. Buahnya ialah anak-anak Ronny, yang termasuk anak penurut terhadap orangtuanya. Ronny bercerita suatu kali anaknya terlihat mengambil barang dari rumah dan pergi mencari putaw, lalu ia kejar dan menyuruhnya pulang, saat itu juga dia akan pulang dan mengembalikan barang. Teringat hal itu Ronny terharu sekai sebab ia tahu anaknya saat itu sedang butuh-butuhnya. Tpi karena anaknya merasakan kasih sayang yang nyata dari dirinya, anaknya tidak pernah sedikitpun melawan dan tidak pernah mau ribut dengannya. Itu pengakuan anaknya setelah sembuh, ketika ditanyakan kembali oleh Ronny setelah tiga tahun lamanya menangani mereka.
Anak kedua Ronny, lebih dahulu terjerumus narkoba. Baru kemudian menyusul kakaknya. Pertamakali anaknya mengaku memakai narkoba, reaksi Ronny biasa saja. Karena informasi tentang putaw waktu itu belum bayak , ia pikir putaw hanya semacam minuman ringan beralkohol atau sejenis obat nipam yang tidak terlalu ganas. “Saya curiga, sakit panas dinginnya anak saya, kok lain meskipun sudah dibawa ke dokter, lalu saya cari tahu apa sih putaw, apa sih shabu. Begitu tahu dari teman yang sering pakai, saya kaget setengah mati…”

Tidak Boleh Saling Menyalahkan
Apa tindakan selanjutnya? “Langkah pertama, saya beritahu Stella, isteri saya. Saya bilang, ‘Anak kita Jerry pakai narkoba. Ini bukan aib, hanya suatu musibah. Karena itu kita harus tolong kita punya anak’. Lantas komitmen awal kami adalah agar diantara kami berdua tidak boleh saling menyalahkan. Setelah itu kami bawa dia menjalani perawatan medis. Tapi tidak sembuh. Si kakak yang tadinya disuruh jaga, malahan ikut-ikutan pakai. Mulailah dari situ barang-barang dirumah sering berhilangan”. Kenang Ronny.
Bagaimana agar emosi tetap terjaga? “Dengan doa. Jarang saya sampai marah-marah. Pernah jam 1 malam orang menggedor pintu rumah. Katanya anak saya punya utang. Mau bilang apa kecuali saya minta maaf… Begitu anak pulang, saya tidak apa-apakan dia sebab dia sendiri dalam posisi otak yang tidak normal. Saya hanya buang waktu dan tenaga bicara dengan orang seperti itu. Yang bisa saya perlihatkan hanya sikap. Saya rangkul dia. Lalu dikamarnya saya sempatkan tidur disampingnya biar cuma lima menit. Jadi hanya itu. Kalau kita ngomel bisa-bisa dia malah kabur lagi”. Bentuk kasih sayang lainnya? “Waktu, kedekatan, dan yang paling penting sikap, itu yang dibutuhkan anak”, kata Ronny mantap, “Misalnya sewaktu dia pulang, saya peluk lantas saya tanya dia darimana saja… Dia pikir dia akan dimarahi ternyata tidak”.
Ketika berurusan dengan Bandar? “Saya tidak dendam, karena megurus anak saya sudah susah. Buat apa tambah masalah? Cuma kepada bandarnya saya bilang, dia tahu saya siapa, dan saya tahu dia siapa, jadi saya minta dia jangan berbuat macam-macam dengan anak saya. Saya tidak mau keras-kerasan , karena itupun tidak akan menolong anak saya, tapi bisa malahan lebih parah”.
Menurut catatan Sofyan Ali, bandar bisa menghabisi pelanggan yang ia rasa sudah mengancam keberadaannya, dengan melebihkan dosis pemakaian narkoba secara sengaja atau mencampurnya dengan bahan yang mematikan. Berkaitan dengan itu, Ronny pernah menyaksikan dua teman anaknya meninggal akibat over dosis, namun dalam pikirannya mereka sebenarnya dibunuh. Itulah yang ia jaga dari anaknya. “Makannya saya berebutan kasih sayang sama bandar”, tandasnya. Ronny mengakui kalau dirinya dulu kurang memberikan kasih sayang dikarenakan jadwalnya yang padat sebagai pelatih diberbagai tim kesebelasan daerah sehingga ia jarang bertemu anak. “Makannya saya anggap ini semua hukuman. Tapi Tuhan tidak menghukum langsung, melainkan melalui anak saya. Hukumannya sangat berat... sangat berat… sangat berat”, tambahnya penuh sesal.

Minum Racun Serangga
Seperti apa perasaan ikut menderita? “Pada waktu anak saya sakaw, saya peluk dia terus… Dia meraung minta tolong agar badannya dipukuli . Tapi saya tidak lepas. Saya peluk terus. Sampai menjelang pagi, begitu saya ada uang, saya belikan putaw buat dia… Kalau sudah begitu, saya tidak bisa apa-apa lagi. Apalagi kalau kedua anak saya sakaw berbarengan. Belum lagi ketika salah stau dari mereka, saya dapatkan hendak bunuh diri dengan meminum racun serangga. Dia merasa sudah tidak punya kekuatan lagi untuk sembuh. Dan dia tidak mau mengecewakan saya orangtuanya. Jadi dia cari jalan pintas daripada menyusahkan orangtua terus, dia lebih pilih mati. Itu pikirannya waktu itu. Saya bersyukur dia masih tetap hidup. Ini yang saya jadikan bahan untuk menghiburnya, bahwa masih ada Tuhan, sahabat yang pasti sanggup menolong. Sejak itu dia punya kekuatan untuk terus bergumul”, papar Ronny sambil memperbaiki posisi duduknya.
Kemana mencari informasi tentang metode-metode penyembuhan dari narkoba? “Nggak tahu, saya seperti kehilangan akal. Tapi dari awal, saya percaya ini hukuman Tuhan. Dan saya yakin hukuman ada batasnya. Yang menghibur saya ialah kalau anak saya belum sembuh, berarti saya belum beres sama Tuhan… jadi saya harus beres dulu. Karena itu saya minta tolong sama Tuhan. Dan sewajarnya kita mendekatkan diri kepada siapa kita mengharapkan pertolongan. Itu yang jadi pegangan saya”. Proses kesembuhan anak-anak Ronny tidak terlepas dari pelayanan gereja. Terapinya, kalau orang sakaw biasanya mencari putaw, disana mereka mencari Firman Tuhan dengan membaca ayat-ayat dari Alkitab dan saling mendoakan. “Dalam Tuhan tidak ada yang mustahil , itu yang selalu saya ingatkan pada mereka”, tambah Ronny yang mendapatkan kekuatan diri dengan selalu berdoa.
Apa pengalaman berharga dari semua cobaan itu? “Keterlibatan mereka dengan narkoba dan kesembuhan mereka yang ajaib, sangat berhubungan dengan pertobatan keluarga. Keinginan mereka yang kuat untuk sembuh, membawa pemulihan dalam keluarga, sehingga kami sekeluarga bisa selalu kumpul. Kedua anak laki-laki saya yang tadinya dianggap sampah, bisa berjiwa besar meminta maaf. Dan mereka membuat kesaksian itu didepan keluarga dan banyak orang… Kami semua menangis waktu itu”.
Nasihat orangtua yang mengalami masalah yang sama? “Orangtua hendaknya jangan takut kehilangan status, popularitas, atau kenikmatan hidup. Jangan takut berkorban untuk kepentingan anak. Kalau anak berhasil sembuh , pasti berkat lainnya akan datang”.

Jatuh bangun seorang wanita pecandu


Jatuh bangun seorang wanita pecandu
“Saya Yakin, Setiap Pecandu Bisa Berhenti!”

AGAK berat untuk mengingat masa lalu yang saya alami. Sedikit takut memang. Entah kenapa, ketika ingin bercerita saya harus berpikir keras. Sebagai seorang wanita, banyak yang telah saya alami dalam hidup ini, hidup yang tergolong kacau dan bandel. Khususnya tentang masalah narkoba. Dikerjain teman hingga mabuk sampai “ditiduri”, kabur dari rumah, berpacaran dengan bandar narkoba, sakaw di tempat kerja, dan berbagai hal nista lainnya. Karena narkoba itulah, hidup seperti angin berputar yang tidak tentu arah.

Itulah kisah ringkas Mona (bukan nama sebenarnya, Red.). Iapun tidak begitu setuju bila semua yang terjadi padanya dikatakan sebagai buntut dari perpisahan orang tua sejak ia menginjak sekolah dasar. Bersama dengan lima orang kakak laki-lakinya, Mona memilih tinggal bersama sang ibu. Perceraian itu, diakui Mona, berakibat pada hilangnya perhatian untuknya dan saudaranya yang lain. Hingga, dua orang saudara laki-lakinya juga terjebak dalam lembah hitam narkoba.
Kehidupan bandel Mona, dimulai ketika ia menginjak bangku SMP. Akibat dari pergaulan yang terlalu bebas, ia memulai kebiasaan merokok. Sejalan dengan itu, Mona akhirnya mulai mengenal dan mencoba ganja. “Minuman juga pernah coba, tapi gak terlalu sering.” tuturnya.
Perkenalan dengan ganja terjadi tanpa disengaja. Saat itu, kakak laki-lakinya sering membawa teman untuk menginap. Di rumahnya yang terbilang besar dan sepi, sang kakaknya sering menggelar pesta mabuk bersama teman-temannya. Akibat sering melihat kejadian itu, Mona jadi sangat mengenal seluk beluk orang mabuk. Buruknya, iapun jadi semakin ingin mencoba.
Pada suatu waktu ia bermain di kamar kakaknya. Di bawah kasur, ia menemukan daun ganja baik yang sudah dilinting ataupun yang masih dibungkus koran atau plastik. Jumlahnya lumayan banyak. Mona pun jadi berkesimpulan bahwa kakaknya dan teman-teman yang sering dibawanya tidak saja seorang “pemakai”, tapi juga seorang bandar.
Sekedar iseng, karena terbiasa merokok, Mona jadi sering mengambil ganja yang telah dilinting untuk dihisap. “Awalnya saya mau tahu, bagaimana sih rasanya. Katanya kalau ngisep ganja, matanya merah. Karena itu, sehabis menghisap, saya sering bercermin. Dan ternyata biasa aja. Cuma memang agak sedikit pusing.” ungkapnya mengenang.

Dijebak dan Diperkosa
Menginjak SMA, kehidupan bandel yang dilakoni Mona makin menjadi. Pergaulannya makin bebas. Di akhir pekan, ia sering tidak pulang untuk berkumpul dengan teman-temannya. “Saya mulai bandel untuk gak pulang. Cobain nongkrong-nongkrong, hingga masuk ke diskotik.” tutur anak bungsu ini.
Usia Mona masih 15 tahun saat menginjak kelas satu SMA, namun ia telah mengenal alkohol dan obat-obatan. Tidak sulit bagi Mona untuk mendapatkan 2 jenis barang haram itu untuk dikonsumsi bersama teman-temannya.
Satu waktu, Mona bertemu dengan teman yang dahulu sering nongkrong bersama. Sebut saja nama temannya itu T. Mona menyebut T itu sebagai “abang-abangan”, yaitu sebutan anak nongkrong untuk memanggil teman yang lebih tua. Oleh T, ia dikenalkan dengan seseorang yang dikatakan sebagai pemilik sebuah diskotik di daerah Jakarta Pusat. Bersama T, Mona sering berkunjung ke diskotik yang dimiliki oleh teman T tersebut. “Ketika main ke diskotik itu, sayapun sering ditraktir makan dan minum. Terkadang dikasih ongkos buat pulang.” jelasnya.
Suatu hari, ketika sedang berkunjung ke diskotik teman T tersebut, Mona mabuk berat. Ketika ingin pulang, iapun dicegah oleh T. Saat itu Mona ditawari agar tidak usah pulang dan dijanjikan untuk disewakan sebuah kamar hotel. “Biasanya, sehabis ke diskotik itu saya langsung pulang ke rumah. Namun, kalau tidak pulang saya juga langsung ke tempat teman dan nongkrong lagi di sana sampai pagi.” ucap Mona.
Ketika ditawarkan kamar hotel tersebut, iapun sempat berpikir macam-macam. Namun, karena ia percaya kepada T, pikiran itu tidak digubrisnya. Mona juga sempat dijanjikan oleh T bahwa apa yang ditawarkan adalah karena kepedulian terhadapnya. “Udah, lu masuk aja ke kamar. Masuk dan lu kunci dari dalam. Beres. Tinggal tidur dah lu!” ungkap Mona menirukan ucapan T.
Ketika terbangun dari tidur, dan masih di bawah pengaruh mabuk, Mona melihat seorang laki-laki yang tertidur sambil memeluknya. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah ditipu oleh T. Mona pun yakin ada “bisnis tersembunyi” untuk dirinya yang dilakukan oleh T.
“Ternyata dia berniat jelek. Mungkin dia berpikir, ah si Mona itu kan sering nongkrong dan pergi bebas bersama laki-laki. Jadi gampang aja. Padahal dia salah besar! Walaupun sering main dan nongkrong, saya bukan seperti yang dia kira.” geram Mona mengingat apa yang dirasakannya saat itu.

Kabur ke Jambi
Setelah kejadian itulah, kehidupan Mona berubah. Ia merasa malu dan bersalah. Peristiwa di malam jahanam itu tidak pernah diceritakannya pada siapapun, namun perasaan malu terus menyelimuti. Ia jadi malas untuk melakukan apapun dan makin sering tidak pulang ke rumah.
Tidak kuat menahan beban, Mona akhirnya bercerita kepada seorang teman. Saat itu terlintas di pikirannya untuk membunuh orang yang telah memperkosa dirinya. Dalam kekalutan, Mona mengajak sang teman untuk kabur dari rumah. Pulang dari sekolah, mereka berdua akhirnya pergi ke Jambi. “Saya pikir saya bisa menentukan jalan sediri.” tuturnya polos.
Di Jambi, mereka menetap di sebuah kamar kos. Di daerah asal lagu “Injit-injit Semut” ini, Mona bergaul dengan sekelompok anak motor. Ia pun menjalin hubungan dengan seorang anggotanya. Pria inilah yang terkadang membantu kebutuhan hidupnya. Dekat dengan keluarga sang kekasih, Mona sering menginap di rumahnya. Untuk memenuhi biaya hidup, terkadang Mona mendapatkan uang dengan bertaruh balapan motor.
Kehidupan yang jauh dari keluarga ini memang tidak jauh berbeda dari apa yang dialaminya di Jakarta. Nongkrong, masih menjadi rutinitas. Ritual mabuk-mabukan pun sering dilakukan. “Kalau di sana maboknya gak terlalu parah. Mungkin karena barangnya juga yang gak terlalu banyak.” ulas Mona.
Selama di Jambi, Mona tidak putus komunikasi dengan keluarga. Mona sering menelepon sang ibu, namun ia tidak pernah memberitahu di mana keberadaannya. Walaupun jauh dari Jakarta, pikiran untuk membunuh pemerkosa dirinya masih membara di benak Mona. Seakan ia tidak pernah lepas dari dendam kejadian nista tersebut.
Berkat nasehat dari kekasih dan teman-temannya, lama-kelamaan dendam itu hilang. Mona sering diberi pengertian, walaupun ia membunuh pria amoral tersebut, keperawanan dirinya tidak akan kembali lagi. Bahkan ia nantinya akan berurusan dengan pihak berwajib. “Saat itu saya hanya berpikir, bila membunuh orang itu nanti keluarga akan tahu apa alasan-alasan yang menyebabkan saya jarang pulang dan kabur dari rumah.” geramnya.

Kembali ke Jakarta dan Kecanduan Putaw
Setelah satu setengah tahun menetap di Jambi, Mona akhirnya kembali ke Jakarta pada awal 1996. Saat pulang ke Jakarta, ia tidak langsung ke rumah. Kebetulan ia bertemu dengan teman akrabnya kala SD yang bekerja di daerah Daan Mogot, Jakarta Barat. Bersama temannya pula Mona menetap dan dibiayai untuk menyewa sebuah kamar kos di daerah Kota, Jakarta Utara.
Tidak diduga, penghuni kos sebelah kamarnya adalah seorang bandar putaw. Monapun akrab dengannya. Alih-alih menumpang untuk meracik narkoba dagangan, sang bandar sering datang ke kamar Mona. Dengan tangan terbuka, iapun mempersilahkan sang bandar untuk memakai kamarnya. “Kebetulan kamar yang saya tempati ada AC, dengan alasan itu pula bandar tersebut lebih betah di sana,” tutur Mona.
Sambil meracik, sang bandar sering menawarkan contoh barang dagangan ke Mona. Tanpa segan, Mona pun mencoba memakai putaw tersebut dengan cara di-drugs, yaitu dibakar dan dihisap uapnya. “Setiap hari dia ke kamar. saya dan teman sering dikasih tester putaw dengan gratis. Tapi setelah melihat kita sudah sakaw, iapun jadi tidak numpang meracik lagi. Mau tidak mau kita yang berganti pergi ke kamarnya untuk meminta putaw. Malah dia terkadang tidak memberi bila kita meminta, hingga akhirnya terpaksa harus membeli.” ingatnya kesal.
Mulai dari situ diri Mona kecanduan putaw. Setiap hari ia ketagihan. Kehabisan uang dan tidak tahu mesti berbuat apa lagi, dalam keadaan sakaw, Mona memberanikan diri pulang ke rumah.

Coba Jarum Suntik
Pulang ke rumah, yang ada di pikiran Mona adalah cara mendapatkan uang untuk membeli putaw. Disekolahkan kembali oleh sang ibu, Mona pun memanfaatkan keadaan dengan alasan klise untuk mendapatkan uang, seperti membeli buku, bayar uang sekolah, dan lain-lain. Tamat SMA, Mona mengikuti kursus di sebuah lembaga pendidikan bahasa. Di situlah ia bertemu kembali dengan mantan pacarnya. “Ia sudah beristri, namun katanya ia sayang sama saya. Ia sering memberi uang yang akhirnya saya pergunakan untuk membeli putaw,” papar Mona.
Lulus dari tempat kursus, Mona kembali pergi dari rumah dan ngekos. Di situ ia diajak oleh seorang teman untuk bekerja di sebuah diskotik. “Awalnya pacar saya selalu memberi uang. Ketika mengetahui saya adalah pemakai, iapun memutuskan saya. Di situlah saya kehabisan uang sampai akhirnya kerja di diskotik.” Kenang Mona.
Saat terjadi kerusuhan di bulan Mei 1998, Mona kesulitan mendapatkan putaw. Saat itu dia mendatangi seorang bandar yang hanya mempunyai putaw dalam bentuk cair dan harus dipakai dengan disuntik. Dengan sangat terpaksa, Mona pun mencoba memakai putaw dengan cara disuntik. Kenikmatan yang berbeda pun dirasakan Mona. Sejak itulah ia selalu memakai putaw dengan cara disuntik.

Sakaw di Tempat Kerja, Pacaran sama Bandar
Tahun 1999, Mona mulai kehabisan uang. Jangankan untuk membeli putaw, untuk biaya hidup sehari-hari sangatlah susah. Dalam keadaan sakaw, ia kembali pulang ke rumah. Saat itu Mona dalam pengaruh Leksotan - yaitu sejenis obat yang menurut para pengguna putaw dapat menghilangkan rasa sakaw - Mona mulai cerita pada ibunya semua kejadian yang menimpa selama ini.
Setelah itu, Mona dimasukkan dalam program terapi Rumah Sakit Fatmawati. Dalam pengobatan itu ia berobat jalan. Selama hampir dua bulan Mona menjalani pengobatan di rumah. Setelah pulih, Mona mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan air minum. Sibuk bekerja, iapun lupa dengan narkoba. Diakuinya, disitu ia benar-benar jauh dari segala jenis narkoba, terkecuali merokok. Kehidupan normal itu hanya berlangsung tiga bulan. Satu saat Mona bertemu dengan seorang rekan kerja pecandu putaw. Sebut saja namanya W.
Awalnya Mona tidak tahu bahwa ia pecandu. Namun, karena sering berbincang dengan W, lambat laun Mona tahu. Ternyata, W dan istrinya adalah pasangan pemakai putaw. “Yah, namanya pemakai. Kalau ketemu, ngobrol pasti nyambung aja. Mungkin karena kesamaan nasib,” ujar Mona pelan.
Faktor sugesti dan juga pengaruh W, akhirnya Mona kembali mencoba putaw yang telah ia tinggalkan. Setiap jam makan siang, pastilah W datang dan membawa putaw. Mereka memakainya berdua. Karena pendapatan W lebih rendah, terkadang uang untuk membeli putaw berasal dari Mona.
Karena kebiasaan barunya itu, Mona tergoda untuk menghubungi teman-teman lamanya yang merupakan bandar narkoba. Bila ia dapat membeli sendiri tanpa W, pastilah putaw yang ia dapatkan akan lebih cukup untuk dipakai sendiri, pikir Mona saat itu. Setiap jam makan siang, dengan menggunakan ojek, Mona mendatangi bandar-bandar kenalan lamanya. Mona jadi sering sakaw di kantor, bahkan di saat jam kerja.
Uang gaji pun akhirnya terpakai untuk belanja putaw. Sampai ia bertemu dengan seorang bandar yang tertarik kepadanya. Kesempatan itupun digunakan oleh Mona. Ia menjalin hubungan dengan sang bandar. “Lumayan saya pacarin dia. Kadang-kadang saya bisa dapat barang gratis. Waktu itu saya kalau beli kan pakai ojek, dia juga yang kadang bayarin tuh ojek.” ujar Mona.

Dukungan Orang Tua yang Berarti
Karena tindak-tanduk sang putri bungsu mulai aneh lagi, orang rumah mulai curiga. Hampir delapan bulan Mona memakai putaw sambil bekerja. Rekan-rekan kerjanya tahu dan mengadukan Mona ke atasan. Mona akhirnya dikeluarkan. Dengan sedikit tipu daya, orang tuanya kembali memasukkan ke sebuah panti rehabilitasi di daerah Bintaro, Jakarta Selatan.
“Waktu itu aku sedang sakaw di rumah, saya minta uang pada orang tua. Kemudian ibu menawarkan untuk ikut dengannya dahulu baru dikasih uang. Ternyata saya dibawa ke panti rehabilitasi.” cerita Mona.
Sebelas bulan lamanya Mona menjalani proses terapi. Hingga akhirnya, di awal 2002, ia kabur dari panti rehabilitasi tersebut, dan kembali ke rumah. Mona kembali mendapatkan pekerjaan di sebuah toko kaset. Ia menyewa sebuah kamar kos lagi sambil bekerja. Suatu waktu ia bertemu mantan kekasihnya yang seorang pemakai. Pengaruh narkoba pun kembali hinggap dalam kehidupan Mona.
Setelah itu ia menjalani kehidupan kembali sebagai pemakai narkoba. Hingga akhirnya, ia terkena jangkauan sebuah lembaga yang menangani pecandu narkoba di wilayah Cideng, Jakarta Barat. Lembaga itu bergerak dalam pengurangan dampak buruk dari narkoba, khususnya pecandu yang menggunakan jarum suntik.
Tidak lama setelah itu, Mona pun ditawarkan untuk menjalani terapi substitusi dengan menggunakan Metadon yang ia jalani hingga kini. Menurut Mona, dosis yang dipakai dalam terapinya kini adalah 5 mg. Iapun berharap, dosisnya berkurang lagi di kemudian hari hingga akhirnya ia tidak perlu menggunakan apa-apa lagi.
Dikatakan Mona, seorang pecandu narkoba bila ingin berhenti harus dari keinginan hatinya sendiri. Mona yakin, setiap pecandu bisa berhenti! Iapun mengakui, dukungan orang tuanya sangat besar dirasakan olehnya. Orang tuanya pun akhinya bersatu kembali dan tinggal bersama hanya untuk membenahi apa yang terjadi pada Mona dan juga kakak-kakaknya. “Mereka pernah bilang, mereka rujuk kembali hanya untuk anak-anaknya. Dan hal itu dirasakan sangat berarti bagi saya dan juga semuanya.” tutur Mona mengakhiri pembicaraan. (IR)

Dokumentasi Korban Narkoba tahun 70an, Dispen Polri

Komik "Hunter"

Bandar Harus Dihukum Mati, Pemakai Harus Diselamatkan


Penuturan HM Kamaluddin Lubis, SH –
ayah seorang putra korban penyalahgunaan narkoba

Bandar Harus Dihukum Mati,
Pemakai Harus Diselamatkan

Korban narkoba bukanlah penjahat, tetapi korban dari kejahatan orang lain.
Korban narkoba bukan aib keluarga, tetapi bencana nasional.

DIAKUI HM Kamaluddin Lubis, SH, banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik sejak adanya musibah yang menimpa keluarganya. Usaha dan sikapnya saat ini, merupakan cermin dari sikap dan usaha yang dimiliki oleh putranya M. Baron Bahri Lubis (alm.) yang meninggalkan dirinya akibat jerat narkoba. Kamal, panggilan akrab Kamaluddin – menceritakan bahwa putra ketiganya sangat gigih dalam membantu teman-temannya yang mempunyai nasib seperti dirinya untuk sembuh dari jeratan narkoba. “Mungkin karena ia juga merasakannya,” ungkap Kamal.

Kamal bercerita, putranya selalu meminta kepada siapapun agar jangan pernah ada pasien penyalahguna narkoba yang ditolak untuk direhabilitasi. Karena sikap anaknya itu pula, yang kian mendorong Kamal untuk lebih peduli terhadap para korban narkoba. Ia pun jadi lebih memahami dan menguasai permasahan narkoba.
“Dia meminta agar jangan ada pasien yang ditolak untuk direhabilitasi walaupun orang tersebut kurang mampu. Mendorong saya untuk lebih banyak lagi membantu orang lain yang membutuhkan bantuan. Kemudian saya dapat berbagi pengalaman dan cerita dengan sesama keluarga yang mempunyai masalah narkoba. Dan ini membuat saya lebih banyak menguasai permasalahan narkoba. Hikmah lainnya saya sadar bahwa Tuhan lebih cepat mengambil anak saya karena Tuhan sayang sama dia dan ini membuat hidup saya lebih tenang. Dan kepedulian terhadap keluarga sendiri maupun keluarga besar kami pun jadi lebih tinggi.“ lirih pengacara asal Medan, Sumatera Utara ini menuturkan.

Awalnya terkejut
Mulanya, Kamal sangat terkejut ketika mengetahui Baron – begitu sapaan akrab putra ketiga dari empat anaknya - telah terperangkap dalam penyalahgunaan narkoba. Namun, lama-kelamaan Kamal dapat menerima kenyataan tersebut dengan lapang dada. Baginya, almarhum Baron adalah anak yang terbuka. Ia juga menilai, putranya memiliki sifat penggembira, dekat dengan keluarga, dan mudah bergaul tanpa membeda-bedakan miskin dan kaya.
Ditambahkan, Baron juga seorang anak yang aktif berorganisasi baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Menurut Kamal, almarhum anaknya sangat dekat dengan dirinya dibanding dengan ibunya. “Kami sering pergi berdua dan bercerita tentang segala hal. Dia juga sering curhat dengan saya,” kenang pria yang genap berusia 66 tahun ini.
Diungkapkan, almarhum Baron pertama kali memakai narkoba ketika kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Akibat dari pergaulan pula, menurut Kamal, anaknya terjerumus dalam kebiasaan tidak sehat tersebut. Saat itu Baron mulai mencoba kebiasaan merokok. “Lama kelamaan, ganja dicobanya.” tutur Kamal.
Dirinya juga tidak setuju bila dikatakan bahwa penyebab sang anak bisa terjerumus dalam dunia narkoba dikarenakan kesibukannya yang menyebabkan kurang perhatian kepada anak-anak. “Saya memang sibuk, tapi ibunya tetap di rumah untuk melayani keluarga. Kebersamaan dan kasih sayang selalu ada dalam keluarga. Kami selalu bepergian bersama ketika hari libur. Saya rasa itu tidak menjadi masalah bagi keluarga saya.” tegasnya.
Iapun mengakui, pola pendidikan yang diterapkan dalam keluarga pun sebenarnya telah bisa untuk membentengi anak-anaknya dari hal-hal negatif. Dikatakan oleh Kamal, pendidikan yang ditempakan dalam keluarga adalah pendidikan yang bebas dan bertanggung jawab. Maksudnya, anak-anak diberi kebebasan dalam memilih segala hal, mulai dari pendidikan, cita-cita, teman-teman, dan kegiatan luar rumah. Namun, kata Kamal, semua yang dipilih harus dipertanggungjawabkan dengan benar. “Contohnya, saya harus dikenalkan dengan keluarga teman-temannya. Kemudian belajar dengan benar sesuai yang dicita-citakan,” ujarnya lagi.

Lakukan pendekatan
Setelah terkena narkoba, kata Kamal, sifat Baron memang sedikit berubah. Perbedaan fisik tidak ada, dan perbedaan psikis juga pada awalnya tidak tampak. Namun, lambat laun Baron jadi sering malas berkumpul dan bercerita dengan orang rumah serta mulai menjauhkan diri dari aktivitas keluarga. “Emosinya suka berubah-ubah. Suka marah-marah tanpa sebab, suka berbohong dan menjuali barang-barang pribadinya. Akhirnya barang-barang dalam rumah, ada juga yang dicuri dan dijualnya.” tutur Kamal.
Setelah mengetahui anaknya telah terjerat narkoba, Kamal tidak menyalahkan ataupun memarahinya. Namun, ia langsung melakukan pendekatan yang lebih dalam. Kesibukannya sedikit demi sedikit dikurangi, dan ia lebih sering meluangkan waktu untuk berbincang dan membicarakan masalah yang dihadapi sang anak.
Tidak sedikitpun perlakuan dirinya terhadap Baron berubah. Malah, ia lebih semakin dekat dengan Baron. Dalam pendekatannya, Kamal memposisikan diri sebagai seorang sahabat. Alasan utamanya agar lebih merasa dekat dan terbuka. “Sehingga dia merasa diperhatikan, disayangi, dan tidak diperlakukan sebagai orang yang bersalah.” jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) ini.
Usaha pemulihan Baron tidak dilakukan Kamal secara sendirian. Sikap isterinya, Hj. Retni Rengsih, SH., CN., diakuinya hampir sama dengan dirinya. Terlebih, sang istri tampak tenang dalam menghadapi musibah yang menimpa. Dengan cara bersama, masalah yang terjadi pun diselesaikan.
“Kami selalu berembuk untuk menyelesaikan permasalahan dan kami saling instropeksi diri mengapa anak bisa terjerumus menyalahgunakan narkoba. Pertentangan untuk saling menyalahkan satu sama lain juga diakui Kamal tidak terjadi sama sekali antara ia dan istri. Tidak ada yang saling menyalahkan. Kami saling instropeksi diri mengapa anak kami dapat terjerumus dalam menyalahgunakan narkoba,” papar pria yang kini mengabdi sebagai dosen di almamaternya ini.

Empat tempat rehabilitasi
Tidak hanya usaha pendekatan. Kamal juga melakukan upaya pengobatan lain bagi anaknya, termasuk memasukkannya ke panti rehabilitasi. Saat pertama kali menawarkan panti rehabilitasi, anaknya langsung menerima dan tidak menolak untuk berobat. “Dia tidak menolak untuk berobat. Malah dengan keinginannya sendiri Baron mau berobat ke panti rehabilitasi. Itu sangat membantu kami dalam proses pemulihannya.” tutur Kamal.
Rentetan cerita panjang pun keluar dari mulut Kamal, tentang berbagai lokasi rehabilitasi yang disambanginya. Tempat pertama yang didatangi adalah pondok pesantren asuhan Abah Anom di Suryalaya, Tasikmalaya. Di tempat ini Baron menjalani terapi selama enam bulan lamanya. Setelah itu, Kamal membawa sang putra ke Klinik Ketergantungan Obat “Poso” di Medan selama satu bulan. Baron juga sempat menjalani pengobatan hingga ke negeri tetangga Malaysia, yakni Pengasih selama satu tahun. Kemudian, terakhir kali Kamal membawa anaknya ke Sibolangit Centre yang juga menghabiskan waktu selama satu tahun.
Meski mengikuti berbagai usaha terapi dan rehabilitasi, almarhum Baron tetap menunaikan kewajiban pendidikannya. “Selama menjalani pengobatan, pendidikannya tetap berjalan. Sehingga ia masih memperoleh pengetahuan dan ilmu untuk masa depan.” papar Kamal.
Ketika melakukan usaha rehabilitasi bagi putranya, satu kenangan abadi yang selalu diingat Kamal adalah rasa setia kawan yang begitu besar yang dimiliki oleh Baron. Menurut Kamal, Baron seakan tidak bisa sama sekali melepaskan relasi dengan teman-temannya sesama pengguna narkoba. Karena hal inilah semakin lama putranya makin terjerat dengan berbagai jenis narkoba. “Mungkin karena rasa solidaritasnya yang tinggi.” simpul Kamal.

Lebih tergerak di bidang narkoba
Peristiwa yang menimpa dirinya diakui Kamal tidak mengubah pandangannya terhadap narkoba. Sebagai seorang yang bergerak di bidang hukum, sejak dulu dirinya telah tahu mengenai permasalahan narkoba, terlebih mengenai bahayanya. Diakui Kamal, sebelum anaknya terlibat narkoba, dirinya telah berbuat banyak untuk penanggulangan masalah narkoba. “Saya sudah banyak informasi tentang itu (narkoba. Red) dan ikut menyebarkan informasi bahaya narkoba kepada masyarakat.” ucapnya.
Namun, motivasi untuk berbuat lebih banyak lagi dalam bidang penanganan masalah narkoba kian terdorong setelah anaknya menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Atas dorongan putranya pula, dirinya tergerak untuk mendirikan sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang P4GN (Pencegahan Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) yang bernama Yayasan Gerakan Anti Narkoba dan sebuah tempat rehabilitasi bernama Sibolangit Centre.
Dengan semangat Kamal pun berpesan kepada para orang tua. Menurutnya, bagi orang tua yang mempunyai anak yang telah terjerumus narkoba, jangan pernah putus asa dalam proses pemulihan mereka. Sebab, bagi Kamal seorang anak yang telah terkena pengaruh narkoba harus diselamatkan dan berhak mendapatkan jati dirinya kembali dengan bantuan dan dukungan dari orang tua. Sebaliknya, penggalian informasi yang benar tentang narkoba dan gejala-gejalanya sejak dini, merupakan hal yang harus diketahui bagi orang tua yang anaknya belum menjadi korban narkoba.
Sebagai orang yang bergelut di bidang hukum, dirinya pun mengkritik para penegak hukum yang terjebak dalam pasal-pasal yang kering sehingga mereka menganggap bahwa korban narkoba adalah penjahat yang harus dihukum. Di masyarakat sendiri, tambah Kamal, masih banyak yang belum paham tentang permasalahan narkoba. Banyak yang memandang, korban narkoba merupakan aib bagi keluarga yang harus ditutup-tutupi. “Mereka penjahat, sampah masyarakat, dan pemakai narkoba hanyalah anak orang kaya.” ketus Kamal akan persepsi yang salah tersebut dengan sedikit kesal.
Bagi Kamal, permasalahan narkoba merupakan masalah yang harus didahulukan dan ditangani secara serius sesuai dengan hukum dan undang-undang narkoba yang berlaku di Indonesia. Kata Kamal, dirinya ingin mengubah pandangan masyarakat dan lembaga pengadilan bahwa sebenarnya pemakai narkoba itu bukanlah penjahat.
“Mereka korban kejahatan orang lain dan harus diselamatkan. Jadi terdapat perbedaan dan klarifikasi antara pemakai murni, pengedar dan bandar, sehingga vonis yang dijatuhkan sesuai dengan perbuatan mereka. Seorang bandar harus dihukum mati karena mereka adalah pembunuh tanpa berdarah, dan seorang pemakai harus diselamatkan karena merupakan korban dari kejahatan orang lain,” pesannya tegas menutup perbincangan. (IR)


Kisah Nyata – SADAR September (hal. 29-33)

Pernah Menggelandang di Jalanan


Yoan Tanamal
Pernah Menggelandang di Jalanan

SECARA penuh, dirinya telah clean dari narkoba. Saat inipun kesibukannya kerap dipenuhi dengan mengisi berbagai acara penyuluhan kepada korban narkoba. Terkadang, ia juga rela berbagi cerita mengenai pengalamannya ketika terjerat narkoba. Kepada SADAR, mantan penyanyi cilik di era 70-an inipun rela meluangkan waktunya bercerita.

Yohana Maria Frances Tanamal, atau biasa disapa dengan Yoan Tanamal. Pada bulan Juni 2002, berbagai pemberitaan ramai menurunkan laporan mengenai dirinya. Pasalnya, saat itu puteri dari pasangan musisi Enteng Tanamal dan artis Tanty Yosepha ini tertangkap tangan oleh polisi ketika ingin membeli putaw di suatu kawasan di Jakarta. “Ternyata, tempat yang saya datangi untuk membeli narkoba tersebut telah diawasi oleh polisi sejak lama.“ akunya ringkas.
Diakui Yoan, sebenarnya saat itu ia ingin mengunjungi pengasuhnya. Namun, pada saat yang bersamaan dirinya mengalami sakaw. Akhirnya, iapun banting stir untuk mampir membeli putaw terlebih dahulu. Dalam keadaan sakaw, di tempat transaksi itulah ia tertangkap.
Ruang tahanan Polres Jakarta Selatan akhirnya menjadi tempat persinggahan Yoan. Kurang lebih 50 hari lamanya ia mendekam di ruang pesakitan tersebut. Ia tidak bisa bebuat apa-apa lagi dan hanya bisa menerima segala hukuman yang ditimpakan kepadanya. “Lima puluh hari memang bukan waktu yang lama. Tapi, saya merasa sampai busuk berada di situ. Harga barang memang cuma 50 ribu. Tapi tuntutannya seumur hidup dan mati.” kenang Yoan.
Yoan akhirnya dipindahkan ke Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Berbagai penyesalan terhadap segala kelakuan buruk yang pernah ia lakukan, selalu menghinggapi pikirannya. Namun, akibat hal itulah ia mengaku banyak menemukan berbagai pencerahan. “Di situlah saya lebih bersyukur terhadap segala yang diberikan oleh Tuhan selama ini. Saya jadi lebih berpikir bahwa sebenarnya Tuhan sangat banyak memberikan keberkahan kepada saya. Termasuk orang-orang di sekitar saya yang sangat perhatian dan peduli kepada saya.” tutur Yoan dengan mata berbinar.

Mencoba Obat Penenang
Sebelumnya, pelantun lagu Si Kodok ini bercerita tentang awal mula dirinya terlibat dengan narkoba. Saat itu, bangku Sekolah Menengah Atas sedang dikenyamnya. Umurnya masih 16 tahun.

Dari sekolah menengah pertama, Yoan remaja memang sudah nakal. Namun, baru ketika SMA kenakalannya makin menjadi. Secara gamblang ia mengakui, peristiwa perceraian yang menimpa orang tua tercinta memang sangat mempengaruhi kehidupannya. Namun, dengan tegas ia menolak jika perceraian tersebut dijadikan faktor utama penyebab segala kelakuan buruknya. “Saya sendirilah penyebabnya.” ujar Yoan.
“Hal itu (peristiwa perceraian orang tua) memang mempengaruhi saya. Namun, saya menganggap bahwa segala hal buruk yang saya lakukan berasal dari diri saya sendiri. Termasuk pilihan untuk terjebak dalam dunia narkoba.” tutur artis yang saat ini turut berperan dalam sinetron Dunia Tanpa Koma (DTK).
Menurut Yoan, banyak jenis obat penenang yang ditenggaknya saat itu. Seperti Magadon, Rohipnol, Dumolit, dan lain sebagainya. Teman-temannya saat itu juga banyak yang mempunyai berbagai masalah dan akhirnya menjadikan obat-obatan sebagai pelampiasan. “Jadi, senasib sepenanggungan lah. Tapi cara pelimpahannya saja yang salah.” Yoan menambahkan.
Tidak hanya obat penenang, saat itupun ia sering meminum minuman keras dan juga menghisap ganja. Semua itu dilakukan bersama teman-temannya. Singkat kata, hampir dua tahun Yoan menjalani kebiasaan tersebut.

Diterapi oleh Ibu Sendiri
Pihak sekolah pun curiga melihat kelakuan Yoan yang semakin hari semakin mencurigakan dan aneh. Di awal tahun ketiga SMA, akhirnya pihak sekolah memanggil orang tua Yoan. Sang ibu pun datang menghadap.
Ketika menghadap pihak sekolah, wanita berkulit putih itu sama sekali tidak membela putrinya. Malah, beliau seperti lepas tangan. Menurut Yoan, ibunya tahu bahwa anaknya yang bersalah dan pasrah terhadap sanksi apapun yang akan diberikan. “Bila memang dimungkinkan keluar, keluarkan saja dia.” ucapnya menirukan perkataan ibunya saat itu.
Namun, pihak sekolah masih bersikap lunak. Yoan hanya diberi sanksi wajib lapor setiap dua jam sekali selama dua minggu lamanya. Setiap dua jam Yoan harus melapor kepada guru Bimbingan Konselingnya bahwa ia masih dalam keadaan sadar dan tidak dalam pengaruh obat-obatan atau apapun.
Tanpa protes, segala sanksi yang ditimpakan kepadanya diterima dan dijalani. Bahkan, oleh ibunya banyak aturan yang akhirnya diterapkan. “Khususnya tentang makanan dan minuman. Semua yang dimakan harus sehat dan teratur. Pokoknya, seperti menjalani terapi yang dilakukan oleh ibu saya sendiri. Terapi mandi air panas dan air dingin.” tuturnya mengenang.
Hampir lebih dari seminggu perawatan diberikan oleh sang ibu kepada Yoan. Sejak saat itulah Yoan jauh dari obat-obatan dan bahan memabukkan lain yang penah dikonsumsinya. Hingga, iapun lulus dari sekolah menengah dan melanjutkan kuliah.

Kepergian Ibunda
Cobaan pun datang lagi. Secara lirih Yoan bertutur bahwa ibunda tercintanya divonis kanker oleh dokter. Dua jenis kanker ditemukan, yaitu kanker kelenjar getah bening dan kanker darah. Gejolak kehidupan pun mulai terasa. Terlebih, ekonomi keluarga juga sedikit terguncang. “Untuk satu kali kemoterapi aja, biayanya hampir 15 jutaan. Dan itu butuh berkali-kali.” ucap alumnus Sastra Inggris Universitas Indonesia ini.
Setelah enam bulan menjalani perawatan, tepat tanggal 22 November 1998, Yoan pun ditinggalkan selamanya oleh ibunda tercinta. Vonis dokter awalnya menyebutkan bahwa artis lawas yang tetap cantik di usia senjanya itu tidak akan bertahan hingga lebih dari enam bulan. Namun, kenyataannya hampir enam tahun lamanya ibu dari 2 anak ini dapat bertahan hidup.
Setelah sang bunda wafat, Yoan goyah kembali. Sikap tertutup dan pesimis kembali hinggap. Dua hari setelah peristiwa duka itu, ia dihinggapi rasa penyesalan yang begitu dalam. Saat itu Yoan langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu serapat-rapatnya.
Di dalam kamar gelap itulah putri sulung ini larut dalam kekecewaan mendalam. Ia merasa menyesal hidup di dalam keluarga yang penuh dengan kejadian yang menyesakkan. “Mau Tuhan apa sih? Mengapa saya hidup di dalam keluarga yang seperti ini?” ingatnya menirukan pertanyaan-pertanyan yang tercetus.
Ketika mengingat masa itu, Yoan sebenarnya juga sangat menyesal. Saat itu ibunya baru saja meninggal, namun ia malah berkutat dengan rasa pesimis yang menjadi-jadi. Ditambah lagi, ia harus berpikir untuk mengurus satu orang adiknya. Sampai-sampai, saat larut dalam penyesalan itu Yoan berkomitmen untuk tidak percaya lagi kepada Tuhan dan tidak ada Tuhan lagi dalam dirinya. “Padahal, saya juga berbicara seperti itu sambil menangis terisak-isak.” tuturnya datar.

Terjerat Putaw
Selang berapa lama dari kejadian tersebut, Yoan pun bekerja. Namun, di situ pula ia kembali terjerat narkoba. Saat itu putaw yang dicobanya. Dari cara dihisap hingga akhirnya disuntik, dijalankannya untuk narkoba jenis itu. Yoan tergolong parah dalam tingkat kecanduannya akan putaw. Dalam sehari saja, ia dapat menghabiskan 2 gram putaw. “Bahasa kerennya mah 2 gaw. Padahal untuk putaw sebanyak itu, uang yang dikeluarkan hampir 500 ribuan.” ujar artis yang turut berperan dalam film layar lebar “Detik Terakhir” ini.
Sambil bekerja, hidup Yoan dibuntuti oleh narkoba. Menurut pengakuannya, setiap setengah jam sekali ia harus mengkonsumsi putaw. Sampai-sampai, lemari loker tempat kerjanya pun penuh dengan alat-alat untuk memakai narkoba. Namun, walaupun saat itu harus mengeluarkan uang yang cukup besar untuk narkoba, perhatian kepada adiknya tidak pernah dilewatkan. Yoan tetap berusaha untuk menyisihkan penghasilannya membiayai sekolah adiknya semata wayang.

Dua Bulan di Jalanan
Saat itu, ibu asuh yang turut membesarkan Yoan sejak umur satu tahun, menyuruhnya pergi ke psikiater. Iapun menurut. Lebih dari satu kali Yoan pergi ke psikiater. Namun, tetap saja ia tidak bisa lepas dari putaw. “Kalau di salah satu psikiater itu ada obat yang diberikan untuk menghilangkan sakaw. Karena pemakai narkoba itu pastilah banyak trik, saya akhirnya beli obatnya sendiri. Jadi tanpa ke psikiater pun saya bisa minum obat itu dan mengontrol kapan saya bisa pakai putaw dan kapan saya harus minum obat tersebut. Lama-lama, karena zat tersebut bercampur, makin kacaulah saya.” terang Yoan.
Setelah itu, Yoan pun berhenti bekerja. Barang-barang miliknya sering dijual sekedar untuk membeli putaw. Hingga suatu saat, Yoan mengakui, bahwa ia pernah merasakan hidup di jalanan selama dua bulan. Saat itu ia tidak tentu arah, hingga tidur pun di pinggir rel kereta dan makan satu hari sekali. “Sampai saat ini, bila sedang berada dalam perjalanan dan melihat orang-orang yang hidup di jalan, saya jadi teringat pengalaman saya. Saya sering berkata dalam hati bahwa saya pernah merasakan itu.” ujarnya sambil menerawang.

Sembuh dengan Diri Sendiri
Saat masa-masa homeless itulah Yoan akhirnya tertangkap oleh polisi dan akhirnya dipenjara seperti diceritakan pada awal tadi. Empat tahun dirinya mengkonsumsi putaw, hampir tiga kali dirinya mengalami over dosis. Dalam waktu itu pula ia merasa sangat hancur dan sangat tidak berguna. Segala benda-benda miliknya habis terjual dan iapun menjauh dari sang adik.
Namun, Yoan pun akhirnya berpikir ulang. Diakui, dirinya sama sekali tidak pernah masuk panti rehabilitasi manapun. Namun, sampai sekarang ia dapat meninggalkan pengaruh narkoba yang pernah menghinggapinya. Ia dibebaskan setelah satu tahun menjalani masa tahanan. Saat ini, Yoan sangat bersyukur bahwa Tuhan masih melindunginya saat itu. “Sebab, walau apapun saya jual untuk mendapatkan barang haram tersebut, saya masih dilindungi oleh Tuhan bahwa saya tidak sampai terjerumus untuk menjual diri.” ungkap wanita yang sampai saat ini masih mengagumi almarhum ibunya.
Yoan menyimpulkan, bahwa secara fisik pengguna narkoba itu memang dapat sembuh, namun secara pikiran mereka susah untuk meninggalkannya. Karena itu, keinginan berhenti dan sembuh haruslah datang dari diri sendiri, bukan dari orang lain. “Buatlah hidup ini berguna.” ucapnya tegas menutup pembicaraan malam itu dan pamit pulang. (IR)

Kisah Nyata – SADAR Okt 06 (Hal. 29-33)

“Ternyata Dia Bisa Juga Terpeleset”


Ana Maria
“Ternyata Dia Bisa Juga Terpeleset”

KEBANYAKAN orang berpikir bahwa narkoba hanya menimpa orang yang bermasalah, entah broken home, ribut dengan pasangan, pengangguran, dan lain-lain. Pokoknya narkoba itu identik dengan masalah. Tetapi asumsi itu ternyata tidak sepenuhnya benar. Ternyata orang yang hidupnya bahagia dan sukses pun bisa terkena narkoba. Roy Marten contohnya. Artis senior yang terkenal pada era tahun 70-an ini pada bulan Februari tahun 2006 ini, tertangkap basah sedang nyabu (memakai obat jenis shabu).

Kita mungkin bertanya-tanya mengapa seorang Roy Marten bisa dan mau menggunakan narkoba. Untuk apa Roy menggunakan narkoba? Padahal kurang bahagia apa seorang Roy Marten? Harta berlimpah, keluarga harmonis, memiliki istri yang cantik, ketenarannya belum pudar di usia tua, juga ketampanannya. Singkat kata Roy sudah memiliki semua kenikmatan dunia.
Karenanya, pada Rubrik Kisah Nyata kali ini SADAR menampilkan sosok Roy Marten dari sisi pasangan hidupnya, Ana Maria - agar menjadi pelajaran berharga bagi kita semua bahwa narkoba bisa mengenai siapa saja, dari anak-anak sampai orang tua, laki-laki dan wanita, yang bahagia maupun yang bermasalah, orang awam ataupun selebriti terkenal.
Bagaimana kisah seorang Roy menurut penuturan istri tercintanya? Apa sebenarnya yang menjadi penyebab Roy memakai narkoba? Berikut penuturan Ana Maria yang ditemui oleh SADAR di kediamannya di Jalan Meriam G 109, Kalimalang - Jakarta Timur. Wanita yang tetap terlihat cantik walaupun sudah berumur 40-an ini, mengenakan celana jeans berwarna biru muda yang dipadukan dengan kaos putih polos. Dengan ramah ia menyambut kedatangan SADAR dan bersedia berbagi kisah suami terkasihnya, Roy Marten.

Roy Marten di Mata Ana Maria
Terlepas dari permasalahan yang dihadapi oleh Roy, Ana Maria mencoba tetap tegar dan terus mendampingi sang suami dalam setiap proses persidangan. Walaupun sebenarnya, ujian ini bagaikan petir di siang bolong bagi dia dan anak-anaknya. Bagaimana tidak. Di saat kebahagiaan, kedamaian, keceriaan, dan kesuksesan yang tengah dirasakannya sekeluarga, tiba-tiba orang yang menjadi pemimpin, pemberi nafkah, penuntun keluarga harus diambil dari mereka dan disekap di penjara akibat tersangkut masalah narkoba. Maka kebahagiaan, keceriaan, dan kedamaian, seketika berubah menjadi kesengsaraan dan penderitaan. Wajahnya tersenyum, tetapi kesedihan yang begitu dalam tampaknya coba disimpan jauh di lubuk hatinya. Dengan didahului helaan nafas, mulailah Ana menuturkan kisahnya.
“Mas Roy itu orang yang menyenangkan. Dia selalu ingin membahagiakan keluarga. Sebetulnya dia itu banyak banget sisi positifnya. Dia itu murah hati. Saya senang karena dia itu selalu tersentuh kalau ada orang-orang yang kesulitan, teraniaya. Hatinya lembut. Dia juga romantis dan selalu menyenangkan saya. Humoris dan bisa jadi temen buat anak-anak, bisa jadi ayah, guru, komplit sebetulnya. Makanya saya juga agak syok. Ternyata di balik semua kelebihannya itu dia bisa tergelincir ke sini (narkoba, Red.). Agak-agak di luar dugaan saya memang.” tutur Ana.

Nakal Sedari Kecil
Roy Marten nakal. Ini diucapkan sendiri oleh Ana. Tetapi menurut wanita berkulit putih bersih ini, nakalnya adalah nakal biasa, yakni nakal laki-laki pada umumnya. Yang perlu ditekankan adalah kenakalan Roy Marten tidak pernah tergolong kriminal. “Mas Roy itu bukan seorang bajingan, dia laki-laki yang gentle,” jelas Ana.
Menurutnya, kenakalan aktor yang membintangi film Cintaku di Kampus Biru ini sudah dari kecil. Kebut-kebutan di jalan, sering bolos sekolah, tidak naik kelas, dan senang kalau dikeluarkan oleh gurunya dari kelas, adalah sebagian kecil kenakalan seorang Roy Marten. Ulah Roy, menurut Ana diakibatkan karena dia sering diolok-olok sebagai seorang anak keturunan Belanda. “Anak indo itu memang punya kecenderungan nakal ya, jadi gak diterima di mana-mana. Dia sebagai seorang keturunan Belanda yang hidup di Indonesia, tapi dianggap sebagai orang pribumi juga bukan. Nah itu yang membuat dia sering diolok-olok. Kebetulan dia orangnya agak sedikit emosional, jadi dia tidak suka diperlakukan tidak adil. Makanya, dia jadi nakal.” papar wanita yang dipersunting oleh Roy pada tahun 1985 ini.
Tetapi menurut Ana Maria, kenakalan Roy justru berkurang sejak menikah dengannya. Hal ini disebabkan karena pada saat itu aktivitas Roy di dunia film sedang berkurang akibat kondisi perfilman tanah air yang sedang mati suri. Akibatnya Roy jadi jarang ke luar rumah untuk bergaul. Kondisi ini terjadi pada awal usia pernikahan mereka. Pada saat itu Ana Maria masih menekuni dunia modeling. Bahkan ketika Ana ingin pergi ke tempat disko, Roy malah menyuruh adiknya, Chris Salam untuk menemani istrinya tersebut. Sedangkan Roy lebih memilih tinggal di rumah dengan alasan malu pergi ke tempat disko karena sudah tua. Padahal waktu itu umur Roy baru sekitar 30-an. Selain nakal, tambah Ana, Roy juga bukan seorang yang alim atau taat kepada agama. Roy memang orang yang senang bergaul dan memiliki banyak teman.

Penyebab Terkena Narkoba
Henry Yosodiningrat yang juga bersahabat dengan Roy Marten mengatakan bahwa pemeran utama film Roda-roda Gila itu memang mengaku pernah memakai narkoba 15 tahun yang lalu, tetapi sudah lama ditinggalkannya. Ketua Granat (Gerakan Negara Anti Narkoba) itu pun dibuat kaget ketika Roy tertangkap karena kasus narkoba beberapa waktu yang lalu.
Menurut Ana Maria, kemungkinan Roy kembali menggunakan narkoba adalah karena pergaulannya. Pada saat awal pernikahan, Roy bersih dari narkoba karena dia berhenti dari dunia keartisan yang membuatnya lebih sering di rumah dan jarang bergaul. Namun belakangan, ketika dunia sinetron mulai muncul, maka lambat laun Roy pun terjun ke dunia hiburan tersebut dan mungkin ini yang menyebabkan Roy kembali bergaul dengan teman-teman mainnya.
“Mungkin dia ketemu kawan yang tidak bener, karena di dunia ini kan memang rawan sekali ya. Mungkin juga berangkat dari kenakalan Mas Roy. Tapi memang dia bilang, dia agak sedikit sombong waktu itu. Karena dia waktu itu pernah nyoba ngerokok dia bisa berhenti, minum juga bisa berhenti, apa saja dia bisa kendalikan. Semua yang buruk dia bisa berhenti secara tiba-tiba. Jadi dia berpikir, dia memakai shabu pun dia bisa berhenti kapanpun dia mau. Tapi ternyata gak semudah itu. Maka ketika ada seseorang yang menawarkan, masa seorang Roy Marten tidak berani mencoba sih, mungkin seperti itu pikiran dia. Sepertinya ada tantangan dari seseorang kepada Mas Roy untuk mencoba itu. Karena ternyata banyak sekali korban shabu adalah orang yang baik-baik, malah orang rumahan. Mungkin saya agak-agak lengahnya ya di situ, ternyata shabu banyak mengena di kalangan seperti itu. Karena orang-orang seperti orang rumahan saja bisa kena, apalagi Mas Roy yang banyak bergaul. Nah di situ saya kurang waspada.” ungkap wanita yang telah memberikan dua anak bagi Roy Marten ini.
Kondisi ini diperparah dengan jarangnya Roy pulang ke rumah akibat jadwal syuting yang padat dan acara-acara gaul-nya.. “Mas Roy memang mengaku selalu memakai barang tersebut di luar rumah, karena takut sama saya. Dan pulang ke rumah ketika efek dari obat tersebut sudah hilang. Kondisi seperti ini yang membuat saya tidak mengetahui kalau suami saya telah memakai shabu. “Ana Maria menambahkan.
Intensitas memakai shabu pria yang bernama asli Wicaksono Abdul Salam ini, menurut Ana sepertinya bisa dikontrol. “Karena kalau liburan seminggu sama saya, dia nggak pakai nggak apa-apa tuh. Dia butuh itu kalau mobilitasnya lagi tinggi, syuting kejar tayang. Kalau tidak beraktifitas, dia tidak pakai. Dia cukup bisa menguasai rasa candu kalau di depan saya, mungkin saking takutnya dengan saya.” Ana menjelaskan lagi.

Kecolongan
Menghadapi kenyataan sang suami yang dipenjara akibat mengkonsumsi narkoba, membuat diri Ana Maria syok berat. Ia merasa kecolongan. “Ya, saya merasa kecolongan karena selama ini Mas Roy kan banyak baca buku, wawasannya juga cukup luas. Dan dia juga banyak baca buku yang sebetulnya mengasah kebijaksanaan. Tapi setelah tahu prakteknya begini saya juga sempat mempertanyakan ke Mas Roy, kamu ini gimana? Kita hidup ini bukan sekedar teori tapi yang penting itu adalah praktek,” tutur Ana dengan nada meninggi.
Sebetulnya Roy dan Ana sudah sering membicarakan tentang masalah bersenang-senang dalam keluarga mereka. “Kita selalu membahas bahwa kita boleh bersenang-senang, tapi tidak boleh bersenang-senang yang melebihi batas. Kalau senang kita bisa sendiri, tapi kalau susah kan semua orang akan susah. Karena kita ini kan keluarga, keluarga ini kan satu tubuh. Mas Roy sebetulnya selama ini bisa megang itu. Tapi ya, ternyata dia bisa juga terpeleset.” ujar ibu kandung dari Merrari dan Gibran Marten ini.

Hikmah yang Bisa Dipetik
Lebih waspada dan selalu berserah kepada Tuhan. Itulah kata-kata pertama yang meluncur dari mulut Ana Maria ketika ditanya tentang hikmah yang bisa dipetik dari permasalahan yang menimpa keluarganya ini. ”Saya selalu memberikan kepercayaan penuh ke Mas Roy. Mungkin saya harus lebih berserah dan banyak berdoa kepada Tuhan, karena saya gak mungkin memonitor terus Mas Roy. Di luar sana saya tidak tahu apa yang dia lakukan. Jadi sekarang ini saya lebih banyak berdoa.” ujarnya mantap.
Saat ini yang bisa dilakukan Ana Maria hanya menagih janji Roy Marten. Menurut Ana, pria yang lahir pada tanggal 1 Maret 1952 ini berjanji akan fokus ke keluarga setelah dia keluar dari penjara. “Karena dia selama ini hidup untuk teman, lebih banyak ke teman, jadi dia bilang akan berubah sikap. Kalau habis syuting dia akan pulang ke rumah, gak akan kemana-mana lagi. Ya saya akan nagih janjinya aja, saya tidak akan menanyakan gimana-gimana karena Mas Roy tidak suka dengan wanita yang terlalu cerewet.” papar Ana.
Menurut Ana dengan adanya kejadian ini, Roy secara tidak langsung juga membuat orang-orang menjadi lebih baik. Ana mengatakan seperti itu mungkin karena Roy adalah artis terkenal dan banyak penggemarnya. Musibah yang menimpa Roy membuat para penggemar pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, bersimpati. Karena Roy sendiri pun tabah dan gentle menghadapi permasalahan ini dengan mengaku telah memakai narkoba dan siap menanggung semua resiko dan hukumannya. Roy pun dalam berbagai kesempatan di depan media infotainment selalu menasihati masyarakat untuk tidak memakai narkoba. Semua itu membuat simpati kepada Roy semakin banyak dan akhirnya berdampak pada semakin waspadanya masyarakat terhadap narkoba. “Orang akhirnya tahu bahwa memakai narkoba itu tidak baik, akibatnya seperti ini, susah. Seorang Roy saja diperlakukan seperti ini.” tutur Ana Maria.
Akibat kejadian pahit tersebut, Ana berniat akan terjun langsung ke dunia sosial guna menangani kasus narkoba setelah sang suami keluar dari penjara dan setelah keluarganya kembali mapan dan stabil. “Kita perangi narkoba dengan cara yang benar. Harus di rehab bukan di penjara. Kasihan kan pemakai dimasuki ke penjara. Dia kan sakit, dan bukan penjahat. Kalau dia masih muda dan kecanduannya masih gede, dipenjara nanti malah direkrut oleh bandar-bandar besar yang menyuplai mereka narkoba. Jadi bukannya berhenti, malah dia tambah jago di dalam. Keluar penjara dia malah jadi bandar dan bisa menjaring kelompok yang lebih banyak, itu katanya banyak terjadi di penjara. Mas Roy banyak lihat yang seperti itu.” ungkap Ana Maria polos.
Di akhir perbincangan, tidak lupa Ana Maria berpesan kepada pembaca SADAR agar menjauhi narkoba, lebih waspada dan bereaksi cepat apabila ada anggota keluarga yang terkena narkoba. (DIM)

KisahNyata - SADAR Juni 06 (Hal. 26-29)

Mending Dibilang Banci daripada Hancur karena Narkoba


“ANDA wartawan dari Majalah SADAR itu ya?”
Kata-kata itu tiba-tiba saja dilontarkan oleh seorang laki-laki berperawakan kurus, berkulit putih, dan menggunakan penutup kepala yang dihiasi dengan kacamata hitam sporty. Orang itu ternyata adalah Ricky (bukan nama sebenarnya, Red.), yang memang ditunggu-tunggu oleh SADAR sebagai sosok Rubrik Kisah Nyata SADAR edisi kali ini. Melihat Ricky, SADAR seakan tidak percaya bahwa ia dulu pernah kecanduan narkoba. Matanya bersih, mukanya terlihat begitu fresh (segar, Red.). Kami pun kemudian saling memperkenalkan diri.

Sesaat kemudian kami sudah duduk di sebuah tempat bernama Toraja Café yang terletak di Mal Ambassador. Di awal SADAR mengajukan pertanyaan, Ricky mengatakan bahwa sebenarnya ia enggan menceritakan masa lalunya yang kelam. Apalagi cerita itu untuk dipublikasikan melalui majalah. “Makanya saya gak pernah mau diekspos. Jangankan sama media terkenal, sama media gereja saja saya gak mau diwawancara.” ungkap pria kelahiran 16 September ini
Bagi Ricky, masa lalunya yang kelam biarlah menjadi jejak-jejak hidupnya, tidak perlu diekspos. Tetapi khusus untuk pembaca majalah SADAR, pria yang mempunyai tato di pergelangan tangan kirinya itu akhirnya bersedia berbagi kisah. Tujuannya, semoga bisa menjadi inspirasi bagi pembaca SADAR karena saat ini dirinya juga sedang memerangi narkoba.

Orang Tua Setiap Hari Ribut
Ricky menghabiskan masa kecilnya di tengah keluarga yang broken home. “Masa kecil saya kacau banget. Orang tua saya setiap hari pasti ribut. ribut, dan ribut. Karena itulah, keributan adalah hal biasa bagi saya,” ungkap Ricky. Selain broken home, Ricky kecil juga harus menghadapi kenyataan pahit jarang berkumpul dengan orang tua. Penyebabnya adalah karena dirinya sering dititipkan ke kerabat, dan otomatis ia selalu berpindah.
Memasuki masa SMP, Ricky mulai mencoba merokok. Kondisi mental yang sedang kacau ditambah pergaulan yang tidak baik, membuat kebiasaan merokoknya semakin menjadi. Awalnya orang tua Ricky tidak mengijinkannya merokok, tetapi akhirnya mereka menyerah. Menurut Ricky, awal dari kebiasaan memakai narkoba adalah merokok. “Soalnya waktu saya pusing, saya isep rokok. Kalau sudah gak mempan, saat itulah mulai mencoba-coba narkoba. Dan rata-rata tipikal pecandu narkoba di Indonesia seperti itu, diawali dengan kebiasaan merokok.” terang Ricky sambil menyeruput jus jeruknya.
Saat menginjak bangku SMA, Ricky pertama kali mencoba narkoba. “Kira-kira tahun 80-an. Waktu itu zamannya megadon (jenis narkoba, Red.), jadi saya pertama kali nyoba ya megadon itu. Pertama kali nyoba sih rasanya pusing, bawaannya males banget, pokoknya gak enak banget deh!” tuturnya mengenang.
Walau begitu Ricky tetap saja mengkonsumsi obat terlarang, sampai akhirnya ia pun kecanduan. Kondisi ini diperparah oleh lingkungan tempat tinggalnya. “Saya kenal narkoba pada saat saya tinggal di daerah Pasar Baru, di Gang Kelinci. Gang itu tuh emang sarangnya bandar narkoba. Apalagi daerah sekitar rumah seperti Pecenongan, Gang Kingkit, Kartini, Batu Tulis. Semuanya daerah drugs.” ungkap penggemar klub sepakbola AC Milan ini.

Jadi Preman karena Narkoba
Mengkonsumsi megadon, jelas Ricky, membuat emosinya tinggi dan tidak stabil. Akibatnya, pemuda keturunan Manado ini jadi sering ribut dengan orang lain dan selalu mengarah ke baku fisik. Mulailah Ricky menekuni karirnya sebagai preman. Bersama teman-temannya, Ricky selalu meminta uang keamanan ke toko-toko di daerah Pasar Baru. “Setiap toko saya mintain Rp 50.000 - Rp100.000. Hasilnya saya pakai mabok sama teman-teman.” papar Ricky mengingat masa lalunya.
Memasuki masa kuliah, kebiasaan Ricky mengkonsumsi narkoba makin parah. Ia pernah tidak sadarkan diri selama sehari penuh karena meminum lima butir megadon dan menghisap 15 linting ganja seukuran rokok kretek bersama temannya. Makin lama kebiasaannya ini membuat otaknya tidak dapat berpikir. Akhirnya ia keluar dari kuliahnya di salah satu universitas di kawasan Kuningan, Jakarta.

Sembuh Ditolong Teman Satu Gereja
Ricky menganggap dirinya masih disayang Tuhan. Karena di tengah keterpurukannya menjadi pecandu narkoba dan keluarga berantakan, masih ada orang yang mau menolongnya. Orang itu bernama Susi Thenu, temannya di gereja. Susi-lah yang mengajak Ricky untuk mengikuti acara gereja Teen Chalenge, acara khusus untuk pemuda yang sedang kecanduan narkoba dan ingin sembuh. “Akhirnya saya mendapat hidayah Tuhan di gereja tersebut dan saya langsung mengutarakan niat saya untuk sembuh di hadapan Tuhan. Setelah itu saya langsung mengikuti rehabilitasi. Waktu itu saya dikarantina selama tiga bulan di daerah Cibubur, di bawah pengawasan pendeta dan pembina.” tutur Ricky.
Terapi yang dijalankan Ricky tidak melibatkan dokter sama sekali, karena waktu itu dokter khusus kecanduan narkoba belum ada di tempat rehabilitasi tersebut. Ia hanya mendapatkan segelas susu ketika tubuhnya mulai sakaw atau ketagihan. Awalnya susu itu pasti dimuntahkan kembali. Tetapi pembina di sana tetap membiarkan pasien mengalami sakaw, sampai sakawnya lewat. “Seperti itu setiap kali saya sakaw. Walaupun saya pingsan, atau mengerang kesakitan yang diberi ya hanya segelas susu,” Ricky menambahkan.

Pergi ke Amerika
Setelah mengikuti karantina pada tahun 85-an, kondisi kesehatan Ricky berangsur pulih. Ia tidak lagi memakai narkoba jenis apapun. Walaupun berulang kali ia mendapat godaan dari temannya, bahkan sampai dipukuli, ia tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak memakai narkoba lagi. Waktu luangnya digunakan untuk bekerja. Sampai pada suatu saat, ia bekerja di sebuah perusahaan swasta yang mempunyai piutang sebesar Rp 1,2 milyar yang macet selama dua tahun lebih. Kebetulan, ia memilili teman seorang debt collector (penagih hutang, Red.). Ia lantas meminta bantuan temannya untuk menagih. Tidak disangka, dalam kurun waktu dua hari orang tersebut langsung melunasi utangnya, padahal hanya melalui dialog, bukan pendekatan fisik. Akhirnya Ricky mendapat bonus, ia diberi kebebasan untuk berlibur ke luar negeri selama dua minggu, sebuah pengalaman yang ia anggap sebagai mujizat dari Tuhan. “Saya akhirnya milih Amerika, karena saya ingin sekali ke sana dan saya memang belum pernah ke sana,” ujar Ricky sambil tersenyum.
Akhirnya Ricky ke Amerika, dan menghabiskan waktu dua minggu bertamasya. Satu hari sebelum kepulangannya, Ricky berubah pikiran. Ia ingin menetap di Amerika. “Saya mutusin untuk tinggal lebih lama di Amerika, saya pengen sekolah di sana. Padahal waktu itu duit saya tinggal 100 dolar. Tapi karena bayar sekolahnya bisa dicicil, akhirnya saya berani. Duit saya yang tinggal 100 dolar itu, saya bikinin SIM sama KTP plus merubah visa saya dari visa kunjungan wisata ke visa pelajar, waktu itu kita tinggal nambah 45 dolar. Setelah surat itu jadi semua, saya langsung kerja jadi supir delivery service (layanan hantar, Red.) di Pizza Hut. Gajinya saya gunakan untuk bertahan hidup sama kuliah. Sejak itulah saya bisa kuliah di Amerika dan hidup selama kurang lebih 5 tahun di sana” ungkap Ricky panjang lebar.
Di negeri Paman Sam itu, Ricky mengambil kuliah ekonomi. Ia tinggal di Pasadena, Los Angeles. Selama kuliah, ia juga mengikuti ekstra kulikuler sinema. Karena itulah ketika Ricky kembali ke Indonesia, ia langsung bekerja di Broadcast Design Indonesia, satu rumah produksi terkenal di tanah air.

Membina Anak Jalanan Korban Narkoba
Saat ini Ricky disibukkan dengan aktivitas sosialnya membina anak-anak jalanan korban narkoba, bersama dengan Zack Lee (kekasih artis Nafa Urbach, Red.), dan Nyong (drummer penyanyi Glenn Fredly, Red.). Nama perkumpulannya adalah Underground Ministry. Melody Karaoke di belakang Blok M Plaza menjadi tempat nongkrong perkumpulan ini. Selain itu, Ricky juga tengah sibuk dengan Event Organizer (EO) miliknya yang bernama Sonja Media Entertain (SME). Di bawah bendera SME, Ricky menangani sejumlah artis antara lain Sonja, Saint Locco, dan grup musik Senyawa.
Bersama Underground Ministry, Ricky punya obsesi memiliki rumah sebagai tempat singgah untuk anak-anak pecandu. “Saya pengen mereka semua bisa punya skill (ketrampilan, Red.) dan pekerjaan tetap. Sehingga mereka bisa berguna dan bergabung lagi ke masyarakat. Jadi saya gak cuma nyadarin mereka untuk sembuh. Buat apa kalo setelah sembuh dia gak bisa ngapa-ngapain?” Ricky mencurahkan pandangannya.
Khusus untuk pembaca SADAR, pria yang menjagokan Belanda di Piala Dunia 2006 ini, menyampaikan pesan agar jangan sekali-kali mencoba narkoba. “Say no to drugs, jangan takut dibilang banci kalo gak pake daripada hidup lu hancur dan terpuruk karena narkoba!” tegasnya mantap, menutup obrolan sore itu. (DIM)

Sadar, April 2006

”Pemakai shabu lebih bodoh dari binatang”


KALAU dilihat dari fisiknya mungkin banyak yang menyangka bahwa dia sudah berusia di atas 60 tahun. Gigi depannya sudah tanggal alias ompong. Rambutnya sudah menipis dan sebagian besar berwana putih. Hanya kulitnya saja yang belum keriput layaknya kakek-kakek. Namun setelah ngobrol lebih jauh, gayanya santai, bicaranya ceplas-ceplos, sesekali humor-humor segar pun meluncur dari bibirnya.

Haji Kaharudin, ternyata umurnya baru menginjak kepala lima. "Kenapa banyak yang nyangka saya udah kakek-kakek? Padahal saya baru berumur 54 tahun." gumam Kaharudin. Ia pun lantas bercerita keadaan fisik tubuhnya yang seperti itu adalah akibat menggunakan berbagai macam narkoba. Dalam kurun waktu 7 tahun (1995-2002) kelahiran Pontianak ini kecanduan narkoba, terutama jenis shabu. Menurutnya efek shabu terhadap tubuh sangat merugikan, mulai dari rambut rontok, gigi ompong, fisik jadi cepat lemah, otak jadi lemot (lambat berpikir, Red.), dan yang paling fatal adalah menurunnya gairah seks.

Di daerah kediamannya, Ternate, tidak ada yang tidak mengenal Kahar - dari tukang ojek sampai pemilik perusahaan, dari staf pegawai pemerintahan sampai gubernur. Masyarakat Ternate akrab memanggil beliau dengan nama Haji Ompong sesuai dengan ciri-ciri fisiknya. Walau begitu, ketenarannya itu tidak menghalangi pria yang mahir berbagai jenis bahasa daerah ini untuk berbagi kisah tentang masa kelamnya dulu. "Saya terbuka untuk menyampaikan apa yang saya alami untuk generasi muda, supaya mereka tuh tahu bahwa memakai narkoba itu salah. Memang ada gunanya tapi sangat sedikit." tandas Kahar. Sore itu dengan mengenakan kemeja dan celana jins santai, Kahar menuturkan kisah hidupnya yang sangat panjang dan menarik di sebuah hotel di kawasan pusat Jakarta, saat ia berkunjung ke ibukota.


Menggelontorkan Granat

Untuk urusan nakal, kata Kahar, telah dimilikinya sejak kecil saat duduk di Sekolah Rakyat (SR). Waktu itu ia sering berkelahi. Bak seorang pahlawan, dirinya sering membela teman-temannya. "Teman saya yang berkelahi, saya yang maju. Main golok dan segala macam juga saya layani," ucap Kahar bersemangat.

Ketika masuk SMA, kenakalannya pun makin menjadi, dari iseng-isengan, berkelahi, mencuri, dan mabuk-mabukan. Pernah suatu waktu Kahar memiliki sebuah granat. Karena sifat isengnya yang kelewat besar, ketika teman-temannya sedang main basket dengan sengaja ia menggelontorkan granat ke lapangan tersebut. Sontak teman-temannya langsung berhamburan.

Ketika SMA, jarak antara sekolah dan rumahnya sangat jauh. Karena itu, Kahar sering menginap di rumah teman-temannya. "Rumah di Cimahi, sekolah di Bandung, kira-kira dua belas kilometer jaraknya. Dulu belum ada mobil-mobil. Jadi saya harus jalan dan naik truk pasir yang lewat. Kalau kemalaman, yah mending
nginep di rumah teman. Saya juga sering nginep di rumah teman saya yang wanita, dulu saya sering tidur di rumah mamahnya Rina Gunawan." kenang Kahar.

Pada masa SMA ini pula ia mulai mengenal jenis-jenis narkoba. Namun, ganja yang diakui paling dikenalnya. Di tempat bergaulnya, yakni tempat berkumpul banyak remaja nekat dan nakal, ia jadi sering ngeganja. "Mengganja dulu bukan untuk nyandu, tapi untuk senang-senang saja. Kalau saya bawa ganja bukan selinting dua linting tapi satu tas tentara. Saya tanam di Batujajar dan Cimahi dulu. Cuman saya sendiri jarang ngerokok karena saya dulu pelari." tuturnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.



Ranking Se-Asia

"Saya inikan gila di sini (Jakarta, Red.). Siapa yang gak tau saya, penyanyi seperti Dedi Dores aja anak buah saya kok. Saya memang pemakai berat, mungkin di Jakarta ini gak ada yang nandingin, bahkan kalau ada ranking mungkin saya termasuk ranking untuk pemakai narkoba se-Asia," ujar anak kedua dari empat bersaudara ini menggebu. Kenangan Kahar kembali ke tahun 1995, saat usai menunaikan ibadah haji sekaligus harus berpisah dengan istrinya. Kehidupan bebas ala pelaut rupanya tidak bisa diterima oleh sang istri sehingga ketika Kahar sedang berpesta di sebuah diskotik dengan ditemani seorang wanita, istrinya datang mendamprat Kahar dan perempuan tersebut dengan kata-kata kasar dan sumpah serapah. Merasa sakit hati, Kahar mendatangi sang istri dan berkata, "Mulai hari ini kamu bukan istri saya lagi!" Ia juga mengatakan akan mengawini perempuan diskotik yang didamprat tersebut hanya untuk membuat sang istri sakit hati.

Setelah bercerai, Kahar keluar dari tempat tinggalnya di kawasan Kemang Pratama dan menyewa sebuah kamar berukuran kecil di daerah Kemayoran. "Banyak teman-teman saya yang nanya kok mau nyiksa diri dari istana pindah ke gubuk. Saya keluar rumah memang hanya membawa badan. Rumah saya di kawasan Kemang Pratama yang saya beli seharga 1M, saya tinggalin!" tegas pria yang memiliki hobi memancing di empang ini. Lingkungan tempat tinggal barunya ternyata tidak seramah dan senyaman tempat tinggalnya dulu. "Di Kemayoran itu dulu sarangnya narkoba. Tempat bandar paling besar di Jakarta. Barang apa aja ada di situ. Kegilaan saya mulai pada saat itu karena dikelilingi oleh perempuan-perempuan nakal dan kehidupan malam di situlah saya mengenal shabu," papar Kahar sembari menambahkan bahwa di situ ia hanya bertahan sampai empat bulan dan kemudian pindah menyewa sebuah rumah berukuran besar yang masih terletak di kawasan Kemayoran.

Di dalam rumah tersebut Kahar membeli alat-alat band dan membuat studio rekaman. "Dedy Dores saya rekrut. Saya bikin band namanya Baruna Grup. Bikin sinetron juga. Punya rekaman juga." tutur Kahar.

16 Juta Seminggu

Menurut Kahar, kecanduannya akan shabu bukan atas bujukan orang lain tapi karena kemauannya sendiri. Namun tidak ia pungkiri memang pergaulan mempengaruhi mengapa ia memakai shabu. Setelah mencoba shabu Kahar merasakan sensasi senang, takut, gembira yang luar biasa - tergantung dari perasaan kita sebelum memakai barang haram tersebut. "Kalau kita lagi senang trus
make shabu, fly-nya lebih senang. Kalau takut jadinya malah parno dan sangat ketakutan. Kalau sudah begitu bisa nekat loncat dari ketinggian, lari sekencang mungkin. Binatang harimau yang larinya kencang, orang yang nyabu masih lebih kencang larinya dari harimau. Jadi shabu waktu itu cocok dengan kondisi saya. Hanya shabu yang bisa dipakai untuk ketenangan dan bisa dipake sendiri gak usah bareng-bareng. Karena saya kalau nyabu tidak pernah ngajak atau ngebujuk teman untuk ikut make." ujar ayah dari satu putra ini.

Pada kurun waktu 1995 sampai 1999, rezeki yang diterima Kahar sangat berlimpah. Semua yang ia lakukan bisa menghasilkan duit, bahkan sampai mengekspor barang ke luar negeri. Mobil limosin dan mobil build up lainnya memenuhi garasi rumah. Cincin dan batu-batu seharga ratusan juta terpasang di jarinya. Disokong dengan dana yang tak terbatas, membuat kecanduannya semakin menggila. Narkoba seperti inex, ekstasi ia beli dalam jumlah besar dan selalu tersedia seperti kacang goreng di rumahnya. Shabu yang sudah seperti makanan pokok untuk Kahar, tentu tidak ketinggalan. Dalam seminggu ia bisa menghabiskan Rp 16 juta untuk membeli shabu. "Dulu satu ons itu 16-an juta. Paling itu bisa bertahan sampai seminggu, malah gak
sampe mungkin." kata Kahar.

Dalam kurun waktu tersebut Kahar tetap melaksanakan tugasnya di kantor yakni di Barito sebagai kepala perkapalan. Lama-kelamaan produktifitasnya menurun, Kahar bahkan hanya mampu mengandalkan anak buahnya untuk bekerja. Pernah pada saat ia sedang rapat dengan bos-bos perusahaannya dari Korea ia tertidur sampai rapat berakhir. "Bangun-bangun badan saya sudah diselimuti dan ruangan sudah sepi." kenang Kahar.

Tidak Makan Berhari-hari

Efek jahat shabu pada tubuhnya sudah mulai parah. Badannya seakan tidak punya tenaga untuk beraktifitas, ia bisa menghabiskan sehari penuh untuk tidur sehingga kerjaannya pun terbengkalai. Badannya kurus karena tidak ingat makan, otaknya lemah. Bahkan karena saking seringnya tertidur ia sudah lupa akan waktu dan hari. Akibatnya Kahar jadi bulan-bulanan penipuan oleh teman dan anak buahnya. Barang-barang di rumahnya ia jual dengan harga murah tanpa sadar. Mobil limosinnya hanya dijual dengan harga 100 juta, itupun baru diketahui ketika satu hari ia ingin keluar rumah. Seperti biasa supirnya pasti bertanya ingin menggunakan mobil yang mana, spontan ia jawab mobil limosin. Namun supirnya berkata bahwa mobil itu sudah dijualnya tadi malam dengan harga 100 juta. Ketika bertaruh dalam pertandingan sepak bola pun Kahar selalu mengalami penipuan. Ia selalu bertaruh untuk pertandingan yang sebenarnya sudah selesai dan hasilnya sudah ada. Sekali bertaruh ia bisa kalah sampai 50 juta.

Saking seringnya mengalami penipuan, lama-kelamaan akhirnya Kahar bangkrut juga. Untuk memenuhi kebutuhannya akan shabu ia terpaksa menjual barang-barang berharga yang tersisa. Cincin dan batu seharga ratusan juta ia jual dengan harga jutaan saja. Mobil-mobil koleksinya satu persatu hijrah dari garasi. Namun sampai semua barangnya sudah habispun kecanduan Kahar akan shabu belum berhenti juga. Kahar bahkan sampai tidak makan berhari-hari karena tidak punya uang. Teman-temannya yang dulu baik, kabur dan menjauh. Hanya segelintir orang saja yang kadang masih ingat kepadanya dan mau memberi ia makan.

Puncaknya ketika bulan Mei 1999, Kahar keluar dari tempatnya bekerja. Lebih tragis lagi ia harus menerima kenyataan ditinggal pergi ibunda tercinta untuk selamanya. Harta terakhir yang ia miliki yaitu sejumlah uang dalam rupiah dan dolar raib diambil di bandara ketika Kahar ingin menghadiri pemakaman ibunya.


Bertemu Dewi Penolong

"Hidup saya sudah pasrah, mau makan atau tidak kek terserah," kenang Kahar pada saat kecanduannya akan narkoba masih merongrong walaupun harta ludes tak tersisa. Teman dan keluarga menjauh. Tak disangka ternyata salah satu keponakannya yang menjadi dokter mau berkunjung. Saat itu sang ponakan membawa serta temannya yang juga seorang dokter bernama dr. Rosidah HS. Kesan pertama bertemu dengan Rosidah sudah membuatnya ingin memukul wajah gadis yang sebenarnya berparas cantik tersebut, sebab shabu miliknya dirampas dan dibuang oleh Rosidah.

"Waktu saya lagi ngobrol sama keponakan saya, dia buang semua shabu saya. Saya marah sekali, rasanya saya mau tempeleng dia. Tapi dia dengan entengnya malah berkata saya yakin kok kamu bisa jadi suami saya. Asal kamu berhenti memakai shabu saya bersedia dikawini sama kamu. Saya bilang, kamu gila? Karena dengan kondisi saya yang sudah parah, badan kurus, mata keluar, rambut rontok. Siapa yang mau sama saya?" ucap Kahar akan kesannya ketika bertemu pertama kali dengan Rosidah.

Namun ternyata omongan itu tidak main-main. dr. Rosidah membuktikan bahwa ia memang menyayangi Kahar dan benar-benar ingin melihatnya sembuh dari kecanduan shabu. Akhirnya bulan Juli tahun 2000, Kahar menikah dengan dr. Rosidah yang ternyata masih adik sepupu dari seorang petinggi di Polda Metro Jaya. Perbedaan umur 15 tahun tidak menjadi penghalang. Meski saat melamar, orang tua gadis bertanya padanya "Om, mana calon mempelai prianya? Saya jawab, saya sendiri. Kaget bukan kepalang mertua saya." cerita Kahar. Banyak teman-teman Kahar yang tidak percaya kalau ia bisa menikah dengan gadis cantik, kaya, dan berprofesi dokter. "Teman saya pada bingung gimana bisa? Kamu aja bingung apalagi saya." ucap Kahar sambil tertawa lepas.


Dikurung 3 Bulan

Kahar mengakui kalau istrinya memang sosok yang paling berperan dalam proses pemulihannya. Tapi dengan sedikit berkelakar, ia menyatakan alasan utama adalah karena sebetulnya uangnya sudah habis. "Kalau uang saya masih ada mungkin saya masih make walaupun saya ketemu dia." ucapnya. Kahar sempat dikurung oleh sang istri selama tiga bulan dalam kamar yang terisolasi. Selama dalam masa kurungan itu yang ia kerjakan hanya tidur menunggu istrinya pulang. Efek shabu menjadikan emosi Kahar sangat labil, persoalan kecil saja bisa membuat ia dan istri bertengkar. Namun dengan sabar dr. Rosidah terus berusaha merawat Kahar.

Setelah sekian lama dijaga oleh sang istri, berangsur-angsur kondisi kesehatan Kahar mulai pulih. Tekadnya untuk sembuh sudah bulat. Ia tahu betapa sulitnya untuk berhenti dari kecanduan shabu dan ia tidak ingin mengulangi kebodohannya untuk kedua kali. "Saya sadar bahwa untuk sembuh itu susahnya bukan main. Yang saya rasakan ketika penyembuhan itu udaranya panas sekali. Sampai-sampai kalau malam, saya tidurnya di bak kamar mandi berendam dengan air." ucap Kahar sambil menerawang.

Karena itu ia berpikir untuk pindah dari Jakarta ke Ternate dengan pemikiran di daerah pasti shabu susah didapat. Sang istri pun mendukung keinginan suaminya untuk pindah walau harus pindah dari rumah sakit tempat kerjanya di Jakarta. Di Ternate, kebaikan dan kedermawanannya sangat terkenal. Di tempat itu pula perlahan-lahan Kahar mulai membangun lagi kehidupannya bersama istri dan anaknya Sy. Ade Baruna Alqadrie yang masih kecil. Kehidupan ekonominya berangsur pulih walaupun tidak sejaya dahulu. Teman-temannya sudah mulai percaya kepada Kahar ketika mengetahui dirinya sudah pulih dari kecanduan shabu. Proyek-proyekpun mulai diberikan kepada Kahar. Menurut Kahar saat ini ia masih bekerja di bidang yang berhubungan dengan perkapalan, dan mulai merambah ke bidang pertambangan.

Saat ini ia sudah banyak menyadarkan orang di Ternate, terutama kaum muda. "Dengan cerita saya ini, saya ingin pembaca SADAR jangan pernah coba-coba pakai narkoba. Untuk yang masih make, sebenarnya harga diri mereka akan hilang karena jadi bodoh, lebih bodoh dari binatang. Sebodoh-bodohnya binatang lebih bodoh lagi orang yang make shabu. Kedua, mereka tidak menyadari akibatnya nanti. Syukur kalau dia mati, tapi kalau tidak? Bisa gila. Seperti saya ini sudah mengalami akibatnya." tandasnya mantap sebelum menutup pembicaraan. (DIM)


Kisah Nyata – SADAR Des 06 (Hal. 29-33)Capt. H. Kaharudin




Percaya adanya Harapan dan Tidak Takut Menjalaninya


SETIAP orang tentu tidak ingin hidupnya terus terpuruk. Apalagi terpuruk dalam jurang narkoba. Keinginan untuk bangkit dari keterpurukan dan memperbaiki hidup yang telah rusak oleh narkoba pasti pernah hinggap di dalam hati sanubari setiap pecandu narkoba. Yang membedakan adalah, kemauan dan tekad dari dalam diri untuk bebas dari narkoba sehingga seorang pecandu bisa sukses mendapatkan gelar "mantan" atau tetap terpuruk dalam jurang narkoba yang sebetulnya telah mereka sadari sendiri penderitaannya.

Rasa itu juga yang hinggap dalam hati Dani (bukan nama sebenarnya, Red.), sosok Kisah Nyata SADAR kali ini. Semenjak dirinya memakai putau di awal memasuki masa kuliah tahun 1996 silam, keinginan untuk sembuh terus menghinggapi dirinya. Dani sadar, semenjak dirinya memakai barang haram tersebut hidupnya jadi tidak memiliki motivasi. "Make narkoba tuh bikin kita jadi orang yang tidak tahu tujuan hidup. Hidup kita sebenarnya untuk apa. Motivasi kita hidup, mau jadi apa, mau ngapain, semuanya jadi gak tahu, nge-blank (kosong, Red.) aja." ujar Dani.

Dani sebenarnya lebih senang menceritakan kehidupannya yang sekarang, dengan status saat ini yang sudah bisa dikatakan seorang eksekutif muda. Dani yang bekerja sebagai Sales Supervisor di sebuah merek mobil ternama ini mampu menuai penghasilan hingga 8-10 juta rupiah per bulan. Sebuah mobil keluaran terbaru yang dikendarainya saat ini merupakan hasil keringat sendiri. Pendapatan yang ia peroleh tergantung dari kemampuan Dani menjual berapa banyak unit mobil keluaran perusahaannya. Dani pun berusaha sekuat mungkin mencapai pendapatan yang besar karena biaya hidupnya sehari-hari juga besar. Lingkungan kerja yang mengharuskannya sering berhadapan dengan kalangan menengah ke atas, mau tidak mau mengharuskan perjaka ini mengerti dan terkadang ikut menjalani gaya hidup mereka. "Dan kalau saya sudah punya ukuran di mana saya hidup dengan biaya seperti itu, saya harus jaga itu." tutur Dani menjelaskan.

Biaya hidup yang membubung, menurut perhitungan Dani sebagian besar tersedot ke biaya BBM yang tiap hari harus ia keluarkan mengingat mobilitasnya yang sangat tinggi. Pada saat SADAR ingin bertemu dengan Dani untuk melakukan wawancara saja, Dani harus merelakan sedikit waktunya yang padat untuk bertemu relasi. "Saya habis ini ada janji dengan relasi di sebuah bank kawasan Menteng," katanya. Dalam satu hari Dani bisa saja harus meluncur dari kawasan Pondok Indah ke sentra bisnis Cikarang untuk bertemu pihak rekanan.

Semuanya Rusak

Kesibukan yang rutin dijalani, sama sekali tidak dikeluhkan oleh Dani. Baginya itu adalah perjuangan hidup yang harus dijalani karena saat ini ia sudah tahu tujuan hidup dan memiliki motivasi hidup. "Umur saya sekarang sudah 29 tahun, dan saat ini saja saya boleh dibilang belum jadi apa-apa, belum punya apa-apa. Kalaupun saya ingin menikahi seorang perempuan mau dikasih makan apa nanti? Saya juga belum memiliki tempat tinggal sendiri, masih numpang sama orang tua. Jadi masih banyak yang harus saya kejar." ucapnya dalam rentetan kalimat panjang.

Ketegaran, keuletan, dan semangat Dani menjalani hidupnya saat ini tidak terlepas dari kisah hidupnya yang pahit di masa lalu. Sebagai seorang pecandu putau, hidupnya bisa dibilang sudah pernah terpuruk sampai jurang yang terbawah. Semuanya rusak, dalam segala hal kehidupan Dani. Hubungan dengan keluarga menjadi tidak romantis, hubungan dengan teman-temannya juga hancur. Uang yang dihabiskan untuk membeli barang haram tersebut sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Terkadang Dani terpaksa mengambil barang-barang di rumah agar dia dapat membeli putau. Kuliah yang ia jalani sampai terbengkalai, dan puncaknya adalah Dani harus mengalami hidup terkungkung dalam penjara akibat tertangkap saat memakai putau. "Jadi saya udah ngalamin semuanya, dan karena saya tahu gimana gak enaknya, susahnya kedua orang tua ngurusin saya. Dan saya sadar kalau saya balik lagi seperti dulu, hidup saya mengalami kemunduran. Saya gak mau itu." ucapnya lirih.

Senang Mencoba Sesuatu yang Baru

Terperosoknya Dani ke dalam narkoba tidak terlepas dari kepribadiannya yang senang mencoba sesuatu yang baru. Sedari kecil Dani mengaku sangat penasaran apabila menemukan sesuatu yang belum pernah ia lihat dan belum pernah ia rasakan. Ditambah lagi Dani sosok pribadi yang supel dan senang bergaul atau kumpul bareng teman-temannya.

Dani dibesarkan dalam keluarga baik-baik dan menurutnya sederhana atau tidak terlalu kaya. Sampai saat ini ayah ibunya masih bersama dan hubungan dengan kakak dan adiknya juga baik-baik saja. Jadi intinya terjerumusnya Dani kepada narkoba tidak disebabkan oleh keluarga, melainkan karena faktor dirinya sendiri seperti yang telah ditegaskannya.
Dani menganggap masa kecilnya biasa-biasa saja. "Masa kecil saya biasa aja kayak anak-anak yang lain. Cuma mungkin karena saya gak pernah dapat kebahagiaan yang kayak gimana banget dalam keluarga, mungkin saya jadinya nyari ke temen-temen saya. Maksudnya senang-senang, karena didikan keluarga saya yang prihatin," ujar lelaki yang hobi otomotif ini.

Dari kecil ia dan dua saudara kandungnya dididik untuk menjadi orang yang prihatin. Dani tidak pernah diberi uang jajan. Bahkan dulu saat merayakan Idul Fitri, Dani dan kedua saudaranya tidak pernah dibelikan baju baru oleh sang ayah. "Walau begitu saya tetap merasa bahwa didikan orang tua saya yang paling bagus," ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini. Dani juga adalah seorang anak yang cerdas. Saat menempuh pendidikan di sekolah dasar Dani selalu mendapatkan ranking tiga besar. Waktu itu Dani bersekolah di sekolah katolik yang memiliki kedisiplinan luar biasa. Tapi memang dasarnya Dani adalah anak yang pandai, ranking tiga besar selalu dapat ia raih sampai akhirnya berhasil masuk ke SMP negeri.

Pada masa ini ketertarikan Dani akan dunia otomotif mulai muncul. Di saat teman-teman SMP yang lain lebih tertarik ikut kursus bahasa Inggris dan pelajaran yang lain, Dani malah memilih ikut kursus montir. "Jadi dari dulu saya sudah bisa nurunin mesin mobil dan naikin lagi," kenang Dani. Rupanya ketertarikan Dani tidak hanya di dunia otomotif. Awal mula Dani mencoba narkoba juga terjadi pada masa SMP. Saat dirinya menginjak kelas dua SMP, waktu itu ia dan temannya sering melihat kakak kelas mereka menghisap sejenis rokok yang dilinting sendiri. Rasa penasaran membuat Dani dan temannya kemudian meminta untuk mencoba barang tersebut dan sang kakak itupun membolehkan. Rasa cimeng atau ganja untuk pertama kalinya Dani rasakan. "Rasanya sih aneh aja, pusing!" ucap Dani. Tapi kemudian Dani dan temannya ingin mencoba lagi barang tersebut, karena katanya barang itu bisa membuat kita gembira karena selalu tertawa. Akhirnya mereka berdua membeli cimeng, dan dipakai di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Ternyata benar, setelah sekian lama Dani memakai cimeng ternyata cerita tentang efek cimeng itu benar-benar ia rasakan. "Lucu bisa ketawa-ketawa dan lari-larian yang nggak genah (tidak jelas, Red.) gitu deh." ujar Dani.

"Setelah itu saya jadi nyobain yang lainnya seperti minuman. Tapi saya tidak kecanduan cimeng. Sampai saya SMP kelas 3 saya terus make cimeng dan minum minuman keras, tapi jarang. Paling kalau lagi ngumpul-ngumpul bareng temen, 3 bulan sekali mungkin. Atau pas week end jaman-jaman dulu diskotik pas lagi nge-boom, karena saya make itu memang buat seru-seruan aja, suasana jadi lebih asyik dan hidup aja." kenang Dani.

Pada masa SMP, Dani tetap mampu meraih ranking tiga besar di kelasnya. Dani mengaku pemakaian narkoba jenis cimeng dan minuman keras belum mempengaruhi kinerja otaknya karena dia jarang memakai barang tersebut. Dasarnya cerdas, lulus dari SMP Dani mampu menembus salah satu SMA unggulan di Jakarta.

Pada masa itu, persaingan untuk menjadi yang terbaik di kelas sangat ketat. Ditambah intensitas bergaul Dani yang semakin sering, menyebabkan dirinya banyak mencoba jenis-jenis narkoba yang lain. "Setelah menginjak masa SMA, kita kan pasti dikasih kepercayaan lebih. Dikasih mobil sendiri, boleh pulang agak pagi, malah boleh gak pulang. Jadi intensitas untuk makai dan nyoba-nyoba drugs yang lain lebih bebas dibanding SMP." ujar penggemar berat dari Mika Hakinnen ini. Menurut Dani, narkoba seperti cimeng dan minuman keras sebenarnya tidak membuat dirinya kecanduan. "Soalnya saya make kan untuk seru-seruan aja, bukan merupakan kebutuhan. Jadi tidak menimbulkan adiksi bagi saya." ucap lelaki yang menyukai segala jenis makanan ini.

700 Ribu Sehari untuk Putau

Malapetaka akhirnya datang ketika Dani mencoba barang bernama putau. "Waktu itu saya baru memasuki masa kuliah, tahun 1996. Ada teman yang sudah lama tidak bertemu, dia dulu nongkrong bareng sama saya, tapi dia lama nongkrong di tempat lain, dia masuk ke tongkrongan kita lagi dan dia bawa barang baru itu, putau. Saya nyobain lagi. Awalnya biasa aja, malah lebih aneh lagi rasanya dari pas nyoba cimeng dulu. Pertama saya nyoba tuh malah muntah-muntah, gak ada enak-enaknya sama sekali deh pokoknya. Kalau cimeng sama minum kan gak terlalu bikin addict banget, soalnya bisa kita takar. Tapi kalau putau ini jahat banget, gak akan ada kata cuma sekali nyoba, pasti lu akan pake untuk yang kedua, tiga dan seterusnya." papar Dani.

Sejak saat itu, hidup Dani mulai hancur. Pertemanannya bubar, karena setelah mereka mencoba putau, kepribadiannya berubah menjadi mudah curiga dan sirik dengan yang lain. Uang hasil kerja kerasnya jual beli mobil bekas juga ludes untuk membeli barang haram ini. Sesekali Dani juga mengambil barang milik ibunya karena dalam satu hari minimal ia menghabiskan uang Rp 700 ribu untuk membeli putau. Hubungan dengan keluarga jadi tidak harmonis. Kuliah jadi tidak terurus. Awalnya orang tua Dani tidak curiga kalau penyebab perubahan sang putra adalah karena putau, tapi lebih fokus pada kuliahnya yang tidak terurus saat itu.

Selama empat tahun Dani menjadi budak putau. Ia memakai putau dengan cara disuntik memakai insulin. "Satu hari bisa make satu setengah gau atau gram. Sekali masukin ke insulin bisa seperempat gau. Satu hari bisa sekitar enam kali pake, 3 kali pagi, 3 kali dari sore ke malam sampai paginya lagi untuk koncian (pemakaian terakhir, Red.). Pokoknya udah ngalamin yang badan tuh tidak bisa ngapa-ngapain lagi, make udah gak kerasa lagi, badan udah nolak sendiri, sampai muntah-muntah." kenang Dani.

Menurut Dani, kalau sedang sakaw atau nagih, rasanya tidak karuan. Di satu sisi dirinya hopeless (putus harapan, Red.) karena badan sudah tidak bisa berbuat apa-apa, yang minta ibaratnya badan tapi pikiran tidak tahu ke mana. "Rasa sakitnya sih udah gak bisa diceritain. Pada saat sakaw ibaratnya kalau kita disuruh bunuh presiden dengan imbalan dikasih uang untuk beli putau, lu pasti akan kerjain, "ucap Dani. Tiap hari rasa sakaw itu pasti dirasakan oleh Dani, dan setiap sakaw itu juga ia harus putar otak agar bisa membeli putau. "Kita harus bisa survive, bagaimanapun caranya." Dani menambahkan.


Pembelajaran di Penjara
?
Setiap pemakai yang ingin sembuh pasti punya titik balik. Alasannya bisa macam-macam - ada yang karena orang tuanya meninggal, temannya OD (over dosis), dan lain-lain. Dani pun mengalami itu. Tahun milenium 2000, Dani mulai sadar. Teman-temannya sudah banyak yang sembuh dan sukses, di samping banyak juga yang menemui ajal. Ia sadar harus memilih mau ke mana hidupnya, sembuh atau mungkin mati. Ia lalu meminta kepada orang tuanya agar diobati. Namun apa daya, Dani tidak kuat, akhirnya ia relaps atau balik lagi memakai putau. Orang tuanya tidak patah arang dan kembali mengobati Dani, tapi lagi-lagi ia relaps hingga sang orangtua menyerah.

Tahun 2001, ketika Dani dan seorang kawannya sedang memakai putau di sebuah museum di Jakarta, ia tertangkap basah oleh seorang tentara dan akhirnya mereka berdua digelandang masuk penjara. Karena usaha yang dilakukan oleh orang tuanya, Dani akhirnya bisa direhabilitasi terlebih dahulu ke panti rehabilitasi Pamardi Siwi, Cawang. Selama empat bulan, lelaki tinggi besar ini harus menjalani terapi dan rehabilitasi. "Saya belajar banyak di Pamardi Siwi. Di sana kita nyuci sendiri, ngerjain apa-apa sendiri yang tadinya semua itu tidak pernah saya lakukan. Pokoknya kotoran yang saya pakai sehari-hari, harus dibersihin sendiri. Banyak aktivitas yang membuat saya tidak bergantung pada orang lain." ujar Dani.

Setelah selesai menjalani rehabilitasi, Dani harus merasakan kembali dipenjara. Walaupun menunggu sekian lama, akhirnya keputusan hukum untuknya turun juga. Dani diputuskan bersalah dan harus menjalani hukuman tujuh bulan penjara dikurangi masa tahanan. "Saya sudah dipenjara dua bulan di polsek. Akhirnya saya harus menjalani hukuman itu lima bulan lagi tapi dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang khusus narkoba." tutur Dani.

Pengalaman di Lapas narkoba Cipinang menurut Dani biasa-biasa saja. "Di sana sih senang-senang aja, udah seperti satu RT, gak ada susahnya. Tidak seperti ketika saya dipenjara di polsek." ucap Dani. Di penjara polseklah dani mengalami cobaan hidup yang begitu berat. "Saya dikasih contoh sama Allah. Di situ saya dikasih lihat masih banyak orang yang lebih susah daripada saya, masih banyak yang dikasih beban yang lebih berat daripada saya. Saya jadi sadar bahwa keadaan saya seperti ini sudah untung banget. Alhamdulillah saya baru dikasih ujian kayak gini. Mental saya diuji begitu masuk penjara, kadang naik kadang jatuh banget." tutur Dani. Sejak itu ia bersumpah tidak akan memakai putau lagi, dan ingin segera membangun kembali puing-puing hidupnya yang hancur.

Motor Butut Pinjaman

Juli 2003, setelah menjalani sisa hukuman selama lima bulan di Lapas Cipinang, Dani pun akhirnya bebas. Selama dua bulan Dani tidak ada kegiatan. Untuk mengisi waktunya yang kosong, Dani mencoba membangun kembali usaha jual beli mobil bekasnya yang terbengkalai. Tetapi tidak banyak yang bisa dibangun karena ia tidak punya uang lagi. Meminta uang kepada orang tua, Dani berpikir ulang. "Saya malu, sudah membuat orang tua susah. Mereka sudah habis sekitar 150 juta-an untuk mengurusi saya waktu di penjara. Jumlah itu kan tidak sedikit, padahal keluarga saya bukan keluarga kaya. Mungkin uang itu adalah tabungan orang tua untuk beli sesuatu, malah habis untuk mengurusi saya." Dani mengemukakan alasannya. Ia bahkan merasa malu sekali ketika sang ayah membelikannya rokok karena kasihan melihat anaknya itu tidak merokok karena tidak punya uang.

Pengalaman dipenjara membuat Dani menjadi orang yang kuat. Dani tidak ingin terus-menerus terpuruk, ia lalu mencoba mencari pekerjaan "Saya mencari lowongan di koran selama dua bulan. Karena saya toh tidak bodoh-bodoh banget dan saya punya keahlian di bidang otomotif. Akhirnya saya kepikiran kenapa tidak mencoba menjadi seorang sales mobil. Berbagai merek saya lamar, dan alhamdulillah diterima."

Pertama kali Dani bekerja, ia tidak memiliki baju, dasi, dan celana yang pantas. Handphone dan motor yang menjadi dua perangkat wajib untuk seorang sales, ia juga tidak punya. Beruntung temannya ada yang meminjamkan pakaian kerja dan ayahnya juga meminjamkan motor butut merek Honda Astrea. Handphone dan kartu perdana ia dapat dari uang hasil jualan barang elektronik kepada saudara-saudaranya. "Pengalaman hidup saya dulu membuat saya tahu gimana caranya bertahan hidup. Di dunia kerja pun akhirnya saya bisa survive, di bulan pertama saya bisa jualan mobil satu, begitu juga di bulan-bulan berikutnya. Saya sadar bahwa saya sendiri yang nyeleneh di keluarga, padahal keluarga saya baik-baik. Cuma saya yang bikin ulah. Tapi ya mungkin itu proses hidup saya. Yang saya lihat di sini positifnya, mungkin dengan saya seperti itu, seneng gaul, nongkrong, sampai akhirnya nyoba-nyoba. Tapi saya ngerasa saya jadi banyak ketemu orang jadi saya juga bisa tahu orang. Bisa tahu gimana cara mendekatkan diri sama orang. Kan yang namanya di kerjaan, bukannya penjilat ya, bagaimana pendekatan kita ke atasan ataupun temen sekantor. Positifnya, ex-user (mantan pemakai narkoba, Red.) itu jadinya lebih kreatif. Karena pengalaman saya memasukkan teman-teman yang juga ex-user di tempat kerja saya juga begitu." ungkapnya panjang lebar seraya menambahkan bahwa bukan berarti sales yang bukan mantan pemakai itu tidak kreatif.

Jangan Takut

"Semenjak saya masuk penjara saya sudah tidak memakai putau. Sampai sekarang saya sudah lima tahun drug free." ujar lelaki yang hobi menata mobil bekas ini bangga. Kondisi seperti ini menurut Dani hanya bisa dicapai apabila kita memiliki hope atau harapan untuk sembuh. "Trust hope, kita harus percaya sama harapan-harapan kita, not fear jangan ketakutan." Karena menurut Dani takut hanya akan menimbulkan pikiran negatif yang belum tentu benar. Dani mengatakan bahwa dirinya bisa menjadi contoh bahwa mantan pemakai narkoba pun mempunyai masa depan, asalkan mau berusaha untuk meraihnya. Dani menghimbau bagi orang yang masih memakai agar berhenti dari sekarang. "Lo pakai narkoba cuma dapat dua hal, yang pertama ke rumah sakit, mungkin mati dan yang kedua berurusan sama hukum atau dipenjara. Kalau lo pake terus, umur lo sekarang sudah berapa? Masih banyak yang belum lo lakuin di hidup ini, yang bisa bikin hidup lo bahagia seperti bekerja, beli barang-barang, rumah. Nikah, punya anak terus ngeliat anak lo nikah. Kalau lo masih make, lo mau ngelakuin kapan?" tantang Dani sekaligus menutup perbincangan sore itu. (DIM