Komik "Hunter"

Bandar Harus Dihukum Mati, Pemakai Harus Diselamatkan


Penuturan HM Kamaluddin Lubis, SH –
ayah seorang putra korban penyalahgunaan narkoba

Bandar Harus Dihukum Mati,
Pemakai Harus Diselamatkan

Korban narkoba bukanlah penjahat, tetapi korban dari kejahatan orang lain.
Korban narkoba bukan aib keluarga, tetapi bencana nasional.

DIAKUI HM Kamaluddin Lubis, SH, banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik sejak adanya musibah yang menimpa keluarganya. Usaha dan sikapnya saat ini, merupakan cermin dari sikap dan usaha yang dimiliki oleh putranya M. Baron Bahri Lubis (alm.) yang meninggalkan dirinya akibat jerat narkoba. Kamal, panggilan akrab Kamaluddin – menceritakan bahwa putra ketiganya sangat gigih dalam membantu teman-temannya yang mempunyai nasib seperti dirinya untuk sembuh dari jeratan narkoba. “Mungkin karena ia juga merasakannya,” ungkap Kamal.

Kamal bercerita, putranya selalu meminta kepada siapapun agar jangan pernah ada pasien penyalahguna narkoba yang ditolak untuk direhabilitasi. Karena sikap anaknya itu pula, yang kian mendorong Kamal untuk lebih peduli terhadap para korban narkoba. Ia pun jadi lebih memahami dan menguasai permasahan narkoba.
“Dia meminta agar jangan ada pasien yang ditolak untuk direhabilitasi walaupun orang tersebut kurang mampu. Mendorong saya untuk lebih banyak lagi membantu orang lain yang membutuhkan bantuan. Kemudian saya dapat berbagi pengalaman dan cerita dengan sesama keluarga yang mempunyai masalah narkoba. Dan ini membuat saya lebih banyak menguasai permasalahan narkoba. Hikmah lainnya saya sadar bahwa Tuhan lebih cepat mengambil anak saya karena Tuhan sayang sama dia dan ini membuat hidup saya lebih tenang. Dan kepedulian terhadap keluarga sendiri maupun keluarga besar kami pun jadi lebih tinggi.“ lirih pengacara asal Medan, Sumatera Utara ini menuturkan.

Awalnya terkejut
Mulanya, Kamal sangat terkejut ketika mengetahui Baron – begitu sapaan akrab putra ketiga dari empat anaknya - telah terperangkap dalam penyalahgunaan narkoba. Namun, lama-kelamaan Kamal dapat menerima kenyataan tersebut dengan lapang dada. Baginya, almarhum Baron adalah anak yang terbuka. Ia juga menilai, putranya memiliki sifat penggembira, dekat dengan keluarga, dan mudah bergaul tanpa membeda-bedakan miskin dan kaya.
Ditambahkan, Baron juga seorang anak yang aktif berorganisasi baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah. Menurut Kamal, almarhum anaknya sangat dekat dengan dirinya dibanding dengan ibunya. “Kami sering pergi berdua dan bercerita tentang segala hal. Dia juga sering curhat dengan saya,” kenang pria yang genap berusia 66 tahun ini.
Diungkapkan, almarhum Baron pertama kali memakai narkoba ketika kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Akibat dari pergaulan pula, menurut Kamal, anaknya terjerumus dalam kebiasaan tidak sehat tersebut. Saat itu Baron mulai mencoba kebiasaan merokok. “Lama kelamaan, ganja dicobanya.” tutur Kamal.
Dirinya juga tidak setuju bila dikatakan bahwa penyebab sang anak bisa terjerumus dalam dunia narkoba dikarenakan kesibukannya yang menyebabkan kurang perhatian kepada anak-anak. “Saya memang sibuk, tapi ibunya tetap di rumah untuk melayani keluarga. Kebersamaan dan kasih sayang selalu ada dalam keluarga. Kami selalu bepergian bersama ketika hari libur. Saya rasa itu tidak menjadi masalah bagi keluarga saya.” tegasnya.
Iapun mengakui, pola pendidikan yang diterapkan dalam keluarga pun sebenarnya telah bisa untuk membentengi anak-anaknya dari hal-hal negatif. Dikatakan oleh Kamal, pendidikan yang ditempakan dalam keluarga adalah pendidikan yang bebas dan bertanggung jawab. Maksudnya, anak-anak diberi kebebasan dalam memilih segala hal, mulai dari pendidikan, cita-cita, teman-teman, dan kegiatan luar rumah. Namun, kata Kamal, semua yang dipilih harus dipertanggungjawabkan dengan benar. “Contohnya, saya harus dikenalkan dengan keluarga teman-temannya. Kemudian belajar dengan benar sesuai yang dicita-citakan,” ujarnya lagi.

Lakukan pendekatan
Setelah terkena narkoba, kata Kamal, sifat Baron memang sedikit berubah. Perbedaan fisik tidak ada, dan perbedaan psikis juga pada awalnya tidak tampak. Namun, lambat laun Baron jadi sering malas berkumpul dan bercerita dengan orang rumah serta mulai menjauhkan diri dari aktivitas keluarga. “Emosinya suka berubah-ubah. Suka marah-marah tanpa sebab, suka berbohong dan menjuali barang-barang pribadinya. Akhirnya barang-barang dalam rumah, ada juga yang dicuri dan dijualnya.” tutur Kamal.
Setelah mengetahui anaknya telah terjerat narkoba, Kamal tidak menyalahkan ataupun memarahinya. Namun, ia langsung melakukan pendekatan yang lebih dalam. Kesibukannya sedikit demi sedikit dikurangi, dan ia lebih sering meluangkan waktu untuk berbincang dan membicarakan masalah yang dihadapi sang anak.
Tidak sedikitpun perlakuan dirinya terhadap Baron berubah. Malah, ia lebih semakin dekat dengan Baron. Dalam pendekatannya, Kamal memposisikan diri sebagai seorang sahabat. Alasan utamanya agar lebih merasa dekat dan terbuka. “Sehingga dia merasa diperhatikan, disayangi, dan tidak diperlakukan sebagai orang yang bersalah.” jelas lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) ini.
Usaha pemulihan Baron tidak dilakukan Kamal secara sendirian. Sikap isterinya, Hj. Retni Rengsih, SH., CN., diakuinya hampir sama dengan dirinya. Terlebih, sang istri tampak tenang dalam menghadapi musibah yang menimpa. Dengan cara bersama, masalah yang terjadi pun diselesaikan.
“Kami selalu berembuk untuk menyelesaikan permasalahan dan kami saling instropeksi diri mengapa anak bisa terjerumus menyalahgunakan narkoba. Pertentangan untuk saling menyalahkan satu sama lain juga diakui Kamal tidak terjadi sama sekali antara ia dan istri. Tidak ada yang saling menyalahkan. Kami saling instropeksi diri mengapa anak kami dapat terjerumus dalam menyalahgunakan narkoba,” papar pria yang kini mengabdi sebagai dosen di almamaternya ini.

Empat tempat rehabilitasi
Tidak hanya usaha pendekatan. Kamal juga melakukan upaya pengobatan lain bagi anaknya, termasuk memasukkannya ke panti rehabilitasi. Saat pertama kali menawarkan panti rehabilitasi, anaknya langsung menerima dan tidak menolak untuk berobat. “Dia tidak menolak untuk berobat. Malah dengan keinginannya sendiri Baron mau berobat ke panti rehabilitasi. Itu sangat membantu kami dalam proses pemulihannya.” tutur Kamal.
Rentetan cerita panjang pun keluar dari mulut Kamal, tentang berbagai lokasi rehabilitasi yang disambanginya. Tempat pertama yang didatangi adalah pondok pesantren asuhan Abah Anom di Suryalaya, Tasikmalaya. Di tempat ini Baron menjalani terapi selama enam bulan lamanya. Setelah itu, Kamal membawa sang putra ke Klinik Ketergantungan Obat “Poso” di Medan selama satu bulan. Baron juga sempat menjalani pengobatan hingga ke negeri tetangga Malaysia, yakni Pengasih selama satu tahun. Kemudian, terakhir kali Kamal membawa anaknya ke Sibolangit Centre yang juga menghabiskan waktu selama satu tahun.
Meski mengikuti berbagai usaha terapi dan rehabilitasi, almarhum Baron tetap menunaikan kewajiban pendidikannya. “Selama menjalani pengobatan, pendidikannya tetap berjalan. Sehingga ia masih memperoleh pengetahuan dan ilmu untuk masa depan.” papar Kamal.
Ketika melakukan usaha rehabilitasi bagi putranya, satu kenangan abadi yang selalu diingat Kamal adalah rasa setia kawan yang begitu besar yang dimiliki oleh Baron. Menurut Kamal, Baron seakan tidak bisa sama sekali melepaskan relasi dengan teman-temannya sesama pengguna narkoba. Karena hal inilah semakin lama putranya makin terjerat dengan berbagai jenis narkoba. “Mungkin karena rasa solidaritasnya yang tinggi.” simpul Kamal.

Lebih tergerak di bidang narkoba
Peristiwa yang menimpa dirinya diakui Kamal tidak mengubah pandangannya terhadap narkoba. Sebagai seorang yang bergerak di bidang hukum, sejak dulu dirinya telah tahu mengenai permasalahan narkoba, terlebih mengenai bahayanya. Diakui Kamal, sebelum anaknya terlibat narkoba, dirinya telah berbuat banyak untuk penanggulangan masalah narkoba. “Saya sudah banyak informasi tentang itu (narkoba. Red) dan ikut menyebarkan informasi bahaya narkoba kepada masyarakat.” ucapnya.
Namun, motivasi untuk berbuat lebih banyak lagi dalam bidang penanganan masalah narkoba kian terdorong setelah anaknya menjadi korban penyalahgunaan narkoba. Atas dorongan putranya pula, dirinya tergerak untuk mendirikan sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang P4GN (Pencegahan Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba) yang bernama Yayasan Gerakan Anti Narkoba dan sebuah tempat rehabilitasi bernama Sibolangit Centre.
Dengan semangat Kamal pun berpesan kepada para orang tua. Menurutnya, bagi orang tua yang mempunyai anak yang telah terjerumus narkoba, jangan pernah putus asa dalam proses pemulihan mereka. Sebab, bagi Kamal seorang anak yang telah terkena pengaruh narkoba harus diselamatkan dan berhak mendapatkan jati dirinya kembali dengan bantuan dan dukungan dari orang tua. Sebaliknya, penggalian informasi yang benar tentang narkoba dan gejala-gejalanya sejak dini, merupakan hal yang harus diketahui bagi orang tua yang anaknya belum menjadi korban narkoba.
Sebagai orang yang bergelut di bidang hukum, dirinya pun mengkritik para penegak hukum yang terjebak dalam pasal-pasal yang kering sehingga mereka menganggap bahwa korban narkoba adalah penjahat yang harus dihukum. Di masyarakat sendiri, tambah Kamal, masih banyak yang belum paham tentang permasalahan narkoba. Banyak yang memandang, korban narkoba merupakan aib bagi keluarga yang harus ditutup-tutupi. “Mereka penjahat, sampah masyarakat, dan pemakai narkoba hanyalah anak orang kaya.” ketus Kamal akan persepsi yang salah tersebut dengan sedikit kesal.
Bagi Kamal, permasalahan narkoba merupakan masalah yang harus didahulukan dan ditangani secara serius sesuai dengan hukum dan undang-undang narkoba yang berlaku di Indonesia. Kata Kamal, dirinya ingin mengubah pandangan masyarakat dan lembaga pengadilan bahwa sebenarnya pemakai narkoba itu bukanlah penjahat.
“Mereka korban kejahatan orang lain dan harus diselamatkan. Jadi terdapat perbedaan dan klarifikasi antara pemakai murni, pengedar dan bandar, sehingga vonis yang dijatuhkan sesuai dengan perbuatan mereka. Seorang bandar harus dihukum mati karena mereka adalah pembunuh tanpa berdarah, dan seorang pemakai harus diselamatkan karena merupakan korban dari kejahatan orang lain,” pesannya tegas menutup perbincangan. (IR)


Kisah Nyata – SADAR September (hal. 29-33)

Pernah Menggelandang di Jalanan


Yoan Tanamal
Pernah Menggelandang di Jalanan

SECARA penuh, dirinya telah clean dari narkoba. Saat inipun kesibukannya kerap dipenuhi dengan mengisi berbagai acara penyuluhan kepada korban narkoba. Terkadang, ia juga rela berbagi cerita mengenai pengalamannya ketika terjerat narkoba. Kepada SADAR, mantan penyanyi cilik di era 70-an inipun rela meluangkan waktunya bercerita.

Yohana Maria Frances Tanamal, atau biasa disapa dengan Yoan Tanamal. Pada bulan Juni 2002, berbagai pemberitaan ramai menurunkan laporan mengenai dirinya. Pasalnya, saat itu puteri dari pasangan musisi Enteng Tanamal dan artis Tanty Yosepha ini tertangkap tangan oleh polisi ketika ingin membeli putaw di suatu kawasan di Jakarta. “Ternyata, tempat yang saya datangi untuk membeli narkoba tersebut telah diawasi oleh polisi sejak lama.“ akunya ringkas.
Diakui Yoan, sebenarnya saat itu ia ingin mengunjungi pengasuhnya. Namun, pada saat yang bersamaan dirinya mengalami sakaw. Akhirnya, iapun banting stir untuk mampir membeli putaw terlebih dahulu. Dalam keadaan sakaw, di tempat transaksi itulah ia tertangkap.
Ruang tahanan Polres Jakarta Selatan akhirnya menjadi tempat persinggahan Yoan. Kurang lebih 50 hari lamanya ia mendekam di ruang pesakitan tersebut. Ia tidak bisa bebuat apa-apa lagi dan hanya bisa menerima segala hukuman yang ditimpakan kepadanya. “Lima puluh hari memang bukan waktu yang lama. Tapi, saya merasa sampai busuk berada di situ. Harga barang memang cuma 50 ribu. Tapi tuntutannya seumur hidup dan mati.” kenang Yoan.
Yoan akhirnya dipindahkan ke Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Berbagai penyesalan terhadap segala kelakuan buruk yang pernah ia lakukan, selalu menghinggapi pikirannya. Namun, akibat hal itulah ia mengaku banyak menemukan berbagai pencerahan. “Di situlah saya lebih bersyukur terhadap segala yang diberikan oleh Tuhan selama ini. Saya jadi lebih berpikir bahwa sebenarnya Tuhan sangat banyak memberikan keberkahan kepada saya. Termasuk orang-orang di sekitar saya yang sangat perhatian dan peduli kepada saya.” tutur Yoan dengan mata berbinar.

Mencoba Obat Penenang
Sebelumnya, pelantun lagu Si Kodok ini bercerita tentang awal mula dirinya terlibat dengan narkoba. Saat itu, bangku Sekolah Menengah Atas sedang dikenyamnya. Umurnya masih 16 tahun.

Dari sekolah menengah pertama, Yoan remaja memang sudah nakal. Namun, baru ketika SMA kenakalannya makin menjadi. Secara gamblang ia mengakui, peristiwa perceraian yang menimpa orang tua tercinta memang sangat mempengaruhi kehidupannya. Namun, dengan tegas ia menolak jika perceraian tersebut dijadikan faktor utama penyebab segala kelakuan buruknya. “Saya sendirilah penyebabnya.” ujar Yoan.
“Hal itu (peristiwa perceraian orang tua) memang mempengaruhi saya. Namun, saya menganggap bahwa segala hal buruk yang saya lakukan berasal dari diri saya sendiri. Termasuk pilihan untuk terjebak dalam dunia narkoba.” tutur artis yang saat ini turut berperan dalam sinetron Dunia Tanpa Koma (DTK).
Menurut Yoan, banyak jenis obat penenang yang ditenggaknya saat itu. Seperti Magadon, Rohipnol, Dumolit, dan lain sebagainya. Teman-temannya saat itu juga banyak yang mempunyai berbagai masalah dan akhirnya menjadikan obat-obatan sebagai pelampiasan. “Jadi, senasib sepenanggungan lah. Tapi cara pelimpahannya saja yang salah.” Yoan menambahkan.
Tidak hanya obat penenang, saat itupun ia sering meminum minuman keras dan juga menghisap ganja. Semua itu dilakukan bersama teman-temannya. Singkat kata, hampir dua tahun Yoan menjalani kebiasaan tersebut.

Diterapi oleh Ibu Sendiri
Pihak sekolah pun curiga melihat kelakuan Yoan yang semakin hari semakin mencurigakan dan aneh. Di awal tahun ketiga SMA, akhirnya pihak sekolah memanggil orang tua Yoan. Sang ibu pun datang menghadap.
Ketika menghadap pihak sekolah, wanita berkulit putih itu sama sekali tidak membela putrinya. Malah, beliau seperti lepas tangan. Menurut Yoan, ibunya tahu bahwa anaknya yang bersalah dan pasrah terhadap sanksi apapun yang akan diberikan. “Bila memang dimungkinkan keluar, keluarkan saja dia.” ucapnya menirukan perkataan ibunya saat itu.
Namun, pihak sekolah masih bersikap lunak. Yoan hanya diberi sanksi wajib lapor setiap dua jam sekali selama dua minggu lamanya. Setiap dua jam Yoan harus melapor kepada guru Bimbingan Konselingnya bahwa ia masih dalam keadaan sadar dan tidak dalam pengaruh obat-obatan atau apapun.
Tanpa protes, segala sanksi yang ditimpakan kepadanya diterima dan dijalani. Bahkan, oleh ibunya banyak aturan yang akhirnya diterapkan. “Khususnya tentang makanan dan minuman. Semua yang dimakan harus sehat dan teratur. Pokoknya, seperti menjalani terapi yang dilakukan oleh ibu saya sendiri. Terapi mandi air panas dan air dingin.” tuturnya mengenang.
Hampir lebih dari seminggu perawatan diberikan oleh sang ibu kepada Yoan. Sejak saat itulah Yoan jauh dari obat-obatan dan bahan memabukkan lain yang penah dikonsumsinya. Hingga, iapun lulus dari sekolah menengah dan melanjutkan kuliah.

Kepergian Ibunda
Cobaan pun datang lagi. Secara lirih Yoan bertutur bahwa ibunda tercintanya divonis kanker oleh dokter. Dua jenis kanker ditemukan, yaitu kanker kelenjar getah bening dan kanker darah. Gejolak kehidupan pun mulai terasa. Terlebih, ekonomi keluarga juga sedikit terguncang. “Untuk satu kali kemoterapi aja, biayanya hampir 15 jutaan. Dan itu butuh berkali-kali.” ucap alumnus Sastra Inggris Universitas Indonesia ini.
Setelah enam bulan menjalani perawatan, tepat tanggal 22 November 1998, Yoan pun ditinggalkan selamanya oleh ibunda tercinta. Vonis dokter awalnya menyebutkan bahwa artis lawas yang tetap cantik di usia senjanya itu tidak akan bertahan hingga lebih dari enam bulan. Namun, kenyataannya hampir enam tahun lamanya ibu dari 2 anak ini dapat bertahan hidup.
Setelah sang bunda wafat, Yoan goyah kembali. Sikap tertutup dan pesimis kembali hinggap. Dua hari setelah peristiwa duka itu, ia dihinggapi rasa penyesalan yang begitu dalam. Saat itu Yoan langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu serapat-rapatnya.
Di dalam kamar gelap itulah putri sulung ini larut dalam kekecewaan mendalam. Ia merasa menyesal hidup di dalam keluarga yang penuh dengan kejadian yang menyesakkan. “Mau Tuhan apa sih? Mengapa saya hidup di dalam keluarga yang seperti ini?” ingatnya menirukan pertanyaan-pertanyan yang tercetus.
Ketika mengingat masa itu, Yoan sebenarnya juga sangat menyesal. Saat itu ibunya baru saja meninggal, namun ia malah berkutat dengan rasa pesimis yang menjadi-jadi. Ditambah lagi, ia harus berpikir untuk mengurus satu orang adiknya. Sampai-sampai, saat larut dalam penyesalan itu Yoan berkomitmen untuk tidak percaya lagi kepada Tuhan dan tidak ada Tuhan lagi dalam dirinya. “Padahal, saya juga berbicara seperti itu sambil menangis terisak-isak.” tuturnya datar.

Terjerat Putaw
Selang berapa lama dari kejadian tersebut, Yoan pun bekerja. Namun, di situ pula ia kembali terjerat narkoba. Saat itu putaw yang dicobanya. Dari cara dihisap hingga akhirnya disuntik, dijalankannya untuk narkoba jenis itu. Yoan tergolong parah dalam tingkat kecanduannya akan putaw. Dalam sehari saja, ia dapat menghabiskan 2 gram putaw. “Bahasa kerennya mah 2 gaw. Padahal untuk putaw sebanyak itu, uang yang dikeluarkan hampir 500 ribuan.” ujar artis yang turut berperan dalam film layar lebar “Detik Terakhir” ini.
Sambil bekerja, hidup Yoan dibuntuti oleh narkoba. Menurut pengakuannya, setiap setengah jam sekali ia harus mengkonsumsi putaw. Sampai-sampai, lemari loker tempat kerjanya pun penuh dengan alat-alat untuk memakai narkoba. Namun, walaupun saat itu harus mengeluarkan uang yang cukup besar untuk narkoba, perhatian kepada adiknya tidak pernah dilewatkan. Yoan tetap berusaha untuk menyisihkan penghasilannya membiayai sekolah adiknya semata wayang.

Dua Bulan di Jalanan
Saat itu, ibu asuh yang turut membesarkan Yoan sejak umur satu tahun, menyuruhnya pergi ke psikiater. Iapun menurut. Lebih dari satu kali Yoan pergi ke psikiater. Namun, tetap saja ia tidak bisa lepas dari putaw. “Kalau di salah satu psikiater itu ada obat yang diberikan untuk menghilangkan sakaw. Karena pemakai narkoba itu pastilah banyak trik, saya akhirnya beli obatnya sendiri. Jadi tanpa ke psikiater pun saya bisa minum obat itu dan mengontrol kapan saya bisa pakai putaw dan kapan saya harus minum obat tersebut. Lama-lama, karena zat tersebut bercampur, makin kacaulah saya.” terang Yoan.
Setelah itu, Yoan pun berhenti bekerja. Barang-barang miliknya sering dijual sekedar untuk membeli putaw. Hingga suatu saat, Yoan mengakui, bahwa ia pernah merasakan hidup di jalanan selama dua bulan. Saat itu ia tidak tentu arah, hingga tidur pun di pinggir rel kereta dan makan satu hari sekali. “Sampai saat ini, bila sedang berada dalam perjalanan dan melihat orang-orang yang hidup di jalan, saya jadi teringat pengalaman saya. Saya sering berkata dalam hati bahwa saya pernah merasakan itu.” ujarnya sambil menerawang.

Sembuh dengan Diri Sendiri
Saat masa-masa homeless itulah Yoan akhirnya tertangkap oleh polisi dan akhirnya dipenjara seperti diceritakan pada awal tadi. Empat tahun dirinya mengkonsumsi putaw, hampir tiga kali dirinya mengalami over dosis. Dalam waktu itu pula ia merasa sangat hancur dan sangat tidak berguna. Segala benda-benda miliknya habis terjual dan iapun menjauh dari sang adik.
Namun, Yoan pun akhirnya berpikir ulang. Diakui, dirinya sama sekali tidak pernah masuk panti rehabilitasi manapun. Namun, sampai sekarang ia dapat meninggalkan pengaruh narkoba yang pernah menghinggapinya. Ia dibebaskan setelah satu tahun menjalani masa tahanan. Saat ini, Yoan sangat bersyukur bahwa Tuhan masih melindunginya saat itu. “Sebab, walau apapun saya jual untuk mendapatkan barang haram tersebut, saya masih dilindungi oleh Tuhan bahwa saya tidak sampai terjerumus untuk menjual diri.” ungkap wanita yang sampai saat ini masih mengagumi almarhum ibunya.
Yoan menyimpulkan, bahwa secara fisik pengguna narkoba itu memang dapat sembuh, namun secara pikiran mereka susah untuk meninggalkannya. Karena itu, keinginan berhenti dan sembuh haruslah datang dari diri sendiri, bukan dari orang lain. “Buatlah hidup ini berguna.” ucapnya tegas menutup pembicaraan malam itu dan pamit pulang. (IR)

Kisah Nyata – SADAR Okt 06 (Hal. 29-33)

“Ternyata Dia Bisa Juga Terpeleset”


Ana Maria
“Ternyata Dia Bisa Juga Terpeleset”

KEBANYAKAN orang berpikir bahwa narkoba hanya menimpa orang yang bermasalah, entah broken home, ribut dengan pasangan, pengangguran, dan lain-lain. Pokoknya narkoba itu identik dengan masalah. Tetapi asumsi itu ternyata tidak sepenuhnya benar. Ternyata orang yang hidupnya bahagia dan sukses pun bisa terkena narkoba. Roy Marten contohnya. Artis senior yang terkenal pada era tahun 70-an ini pada bulan Februari tahun 2006 ini, tertangkap basah sedang nyabu (memakai obat jenis shabu).

Kita mungkin bertanya-tanya mengapa seorang Roy Marten bisa dan mau menggunakan narkoba. Untuk apa Roy menggunakan narkoba? Padahal kurang bahagia apa seorang Roy Marten? Harta berlimpah, keluarga harmonis, memiliki istri yang cantik, ketenarannya belum pudar di usia tua, juga ketampanannya. Singkat kata Roy sudah memiliki semua kenikmatan dunia.
Karenanya, pada Rubrik Kisah Nyata kali ini SADAR menampilkan sosok Roy Marten dari sisi pasangan hidupnya, Ana Maria - agar menjadi pelajaran berharga bagi kita semua bahwa narkoba bisa mengenai siapa saja, dari anak-anak sampai orang tua, laki-laki dan wanita, yang bahagia maupun yang bermasalah, orang awam ataupun selebriti terkenal.
Bagaimana kisah seorang Roy menurut penuturan istri tercintanya? Apa sebenarnya yang menjadi penyebab Roy memakai narkoba? Berikut penuturan Ana Maria yang ditemui oleh SADAR di kediamannya di Jalan Meriam G 109, Kalimalang - Jakarta Timur. Wanita yang tetap terlihat cantik walaupun sudah berumur 40-an ini, mengenakan celana jeans berwarna biru muda yang dipadukan dengan kaos putih polos. Dengan ramah ia menyambut kedatangan SADAR dan bersedia berbagi kisah suami terkasihnya, Roy Marten.

Roy Marten di Mata Ana Maria
Terlepas dari permasalahan yang dihadapi oleh Roy, Ana Maria mencoba tetap tegar dan terus mendampingi sang suami dalam setiap proses persidangan. Walaupun sebenarnya, ujian ini bagaikan petir di siang bolong bagi dia dan anak-anaknya. Bagaimana tidak. Di saat kebahagiaan, kedamaian, keceriaan, dan kesuksesan yang tengah dirasakannya sekeluarga, tiba-tiba orang yang menjadi pemimpin, pemberi nafkah, penuntun keluarga harus diambil dari mereka dan disekap di penjara akibat tersangkut masalah narkoba. Maka kebahagiaan, keceriaan, dan kedamaian, seketika berubah menjadi kesengsaraan dan penderitaan. Wajahnya tersenyum, tetapi kesedihan yang begitu dalam tampaknya coba disimpan jauh di lubuk hatinya. Dengan didahului helaan nafas, mulailah Ana menuturkan kisahnya.
“Mas Roy itu orang yang menyenangkan. Dia selalu ingin membahagiakan keluarga. Sebetulnya dia itu banyak banget sisi positifnya. Dia itu murah hati. Saya senang karena dia itu selalu tersentuh kalau ada orang-orang yang kesulitan, teraniaya. Hatinya lembut. Dia juga romantis dan selalu menyenangkan saya. Humoris dan bisa jadi temen buat anak-anak, bisa jadi ayah, guru, komplit sebetulnya. Makanya saya juga agak syok. Ternyata di balik semua kelebihannya itu dia bisa tergelincir ke sini (narkoba, Red.). Agak-agak di luar dugaan saya memang.” tutur Ana.

Nakal Sedari Kecil
Roy Marten nakal. Ini diucapkan sendiri oleh Ana. Tetapi menurut wanita berkulit putih bersih ini, nakalnya adalah nakal biasa, yakni nakal laki-laki pada umumnya. Yang perlu ditekankan adalah kenakalan Roy Marten tidak pernah tergolong kriminal. “Mas Roy itu bukan seorang bajingan, dia laki-laki yang gentle,” jelas Ana.
Menurutnya, kenakalan aktor yang membintangi film Cintaku di Kampus Biru ini sudah dari kecil. Kebut-kebutan di jalan, sering bolos sekolah, tidak naik kelas, dan senang kalau dikeluarkan oleh gurunya dari kelas, adalah sebagian kecil kenakalan seorang Roy Marten. Ulah Roy, menurut Ana diakibatkan karena dia sering diolok-olok sebagai seorang anak keturunan Belanda. “Anak indo itu memang punya kecenderungan nakal ya, jadi gak diterima di mana-mana. Dia sebagai seorang keturunan Belanda yang hidup di Indonesia, tapi dianggap sebagai orang pribumi juga bukan. Nah itu yang membuat dia sering diolok-olok. Kebetulan dia orangnya agak sedikit emosional, jadi dia tidak suka diperlakukan tidak adil. Makanya, dia jadi nakal.” papar wanita yang dipersunting oleh Roy pada tahun 1985 ini.
Tetapi menurut Ana Maria, kenakalan Roy justru berkurang sejak menikah dengannya. Hal ini disebabkan karena pada saat itu aktivitas Roy di dunia film sedang berkurang akibat kondisi perfilman tanah air yang sedang mati suri. Akibatnya Roy jadi jarang ke luar rumah untuk bergaul. Kondisi ini terjadi pada awal usia pernikahan mereka. Pada saat itu Ana Maria masih menekuni dunia modeling. Bahkan ketika Ana ingin pergi ke tempat disko, Roy malah menyuruh adiknya, Chris Salam untuk menemani istrinya tersebut. Sedangkan Roy lebih memilih tinggal di rumah dengan alasan malu pergi ke tempat disko karena sudah tua. Padahal waktu itu umur Roy baru sekitar 30-an. Selain nakal, tambah Ana, Roy juga bukan seorang yang alim atau taat kepada agama. Roy memang orang yang senang bergaul dan memiliki banyak teman.

Penyebab Terkena Narkoba
Henry Yosodiningrat yang juga bersahabat dengan Roy Marten mengatakan bahwa pemeran utama film Roda-roda Gila itu memang mengaku pernah memakai narkoba 15 tahun yang lalu, tetapi sudah lama ditinggalkannya. Ketua Granat (Gerakan Negara Anti Narkoba) itu pun dibuat kaget ketika Roy tertangkap karena kasus narkoba beberapa waktu yang lalu.
Menurut Ana Maria, kemungkinan Roy kembali menggunakan narkoba adalah karena pergaulannya. Pada saat awal pernikahan, Roy bersih dari narkoba karena dia berhenti dari dunia keartisan yang membuatnya lebih sering di rumah dan jarang bergaul. Namun belakangan, ketika dunia sinetron mulai muncul, maka lambat laun Roy pun terjun ke dunia hiburan tersebut dan mungkin ini yang menyebabkan Roy kembali bergaul dengan teman-teman mainnya.
“Mungkin dia ketemu kawan yang tidak bener, karena di dunia ini kan memang rawan sekali ya. Mungkin juga berangkat dari kenakalan Mas Roy. Tapi memang dia bilang, dia agak sedikit sombong waktu itu. Karena dia waktu itu pernah nyoba ngerokok dia bisa berhenti, minum juga bisa berhenti, apa saja dia bisa kendalikan. Semua yang buruk dia bisa berhenti secara tiba-tiba. Jadi dia berpikir, dia memakai shabu pun dia bisa berhenti kapanpun dia mau. Tapi ternyata gak semudah itu. Maka ketika ada seseorang yang menawarkan, masa seorang Roy Marten tidak berani mencoba sih, mungkin seperti itu pikiran dia. Sepertinya ada tantangan dari seseorang kepada Mas Roy untuk mencoba itu. Karena ternyata banyak sekali korban shabu adalah orang yang baik-baik, malah orang rumahan. Mungkin saya agak-agak lengahnya ya di situ, ternyata shabu banyak mengena di kalangan seperti itu. Karena orang-orang seperti orang rumahan saja bisa kena, apalagi Mas Roy yang banyak bergaul. Nah di situ saya kurang waspada.” ungkap wanita yang telah memberikan dua anak bagi Roy Marten ini.
Kondisi ini diperparah dengan jarangnya Roy pulang ke rumah akibat jadwal syuting yang padat dan acara-acara gaul-nya.. “Mas Roy memang mengaku selalu memakai barang tersebut di luar rumah, karena takut sama saya. Dan pulang ke rumah ketika efek dari obat tersebut sudah hilang. Kondisi seperti ini yang membuat saya tidak mengetahui kalau suami saya telah memakai shabu. “Ana Maria menambahkan.
Intensitas memakai shabu pria yang bernama asli Wicaksono Abdul Salam ini, menurut Ana sepertinya bisa dikontrol. “Karena kalau liburan seminggu sama saya, dia nggak pakai nggak apa-apa tuh. Dia butuh itu kalau mobilitasnya lagi tinggi, syuting kejar tayang. Kalau tidak beraktifitas, dia tidak pakai. Dia cukup bisa menguasai rasa candu kalau di depan saya, mungkin saking takutnya dengan saya.” Ana menjelaskan lagi.

Kecolongan
Menghadapi kenyataan sang suami yang dipenjara akibat mengkonsumsi narkoba, membuat diri Ana Maria syok berat. Ia merasa kecolongan. “Ya, saya merasa kecolongan karena selama ini Mas Roy kan banyak baca buku, wawasannya juga cukup luas. Dan dia juga banyak baca buku yang sebetulnya mengasah kebijaksanaan. Tapi setelah tahu prakteknya begini saya juga sempat mempertanyakan ke Mas Roy, kamu ini gimana? Kita hidup ini bukan sekedar teori tapi yang penting itu adalah praktek,” tutur Ana dengan nada meninggi.
Sebetulnya Roy dan Ana sudah sering membicarakan tentang masalah bersenang-senang dalam keluarga mereka. “Kita selalu membahas bahwa kita boleh bersenang-senang, tapi tidak boleh bersenang-senang yang melebihi batas. Kalau senang kita bisa sendiri, tapi kalau susah kan semua orang akan susah. Karena kita ini kan keluarga, keluarga ini kan satu tubuh. Mas Roy sebetulnya selama ini bisa megang itu. Tapi ya, ternyata dia bisa juga terpeleset.” ujar ibu kandung dari Merrari dan Gibran Marten ini.

Hikmah yang Bisa Dipetik
Lebih waspada dan selalu berserah kepada Tuhan. Itulah kata-kata pertama yang meluncur dari mulut Ana Maria ketika ditanya tentang hikmah yang bisa dipetik dari permasalahan yang menimpa keluarganya ini. ”Saya selalu memberikan kepercayaan penuh ke Mas Roy. Mungkin saya harus lebih berserah dan banyak berdoa kepada Tuhan, karena saya gak mungkin memonitor terus Mas Roy. Di luar sana saya tidak tahu apa yang dia lakukan. Jadi sekarang ini saya lebih banyak berdoa.” ujarnya mantap.
Saat ini yang bisa dilakukan Ana Maria hanya menagih janji Roy Marten. Menurut Ana, pria yang lahir pada tanggal 1 Maret 1952 ini berjanji akan fokus ke keluarga setelah dia keluar dari penjara. “Karena dia selama ini hidup untuk teman, lebih banyak ke teman, jadi dia bilang akan berubah sikap. Kalau habis syuting dia akan pulang ke rumah, gak akan kemana-mana lagi. Ya saya akan nagih janjinya aja, saya tidak akan menanyakan gimana-gimana karena Mas Roy tidak suka dengan wanita yang terlalu cerewet.” papar Ana.
Menurut Ana dengan adanya kejadian ini, Roy secara tidak langsung juga membuat orang-orang menjadi lebih baik. Ana mengatakan seperti itu mungkin karena Roy adalah artis terkenal dan banyak penggemarnya. Musibah yang menimpa Roy membuat para penggemar pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, bersimpati. Karena Roy sendiri pun tabah dan gentle menghadapi permasalahan ini dengan mengaku telah memakai narkoba dan siap menanggung semua resiko dan hukumannya. Roy pun dalam berbagai kesempatan di depan media infotainment selalu menasihati masyarakat untuk tidak memakai narkoba. Semua itu membuat simpati kepada Roy semakin banyak dan akhirnya berdampak pada semakin waspadanya masyarakat terhadap narkoba. “Orang akhirnya tahu bahwa memakai narkoba itu tidak baik, akibatnya seperti ini, susah. Seorang Roy saja diperlakukan seperti ini.” tutur Ana Maria.
Akibat kejadian pahit tersebut, Ana berniat akan terjun langsung ke dunia sosial guna menangani kasus narkoba setelah sang suami keluar dari penjara dan setelah keluarganya kembali mapan dan stabil. “Kita perangi narkoba dengan cara yang benar. Harus di rehab bukan di penjara. Kasihan kan pemakai dimasuki ke penjara. Dia kan sakit, dan bukan penjahat. Kalau dia masih muda dan kecanduannya masih gede, dipenjara nanti malah direkrut oleh bandar-bandar besar yang menyuplai mereka narkoba. Jadi bukannya berhenti, malah dia tambah jago di dalam. Keluar penjara dia malah jadi bandar dan bisa menjaring kelompok yang lebih banyak, itu katanya banyak terjadi di penjara. Mas Roy banyak lihat yang seperti itu.” ungkap Ana Maria polos.
Di akhir perbincangan, tidak lupa Ana Maria berpesan kepada pembaca SADAR agar menjauhi narkoba, lebih waspada dan bereaksi cepat apabila ada anggota keluarga yang terkena narkoba. (DIM)

KisahNyata - SADAR Juni 06 (Hal. 26-29)

Mending Dibilang Banci daripada Hancur karena Narkoba


“ANDA wartawan dari Majalah SADAR itu ya?”
Kata-kata itu tiba-tiba saja dilontarkan oleh seorang laki-laki berperawakan kurus, berkulit putih, dan menggunakan penutup kepala yang dihiasi dengan kacamata hitam sporty. Orang itu ternyata adalah Ricky (bukan nama sebenarnya, Red.), yang memang ditunggu-tunggu oleh SADAR sebagai sosok Rubrik Kisah Nyata SADAR edisi kali ini. Melihat Ricky, SADAR seakan tidak percaya bahwa ia dulu pernah kecanduan narkoba. Matanya bersih, mukanya terlihat begitu fresh (segar, Red.). Kami pun kemudian saling memperkenalkan diri.

Sesaat kemudian kami sudah duduk di sebuah tempat bernama Toraja CafĂ© yang terletak di Mal Ambassador. Di awal SADAR mengajukan pertanyaan, Ricky mengatakan bahwa sebenarnya ia enggan menceritakan masa lalunya yang kelam. Apalagi cerita itu untuk dipublikasikan melalui majalah. “Makanya saya gak pernah mau diekspos. Jangankan sama media terkenal, sama media gereja saja saya gak mau diwawancara.” ungkap pria kelahiran 16 September ini
Bagi Ricky, masa lalunya yang kelam biarlah menjadi jejak-jejak hidupnya, tidak perlu diekspos. Tetapi khusus untuk pembaca majalah SADAR, pria yang mempunyai tato di pergelangan tangan kirinya itu akhirnya bersedia berbagi kisah. Tujuannya, semoga bisa menjadi inspirasi bagi pembaca SADAR karena saat ini dirinya juga sedang memerangi narkoba.

Orang Tua Setiap Hari Ribut
Ricky menghabiskan masa kecilnya di tengah keluarga yang broken home. “Masa kecil saya kacau banget. Orang tua saya setiap hari pasti ribut. ribut, dan ribut. Karena itulah, keributan adalah hal biasa bagi saya,” ungkap Ricky. Selain broken home, Ricky kecil juga harus menghadapi kenyataan pahit jarang berkumpul dengan orang tua. Penyebabnya adalah karena dirinya sering dititipkan ke kerabat, dan otomatis ia selalu berpindah.
Memasuki masa SMP, Ricky mulai mencoba merokok. Kondisi mental yang sedang kacau ditambah pergaulan yang tidak baik, membuat kebiasaan merokoknya semakin menjadi. Awalnya orang tua Ricky tidak mengijinkannya merokok, tetapi akhirnya mereka menyerah. Menurut Ricky, awal dari kebiasaan memakai narkoba adalah merokok. “Soalnya waktu saya pusing, saya isep rokok. Kalau sudah gak mempan, saat itulah mulai mencoba-coba narkoba. Dan rata-rata tipikal pecandu narkoba di Indonesia seperti itu, diawali dengan kebiasaan merokok.” terang Ricky sambil menyeruput jus jeruknya.
Saat menginjak bangku SMA, Ricky pertama kali mencoba narkoba. “Kira-kira tahun 80-an. Waktu itu zamannya megadon (jenis narkoba, Red.), jadi saya pertama kali nyoba ya megadon itu. Pertama kali nyoba sih rasanya pusing, bawaannya males banget, pokoknya gak enak banget deh!” tuturnya mengenang.
Walau begitu Ricky tetap saja mengkonsumsi obat terlarang, sampai akhirnya ia pun kecanduan. Kondisi ini diperparah oleh lingkungan tempat tinggalnya. “Saya kenal narkoba pada saat saya tinggal di daerah Pasar Baru, di Gang Kelinci. Gang itu tuh emang sarangnya bandar narkoba. Apalagi daerah sekitar rumah seperti Pecenongan, Gang Kingkit, Kartini, Batu Tulis. Semuanya daerah drugs.” ungkap penggemar klub sepakbola AC Milan ini.

Jadi Preman karena Narkoba
Mengkonsumsi megadon, jelas Ricky, membuat emosinya tinggi dan tidak stabil. Akibatnya, pemuda keturunan Manado ini jadi sering ribut dengan orang lain dan selalu mengarah ke baku fisik. Mulailah Ricky menekuni karirnya sebagai preman. Bersama teman-temannya, Ricky selalu meminta uang keamanan ke toko-toko di daerah Pasar Baru. “Setiap toko saya mintain Rp 50.000 - Rp100.000. Hasilnya saya pakai mabok sama teman-teman.” papar Ricky mengingat masa lalunya.
Memasuki masa kuliah, kebiasaan Ricky mengkonsumsi narkoba makin parah. Ia pernah tidak sadarkan diri selama sehari penuh karena meminum lima butir megadon dan menghisap 15 linting ganja seukuran rokok kretek bersama temannya. Makin lama kebiasaannya ini membuat otaknya tidak dapat berpikir. Akhirnya ia keluar dari kuliahnya di salah satu universitas di kawasan Kuningan, Jakarta.

Sembuh Ditolong Teman Satu Gereja
Ricky menganggap dirinya masih disayang Tuhan. Karena di tengah keterpurukannya menjadi pecandu narkoba dan keluarga berantakan, masih ada orang yang mau menolongnya. Orang itu bernama Susi Thenu, temannya di gereja. Susi-lah yang mengajak Ricky untuk mengikuti acara gereja Teen Chalenge, acara khusus untuk pemuda yang sedang kecanduan narkoba dan ingin sembuh. “Akhirnya saya mendapat hidayah Tuhan di gereja tersebut dan saya langsung mengutarakan niat saya untuk sembuh di hadapan Tuhan. Setelah itu saya langsung mengikuti rehabilitasi. Waktu itu saya dikarantina selama tiga bulan di daerah Cibubur, di bawah pengawasan pendeta dan pembina.” tutur Ricky.
Terapi yang dijalankan Ricky tidak melibatkan dokter sama sekali, karena waktu itu dokter khusus kecanduan narkoba belum ada di tempat rehabilitasi tersebut. Ia hanya mendapatkan segelas susu ketika tubuhnya mulai sakaw atau ketagihan. Awalnya susu itu pasti dimuntahkan kembali. Tetapi pembina di sana tetap membiarkan pasien mengalami sakaw, sampai sakawnya lewat. “Seperti itu setiap kali saya sakaw. Walaupun saya pingsan, atau mengerang kesakitan yang diberi ya hanya segelas susu,” Ricky menambahkan.

Pergi ke Amerika
Setelah mengikuti karantina pada tahun 85-an, kondisi kesehatan Ricky berangsur pulih. Ia tidak lagi memakai narkoba jenis apapun. Walaupun berulang kali ia mendapat godaan dari temannya, bahkan sampai dipukuli, ia tetap teguh pada pendiriannya untuk tidak memakai narkoba lagi. Waktu luangnya digunakan untuk bekerja. Sampai pada suatu saat, ia bekerja di sebuah perusahaan swasta yang mempunyai piutang sebesar Rp 1,2 milyar yang macet selama dua tahun lebih. Kebetulan, ia memilili teman seorang debt collector (penagih hutang, Red.). Ia lantas meminta bantuan temannya untuk menagih. Tidak disangka, dalam kurun waktu dua hari orang tersebut langsung melunasi utangnya, padahal hanya melalui dialog, bukan pendekatan fisik. Akhirnya Ricky mendapat bonus, ia diberi kebebasan untuk berlibur ke luar negeri selama dua minggu, sebuah pengalaman yang ia anggap sebagai mujizat dari Tuhan. “Saya akhirnya milih Amerika, karena saya ingin sekali ke sana dan saya memang belum pernah ke sana,” ujar Ricky sambil tersenyum.
Akhirnya Ricky ke Amerika, dan menghabiskan waktu dua minggu bertamasya. Satu hari sebelum kepulangannya, Ricky berubah pikiran. Ia ingin menetap di Amerika. “Saya mutusin untuk tinggal lebih lama di Amerika, saya pengen sekolah di sana. Padahal waktu itu duit saya tinggal 100 dolar. Tapi karena bayar sekolahnya bisa dicicil, akhirnya saya berani. Duit saya yang tinggal 100 dolar itu, saya bikinin SIM sama KTP plus merubah visa saya dari visa kunjungan wisata ke visa pelajar, waktu itu kita tinggal nambah 45 dolar. Setelah surat itu jadi semua, saya langsung kerja jadi supir delivery service (layanan hantar, Red.) di Pizza Hut. Gajinya saya gunakan untuk bertahan hidup sama kuliah. Sejak itulah saya bisa kuliah di Amerika dan hidup selama kurang lebih 5 tahun di sana” ungkap Ricky panjang lebar.
Di negeri Paman Sam itu, Ricky mengambil kuliah ekonomi. Ia tinggal di Pasadena, Los Angeles. Selama kuliah, ia juga mengikuti ekstra kulikuler sinema. Karena itulah ketika Ricky kembali ke Indonesia, ia langsung bekerja di Broadcast Design Indonesia, satu rumah produksi terkenal di tanah air.

Membina Anak Jalanan Korban Narkoba
Saat ini Ricky disibukkan dengan aktivitas sosialnya membina anak-anak jalanan korban narkoba, bersama dengan Zack Lee (kekasih artis Nafa Urbach, Red.), dan Nyong (drummer penyanyi Glenn Fredly, Red.). Nama perkumpulannya adalah Underground Ministry. Melody Karaoke di belakang Blok M Plaza menjadi tempat nongkrong perkumpulan ini. Selain itu, Ricky juga tengah sibuk dengan Event Organizer (EO) miliknya yang bernama Sonja Media Entertain (SME). Di bawah bendera SME, Ricky menangani sejumlah artis antara lain Sonja, Saint Locco, dan grup musik Senyawa.
Bersama Underground Ministry, Ricky punya obsesi memiliki rumah sebagai tempat singgah untuk anak-anak pecandu. “Saya pengen mereka semua bisa punya skill (ketrampilan, Red.) dan pekerjaan tetap. Sehingga mereka bisa berguna dan bergabung lagi ke masyarakat. Jadi saya gak cuma nyadarin mereka untuk sembuh. Buat apa kalo setelah sembuh dia gak bisa ngapa-ngapain?” Ricky mencurahkan pandangannya.
Khusus untuk pembaca SADAR, pria yang menjagokan Belanda di Piala Dunia 2006 ini, menyampaikan pesan agar jangan sekali-kali mencoba narkoba. “Say no to drugs, jangan takut dibilang banci kalo gak pake daripada hidup lu hancur dan terpuruk karena narkoba!” tegasnya mantap, menutup obrolan sore itu. (DIM)

Sadar, April 2006

”Pemakai shabu lebih bodoh dari binatang”


KALAU dilihat dari fisiknya mungkin banyak yang menyangka bahwa dia sudah berusia di atas 60 tahun. Gigi depannya sudah tanggal alias ompong. Rambutnya sudah menipis dan sebagian besar berwana putih. Hanya kulitnya saja yang belum keriput layaknya kakek-kakek. Namun setelah ngobrol lebih jauh, gayanya santai, bicaranya ceplas-ceplos, sesekali humor-humor segar pun meluncur dari bibirnya.

Haji Kaharudin, ternyata umurnya baru menginjak kepala lima. "Kenapa banyak yang nyangka saya udah kakek-kakek? Padahal saya baru berumur 54 tahun." gumam Kaharudin. Ia pun lantas bercerita keadaan fisik tubuhnya yang seperti itu adalah akibat menggunakan berbagai macam narkoba. Dalam kurun waktu 7 tahun (1995-2002) kelahiran Pontianak ini kecanduan narkoba, terutama jenis shabu. Menurutnya efek shabu terhadap tubuh sangat merugikan, mulai dari rambut rontok, gigi ompong, fisik jadi cepat lemah, otak jadi lemot (lambat berpikir, Red.), dan yang paling fatal adalah menurunnya gairah seks.

Di daerah kediamannya, Ternate, tidak ada yang tidak mengenal Kahar - dari tukang ojek sampai pemilik perusahaan, dari staf pegawai pemerintahan sampai gubernur. Masyarakat Ternate akrab memanggil beliau dengan nama Haji Ompong sesuai dengan ciri-ciri fisiknya. Walau begitu, ketenarannya itu tidak menghalangi pria yang mahir berbagai jenis bahasa daerah ini untuk berbagi kisah tentang masa kelamnya dulu. "Saya terbuka untuk menyampaikan apa yang saya alami untuk generasi muda, supaya mereka tuh tahu bahwa memakai narkoba itu salah. Memang ada gunanya tapi sangat sedikit." tandas Kahar. Sore itu dengan mengenakan kemeja dan celana jins santai, Kahar menuturkan kisah hidupnya yang sangat panjang dan menarik di sebuah hotel di kawasan pusat Jakarta, saat ia berkunjung ke ibukota.


Menggelontorkan Granat

Untuk urusan nakal, kata Kahar, telah dimilikinya sejak kecil saat duduk di Sekolah Rakyat (SR). Waktu itu ia sering berkelahi. Bak seorang pahlawan, dirinya sering membela teman-temannya. "Teman saya yang berkelahi, saya yang maju. Main golok dan segala macam juga saya layani," ucap Kahar bersemangat.

Ketika masuk SMA, kenakalannya pun makin menjadi, dari iseng-isengan, berkelahi, mencuri, dan mabuk-mabukan. Pernah suatu waktu Kahar memiliki sebuah granat. Karena sifat isengnya yang kelewat besar, ketika teman-temannya sedang main basket dengan sengaja ia menggelontorkan granat ke lapangan tersebut. Sontak teman-temannya langsung berhamburan.

Ketika SMA, jarak antara sekolah dan rumahnya sangat jauh. Karena itu, Kahar sering menginap di rumah teman-temannya. "Rumah di Cimahi, sekolah di Bandung, kira-kira dua belas kilometer jaraknya. Dulu belum ada mobil-mobil. Jadi saya harus jalan dan naik truk pasir yang lewat. Kalau kemalaman, yah mending
nginep di rumah teman. Saya juga sering nginep di rumah teman saya yang wanita, dulu saya sering tidur di rumah mamahnya Rina Gunawan." kenang Kahar.

Pada masa SMA ini pula ia mulai mengenal jenis-jenis narkoba. Namun, ganja yang diakui paling dikenalnya. Di tempat bergaulnya, yakni tempat berkumpul banyak remaja nekat dan nakal, ia jadi sering ngeganja. "Mengganja dulu bukan untuk nyandu, tapi untuk senang-senang saja. Kalau saya bawa ganja bukan selinting dua linting tapi satu tas tentara. Saya tanam di Batujajar dan Cimahi dulu. Cuman saya sendiri jarang ngerokok karena saya dulu pelari." tuturnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.



Ranking Se-Asia

"Saya inikan gila di sini (Jakarta, Red.). Siapa yang gak tau saya, penyanyi seperti Dedi Dores aja anak buah saya kok. Saya memang pemakai berat, mungkin di Jakarta ini gak ada yang nandingin, bahkan kalau ada ranking mungkin saya termasuk ranking untuk pemakai narkoba se-Asia," ujar anak kedua dari empat bersaudara ini menggebu. Kenangan Kahar kembali ke tahun 1995, saat usai menunaikan ibadah haji sekaligus harus berpisah dengan istrinya. Kehidupan bebas ala pelaut rupanya tidak bisa diterima oleh sang istri sehingga ketika Kahar sedang berpesta di sebuah diskotik dengan ditemani seorang wanita, istrinya datang mendamprat Kahar dan perempuan tersebut dengan kata-kata kasar dan sumpah serapah. Merasa sakit hati, Kahar mendatangi sang istri dan berkata, "Mulai hari ini kamu bukan istri saya lagi!" Ia juga mengatakan akan mengawini perempuan diskotik yang didamprat tersebut hanya untuk membuat sang istri sakit hati.

Setelah bercerai, Kahar keluar dari tempat tinggalnya di kawasan Kemang Pratama dan menyewa sebuah kamar berukuran kecil di daerah Kemayoran. "Banyak teman-teman saya yang nanya kok mau nyiksa diri dari istana pindah ke gubuk. Saya keluar rumah memang hanya membawa badan. Rumah saya di kawasan Kemang Pratama yang saya beli seharga 1M, saya tinggalin!" tegas pria yang memiliki hobi memancing di empang ini. Lingkungan tempat tinggal barunya ternyata tidak seramah dan senyaman tempat tinggalnya dulu. "Di Kemayoran itu dulu sarangnya narkoba. Tempat bandar paling besar di Jakarta. Barang apa aja ada di situ. Kegilaan saya mulai pada saat itu karena dikelilingi oleh perempuan-perempuan nakal dan kehidupan malam di situlah saya mengenal shabu," papar Kahar sembari menambahkan bahwa di situ ia hanya bertahan sampai empat bulan dan kemudian pindah menyewa sebuah rumah berukuran besar yang masih terletak di kawasan Kemayoran.

Di dalam rumah tersebut Kahar membeli alat-alat band dan membuat studio rekaman. "Dedy Dores saya rekrut. Saya bikin band namanya Baruna Grup. Bikin sinetron juga. Punya rekaman juga." tutur Kahar.

16 Juta Seminggu

Menurut Kahar, kecanduannya akan shabu bukan atas bujukan orang lain tapi karena kemauannya sendiri. Namun tidak ia pungkiri memang pergaulan mempengaruhi mengapa ia memakai shabu. Setelah mencoba shabu Kahar merasakan sensasi senang, takut, gembira yang luar biasa - tergantung dari perasaan kita sebelum memakai barang haram tersebut. "Kalau kita lagi senang trus
make shabu, fly-nya lebih senang. Kalau takut jadinya malah parno dan sangat ketakutan. Kalau sudah begitu bisa nekat loncat dari ketinggian, lari sekencang mungkin. Binatang harimau yang larinya kencang, orang yang nyabu masih lebih kencang larinya dari harimau. Jadi shabu waktu itu cocok dengan kondisi saya. Hanya shabu yang bisa dipakai untuk ketenangan dan bisa dipake sendiri gak usah bareng-bareng. Karena saya kalau nyabu tidak pernah ngajak atau ngebujuk teman untuk ikut make." ujar ayah dari satu putra ini.

Pada kurun waktu 1995 sampai 1999, rezeki yang diterima Kahar sangat berlimpah. Semua yang ia lakukan bisa menghasilkan duit, bahkan sampai mengekspor barang ke luar negeri. Mobil limosin dan mobil build up lainnya memenuhi garasi rumah. Cincin dan batu-batu seharga ratusan juta terpasang di jarinya. Disokong dengan dana yang tak terbatas, membuat kecanduannya semakin menggila. Narkoba seperti inex, ekstasi ia beli dalam jumlah besar dan selalu tersedia seperti kacang goreng di rumahnya. Shabu yang sudah seperti makanan pokok untuk Kahar, tentu tidak ketinggalan. Dalam seminggu ia bisa menghabiskan Rp 16 juta untuk membeli shabu. "Dulu satu ons itu 16-an juta. Paling itu bisa bertahan sampai seminggu, malah gak
sampe mungkin." kata Kahar.

Dalam kurun waktu tersebut Kahar tetap melaksanakan tugasnya di kantor yakni di Barito sebagai kepala perkapalan. Lama-kelamaan produktifitasnya menurun, Kahar bahkan hanya mampu mengandalkan anak buahnya untuk bekerja. Pernah pada saat ia sedang rapat dengan bos-bos perusahaannya dari Korea ia tertidur sampai rapat berakhir. "Bangun-bangun badan saya sudah diselimuti dan ruangan sudah sepi." kenang Kahar.

Tidak Makan Berhari-hari

Efek jahat shabu pada tubuhnya sudah mulai parah. Badannya seakan tidak punya tenaga untuk beraktifitas, ia bisa menghabiskan sehari penuh untuk tidur sehingga kerjaannya pun terbengkalai. Badannya kurus karena tidak ingat makan, otaknya lemah. Bahkan karena saking seringnya tertidur ia sudah lupa akan waktu dan hari. Akibatnya Kahar jadi bulan-bulanan penipuan oleh teman dan anak buahnya. Barang-barang di rumahnya ia jual dengan harga murah tanpa sadar. Mobil limosinnya hanya dijual dengan harga 100 juta, itupun baru diketahui ketika satu hari ia ingin keluar rumah. Seperti biasa supirnya pasti bertanya ingin menggunakan mobil yang mana, spontan ia jawab mobil limosin. Namun supirnya berkata bahwa mobil itu sudah dijualnya tadi malam dengan harga 100 juta. Ketika bertaruh dalam pertandingan sepak bola pun Kahar selalu mengalami penipuan. Ia selalu bertaruh untuk pertandingan yang sebenarnya sudah selesai dan hasilnya sudah ada. Sekali bertaruh ia bisa kalah sampai 50 juta.

Saking seringnya mengalami penipuan, lama-kelamaan akhirnya Kahar bangkrut juga. Untuk memenuhi kebutuhannya akan shabu ia terpaksa menjual barang-barang berharga yang tersisa. Cincin dan batu seharga ratusan juta ia jual dengan harga jutaan saja. Mobil-mobil koleksinya satu persatu hijrah dari garasi. Namun sampai semua barangnya sudah habispun kecanduan Kahar akan shabu belum berhenti juga. Kahar bahkan sampai tidak makan berhari-hari karena tidak punya uang. Teman-temannya yang dulu baik, kabur dan menjauh. Hanya segelintir orang saja yang kadang masih ingat kepadanya dan mau memberi ia makan.

Puncaknya ketika bulan Mei 1999, Kahar keluar dari tempatnya bekerja. Lebih tragis lagi ia harus menerima kenyataan ditinggal pergi ibunda tercinta untuk selamanya. Harta terakhir yang ia miliki yaitu sejumlah uang dalam rupiah dan dolar raib diambil di bandara ketika Kahar ingin menghadiri pemakaman ibunya.


Bertemu Dewi Penolong

"Hidup saya sudah pasrah, mau makan atau tidak kek terserah," kenang Kahar pada saat kecanduannya akan narkoba masih merongrong walaupun harta ludes tak tersisa. Teman dan keluarga menjauh. Tak disangka ternyata salah satu keponakannya yang menjadi dokter mau berkunjung. Saat itu sang ponakan membawa serta temannya yang juga seorang dokter bernama dr. Rosidah HS. Kesan pertama bertemu dengan Rosidah sudah membuatnya ingin memukul wajah gadis yang sebenarnya berparas cantik tersebut, sebab shabu miliknya dirampas dan dibuang oleh Rosidah.

"Waktu saya lagi ngobrol sama keponakan saya, dia buang semua shabu saya. Saya marah sekali, rasanya saya mau tempeleng dia. Tapi dia dengan entengnya malah berkata saya yakin kok kamu bisa jadi suami saya. Asal kamu berhenti memakai shabu saya bersedia dikawini sama kamu. Saya bilang, kamu gila? Karena dengan kondisi saya yang sudah parah, badan kurus, mata keluar, rambut rontok. Siapa yang mau sama saya?" ucap Kahar akan kesannya ketika bertemu pertama kali dengan Rosidah.

Namun ternyata omongan itu tidak main-main. dr. Rosidah membuktikan bahwa ia memang menyayangi Kahar dan benar-benar ingin melihatnya sembuh dari kecanduan shabu. Akhirnya bulan Juli tahun 2000, Kahar menikah dengan dr. Rosidah yang ternyata masih adik sepupu dari seorang petinggi di Polda Metro Jaya. Perbedaan umur 15 tahun tidak menjadi penghalang. Meski saat melamar, orang tua gadis bertanya padanya "Om, mana calon mempelai prianya? Saya jawab, saya sendiri. Kaget bukan kepalang mertua saya." cerita Kahar. Banyak teman-teman Kahar yang tidak percaya kalau ia bisa menikah dengan gadis cantik, kaya, dan berprofesi dokter. "Teman saya pada bingung gimana bisa? Kamu aja bingung apalagi saya." ucap Kahar sambil tertawa lepas.


Dikurung 3 Bulan

Kahar mengakui kalau istrinya memang sosok yang paling berperan dalam proses pemulihannya. Tapi dengan sedikit berkelakar, ia menyatakan alasan utama adalah karena sebetulnya uangnya sudah habis. "Kalau uang saya masih ada mungkin saya masih make walaupun saya ketemu dia." ucapnya. Kahar sempat dikurung oleh sang istri selama tiga bulan dalam kamar yang terisolasi. Selama dalam masa kurungan itu yang ia kerjakan hanya tidur menunggu istrinya pulang. Efek shabu menjadikan emosi Kahar sangat labil, persoalan kecil saja bisa membuat ia dan istri bertengkar. Namun dengan sabar dr. Rosidah terus berusaha merawat Kahar.

Setelah sekian lama dijaga oleh sang istri, berangsur-angsur kondisi kesehatan Kahar mulai pulih. Tekadnya untuk sembuh sudah bulat. Ia tahu betapa sulitnya untuk berhenti dari kecanduan shabu dan ia tidak ingin mengulangi kebodohannya untuk kedua kali. "Saya sadar bahwa untuk sembuh itu susahnya bukan main. Yang saya rasakan ketika penyembuhan itu udaranya panas sekali. Sampai-sampai kalau malam, saya tidurnya di bak kamar mandi berendam dengan air." ucap Kahar sambil menerawang.

Karena itu ia berpikir untuk pindah dari Jakarta ke Ternate dengan pemikiran di daerah pasti shabu susah didapat. Sang istri pun mendukung keinginan suaminya untuk pindah walau harus pindah dari rumah sakit tempat kerjanya di Jakarta. Di Ternate, kebaikan dan kedermawanannya sangat terkenal. Di tempat itu pula perlahan-lahan Kahar mulai membangun lagi kehidupannya bersama istri dan anaknya Sy. Ade Baruna Alqadrie yang masih kecil. Kehidupan ekonominya berangsur pulih walaupun tidak sejaya dahulu. Teman-temannya sudah mulai percaya kepada Kahar ketika mengetahui dirinya sudah pulih dari kecanduan shabu. Proyek-proyekpun mulai diberikan kepada Kahar. Menurut Kahar saat ini ia masih bekerja di bidang yang berhubungan dengan perkapalan, dan mulai merambah ke bidang pertambangan.

Saat ini ia sudah banyak menyadarkan orang di Ternate, terutama kaum muda. "Dengan cerita saya ini, saya ingin pembaca SADAR jangan pernah coba-coba pakai narkoba. Untuk yang masih make, sebenarnya harga diri mereka akan hilang karena jadi bodoh, lebih bodoh dari binatang. Sebodoh-bodohnya binatang lebih bodoh lagi orang yang make shabu. Kedua, mereka tidak menyadari akibatnya nanti. Syukur kalau dia mati, tapi kalau tidak? Bisa gila. Seperti saya ini sudah mengalami akibatnya." tandasnya mantap sebelum menutup pembicaraan. (DIM)


Kisah Nyata – SADAR Des 06 (Hal. 29-33)Capt. H. Kaharudin




Percaya adanya Harapan dan Tidak Takut Menjalaninya


SETIAP orang tentu tidak ingin hidupnya terus terpuruk. Apalagi terpuruk dalam jurang narkoba. Keinginan untuk bangkit dari keterpurukan dan memperbaiki hidup yang telah rusak oleh narkoba pasti pernah hinggap di dalam hati sanubari setiap pecandu narkoba. Yang membedakan adalah, kemauan dan tekad dari dalam diri untuk bebas dari narkoba sehingga seorang pecandu bisa sukses mendapatkan gelar "mantan" atau tetap terpuruk dalam jurang narkoba yang sebetulnya telah mereka sadari sendiri penderitaannya.

Rasa itu juga yang hinggap dalam hati Dani (bukan nama sebenarnya, Red.), sosok Kisah Nyata SADAR kali ini. Semenjak dirinya memakai putau di awal memasuki masa kuliah tahun 1996 silam, keinginan untuk sembuh terus menghinggapi dirinya. Dani sadar, semenjak dirinya memakai barang haram tersebut hidupnya jadi tidak memiliki motivasi. "Make narkoba tuh bikin kita jadi orang yang tidak tahu tujuan hidup. Hidup kita sebenarnya untuk apa. Motivasi kita hidup, mau jadi apa, mau ngapain, semuanya jadi gak tahu, nge-blank (kosong, Red.) aja." ujar Dani.

Dani sebenarnya lebih senang menceritakan kehidupannya yang sekarang, dengan status saat ini yang sudah bisa dikatakan seorang eksekutif muda. Dani yang bekerja sebagai Sales Supervisor di sebuah merek mobil ternama ini mampu menuai penghasilan hingga 8-10 juta rupiah per bulan. Sebuah mobil keluaran terbaru yang dikendarainya saat ini merupakan hasil keringat sendiri. Pendapatan yang ia peroleh tergantung dari kemampuan Dani menjual berapa banyak unit mobil keluaran perusahaannya. Dani pun berusaha sekuat mungkin mencapai pendapatan yang besar karena biaya hidupnya sehari-hari juga besar. Lingkungan kerja yang mengharuskannya sering berhadapan dengan kalangan menengah ke atas, mau tidak mau mengharuskan perjaka ini mengerti dan terkadang ikut menjalani gaya hidup mereka. "Dan kalau saya sudah punya ukuran di mana saya hidup dengan biaya seperti itu, saya harus jaga itu." tutur Dani menjelaskan.

Biaya hidup yang membubung, menurut perhitungan Dani sebagian besar tersedot ke biaya BBM yang tiap hari harus ia keluarkan mengingat mobilitasnya yang sangat tinggi. Pada saat SADAR ingin bertemu dengan Dani untuk melakukan wawancara saja, Dani harus merelakan sedikit waktunya yang padat untuk bertemu relasi. "Saya habis ini ada janji dengan relasi di sebuah bank kawasan Menteng," katanya. Dalam satu hari Dani bisa saja harus meluncur dari kawasan Pondok Indah ke sentra bisnis Cikarang untuk bertemu pihak rekanan.

Semuanya Rusak

Kesibukan yang rutin dijalani, sama sekali tidak dikeluhkan oleh Dani. Baginya itu adalah perjuangan hidup yang harus dijalani karena saat ini ia sudah tahu tujuan hidup dan memiliki motivasi hidup. "Umur saya sekarang sudah 29 tahun, dan saat ini saja saya boleh dibilang belum jadi apa-apa, belum punya apa-apa. Kalaupun saya ingin menikahi seorang perempuan mau dikasih makan apa nanti? Saya juga belum memiliki tempat tinggal sendiri, masih numpang sama orang tua. Jadi masih banyak yang harus saya kejar." ucapnya dalam rentetan kalimat panjang.

Ketegaran, keuletan, dan semangat Dani menjalani hidupnya saat ini tidak terlepas dari kisah hidupnya yang pahit di masa lalu. Sebagai seorang pecandu putau, hidupnya bisa dibilang sudah pernah terpuruk sampai jurang yang terbawah. Semuanya rusak, dalam segala hal kehidupan Dani. Hubungan dengan keluarga menjadi tidak romantis, hubungan dengan teman-temannya juga hancur. Uang yang dihabiskan untuk membeli barang haram tersebut sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Terkadang Dani terpaksa mengambil barang-barang di rumah agar dia dapat membeli putau. Kuliah yang ia jalani sampai terbengkalai, dan puncaknya adalah Dani harus mengalami hidup terkungkung dalam penjara akibat tertangkap saat memakai putau. "Jadi saya udah ngalamin semuanya, dan karena saya tahu gimana gak enaknya, susahnya kedua orang tua ngurusin saya. Dan saya sadar kalau saya balik lagi seperti dulu, hidup saya mengalami kemunduran. Saya gak mau itu." ucapnya lirih.

Senang Mencoba Sesuatu yang Baru

Terperosoknya Dani ke dalam narkoba tidak terlepas dari kepribadiannya yang senang mencoba sesuatu yang baru. Sedari kecil Dani mengaku sangat penasaran apabila menemukan sesuatu yang belum pernah ia lihat dan belum pernah ia rasakan. Ditambah lagi Dani sosok pribadi yang supel dan senang bergaul atau kumpul bareng teman-temannya.

Dani dibesarkan dalam keluarga baik-baik dan menurutnya sederhana atau tidak terlalu kaya. Sampai saat ini ayah ibunya masih bersama dan hubungan dengan kakak dan adiknya juga baik-baik saja. Jadi intinya terjerumusnya Dani kepada narkoba tidak disebabkan oleh keluarga, melainkan karena faktor dirinya sendiri seperti yang telah ditegaskannya.
Dani menganggap masa kecilnya biasa-biasa saja. "Masa kecil saya biasa aja kayak anak-anak yang lain. Cuma mungkin karena saya gak pernah dapat kebahagiaan yang kayak gimana banget dalam keluarga, mungkin saya jadinya nyari ke temen-temen saya. Maksudnya senang-senang, karena didikan keluarga saya yang prihatin," ujar lelaki yang hobi otomotif ini.

Dari kecil ia dan dua saudara kandungnya dididik untuk menjadi orang yang prihatin. Dani tidak pernah diberi uang jajan. Bahkan dulu saat merayakan Idul Fitri, Dani dan kedua saudaranya tidak pernah dibelikan baju baru oleh sang ayah. "Walau begitu saya tetap merasa bahwa didikan orang tua saya yang paling bagus," ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini. Dani juga adalah seorang anak yang cerdas. Saat menempuh pendidikan di sekolah dasar Dani selalu mendapatkan ranking tiga besar. Waktu itu Dani bersekolah di sekolah katolik yang memiliki kedisiplinan luar biasa. Tapi memang dasarnya Dani adalah anak yang pandai, ranking tiga besar selalu dapat ia raih sampai akhirnya berhasil masuk ke SMP negeri.

Pada masa ini ketertarikan Dani akan dunia otomotif mulai muncul. Di saat teman-teman SMP yang lain lebih tertarik ikut kursus bahasa Inggris dan pelajaran yang lain, Dani malah memilih ikut kursus montir. "Jadi dari dulu saya sudah bisa nurunin mesin mobil dan naikin lagi," kenang Dani. Rupanya ketertarikan Dani tidak hanya di dunia otomotif. Awal mula Dani mencoba narkoba juga terjadi pada masa SMP. Saat dirinya menginjak kelas dua SMP, waktu itu ia dan temannya sering melihat kakak kelas mereka menghisap sejenis rokok yang dilinting sendiri. Rasa penasaran membuat Dani dan temannya kemudian meminta untuk mencoba barang tersebut dan sang kakak itupun membolehkan. Rasa cimeng atau ganja untuk pertama kalinya Dani rasakan. "Rasanya sih aneh aja, pusing!" ucap Dani. Tapi kemudian Dani dan temannya ingin mencoba lagi barang tersebut, karena katanya barang itu bisa membuat kita gembira karena selalu tertawa. Akhirnya mereka berdua membeli cimeng, dan dipakai di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Ternyata benar, setelah sekian lama Dani memakai cimeng ternyata cerita tentang efek cimeng itu benar-benar ia rasakan. "Lucu bisa ketawa-ketawa dan lari-larian yang nggak genah (tidak jelas, Red.) gitu deh." ujar Dani.

"Setelah itu saya jadi nyobain yang lainnya seperti minuman. Tapi saya tidak kecanduan cimeng. Sampai saya SMP kelas 3 saya terus make cimeng dan minum minuman keras, tapi jarang. Paling kalau lagi ngumpul-ngumpul bareng temen, 3 bulan sekali mungkin. Atau pas week end jaman-jaman dulu diskotik pas lagi nge-boom, karena saya make itu memang buat seru-seruan aja, suasana jadi lebih asyik dan hidup aja." kenang Dani.

Pada masa SMP, Dani tetap mampu meraih ranking tiga besar di kelasnya. Dani mengaku pemakaian narkoba jenis cimeng dan minuman keras belum mempengaruhi kinerja otaknya karena dia jarang memakai barang tersebut. Dasarnya cerdas, lulus dari SMP Dani mampu menembus salah satu SMA unggulan di Jakarta.

Pada masa itu, persaingan untuk menjadi yang terbaik di kelas sangat ketat. Ditambah intensitas bergaul Dani yang semakin sering, menyebabkan dirinya banyak mencoba jenis-jenis narkoba yang lain. "Setelah menginjak masa SMA, kita kan pasti dikasih kepercayaan lebih. Dikasih mobil sendiri, boleh pulang agak pagi, malah boleh gak pulang. Jadi intensitas untuk makai dan nyoba-nyoba drugs yang lain lebih bebas dibanding SMP." ujar penggemar berat dari Mika Hakinnen ini. Menurut Dani, narkoba seperti cimeng dan minuman keras sebenarnya tidak membuat dirinya kecanduan. "Soalnya saya make kan untuk seru-seruan aja, bukan merupakan kebutuhan. Jadi tidak menimbulkan adiksi bagi saya." ucap lelaki yang menyukai segala jenis makanan ini.

700 Ribu Sehari untuk Putau

Malapetaka akhirnya datang ketika Dani mencoba barang bernama putau. "Waktu itu saya baru memasuki masa kuliah, tahun 1996. Ada teman yang sudah lama tidak bertemu, dia dulu nongkrong bareng sama saya, tapi dia lama nongkrong di tempat lain, dia masuk ke tongkrongan kita lagi dan dia bawa barang baru itu, putau. Saya nyobain lagi. Awalnya biasa aja, malah lebih aneh lagi rasanya dari pas nyoba cimeng dulu. Pertama saya nyoba tuh malah muntah-muntah, gak ada enak-enaknya sama sekali deh pokoknya. Kalau cimeng sama minum kan gak terlalu bikin addict banget, soalnya bisa kita takar. Tapi kalau putau ini jahat banget, gak akan ada kata cuma sekali nyoba, pasti lu akan pake untuk yang kedua, tiga dan seterusnya." papar Dani.

Sejak saat itu, hidup Dani mulai hancur. Pertemanannya bubar, karena setelah mereka mencoba putau, kepribadiannya berubah menjadi mudah curiga dan sirik dengan yang lain. Uang hasil kerja kerasnya jual beli mobil bekas juga ludes untuk membeli barang haram ini. Sesekali Dani juga mengambil barang milik ibunya karena dalam satu hari minimal ia menghabiskan uang Rp 700 ribu untuk membeli putau. Hubungan dengan keluarga jadi tidak harmonis. Kuliah jadi tidak terurus. Awalnya orang tua Dani tidak curiga kalau penyebab perubahan sang putra adalah karena putau, tapi lebih fokus pada kuliahnya yang tidak terurus saat itu.

Selama empat tahun Dani menjadi budak putau. Ia memakai putau dengan cara disuntik memakai insulin. "Satu hari bisa make satu setengah gau atau gram. Sekali masukin ke insulin bisa seperempat gau. Satu hari bisa sekitar enam kali pake, 3 kali pagi, 3 kali dari sore ke malam sampai paginya lagi untuk koncian (pemakaian terakhir, Red.). Pokoknya udah ngalamin yang badan tuh tidak bisa ngapa-ngapain lagi, make udah gak kerasa lagi, badan udah nolak sendiri, sampai muntah-muntah." kenang Dani.

Menurut Dani, kalau sedang sakaw atau nagih, rasanya tidak karuan. Di satu sisi dirinya hopeless (putus harapan, Red.) karena badan sudah tidak bisa berbuat apa-apa, yang minta ibaratnya badan tapi pikiran tidak tahu ke mana. "Rasa sakitnya sih udah gak bisa diceritain. Pada saat sakaw ibaratnya kalau kita disuruh bunuh presiden dengan imbalan dikasih uang untuk beli putau, lu pasti akan kerjain, "ucap Dani. Tiap hari rasa sakaw itu pasti dirasakan oleh Dani, dan setiap sakaw itu juga ia harus putar otak agar bisa membeli putau. "Kita harus bisa survive, bagaimanapun caranya." Dani menambahkan.


Pembelajaran di Penjara
?
Setiap pemakai yang ingin sembuh pasti punya titik balik. Alasannya bisa macam-macam - ada yang karena orang tuanya meninggal, temannya OD (over dosis), dan lain-lain. Dani pun mengalami itu. Tahun milenium 2000, Dani mulai sadar. Teman-temannya sudah banyak yang sembuh dan sukses, di samping banyak juga yang menemui ajal. Ia sadar harus memilih mau ke mana hidupnya, sembuh atau mungkin mati. Ia lalu meminta kepada orang tuanya agar diobati. Namun apa daya, Dani tidak kuat, akhirnya ia relaps atau balik lagi memakai putau. Orang tuanya tidak patah arang dan kembali mengobati Dani, tapi lagi-lagi ia relaps hingga sang orangtua menyerah.

Tahun 2001, ketika Dani dan seorang kawannya sedang memakai putau di sebuah museum di Jakarta, ia tertangkap basah oleh seorang tentara dan akhirnya mereka berdua digelandang masuk penjara. Karena usaha yang dilakukan oleh orang tuanya, Dani akhirnya bisa direhabilitasi terlebih dahulu ke panti rehabilitasi Pamardi Siwi, Cawang. Selama empat bulan, lelaki tinggi besar ini harus menjalani terapi dan rehabilitasi. "Saya belajar banyak di Pamardi Siwi. Di sana kita nyuci sendiri, ngerjain apa-apa sendiri yang tadinya semua itu tidak pernah saya lakukan. Pokoknya kotoran yang saya pakai sehari-hari, harus dibersihin sendiri. Banyak aktivitas yang membuat saya tidak bergantung pada orang lain." ujar Dani.

Setelah selesai menjalani rehabilitasi, Dani harus merasakan kembali dipenjara. Walaupun menunggu sekian lama, akhirnya keputusan hukum untuknya turun juga. Dani diputuskan bersalah dan harus menjalani hukuman tujuh bulan penjara dikurangi masa tahanan. "Saya sudah dipenjara dua bulan di polsek. Akhirnya saya harus menjalani hukuman itu lima bulan lagi tapi dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang khusus narkoba." tutur Dani.

Pengalaman di Lapas narkoba Cipinang menurut Dani biasa-biasa saja. "Di sana sih senang-senang aja, udah seperti satu RT, gak ada susahnya. Tidak seperti ketika saya dipenjara di polsek." ucap Dani. Di penjara polseklah dani mengalami cobaan hidup yang begitu berat. "Saya dikasih contoh sama Allah. Di situ saya dikasih lihat masih banyak orang yang lebih susah daripada saya, masih banyak yang dikasih beban yang lebih berat daripada saya. Saya jadi sadar bahwa keadaan saya seperti ini sudah untung banget. Alhamdulillah saya baru dikasih ujian kayak gini. Mental saya diuji begitu masuk penjara, kadang naik kadang jatuh banget." tutur Dani. Sejak itu ia bersumpah tidak akan memakai putau lagi, dan ingin segera membangun kembali puing-puing hidupnya yang hancur.

Motor Butut Pinjaman

Juli 2003, setelah menjalani sisa hukuman selama lima bulan di Lapas Cipinang, Dani pun akhirnya bebas. Selama dua bulan Dani tidak ada kegiatan. Untuk mengisi waktunya yang kosong, Dani mencoba membangun kembali usaha jual beli mobil bekasnya yang terbengkalai. Tetapi tidak banyak yang bisa dibangun karena ia tidak punya uang lagi. Meminta uang kepada orang tua, Dani berpikir ulang. "Saya malu, sudah membuat orang tua susah. Mereka sudah habis sekitar 150 juta-an untuk mengurusi saya waktu di penjara. Jumlah itu kan tidak sedikit, padahal keluarga saya bukan keluarga kaya. Mungkin uang itu adalah tabungan orang tua untuk beli sesuatu, malah habis untuk mengurusi saya." Dani mengemukakan alasannya. Ia bahkan merasa malu sekali ketika sang ayah membelikannya rokok karena kasihan melihat anaknya itu tidak merokok karena tidak punya uang.

Pengalaman dipenjara membuat Dani menjadi orang yang kuat. Dani tidak ingin terus-menerus terpuruk, ia lalu mencoba mencari pekerjaan "Saya mencari lowongan di koran selama dua bulan. Karena saya toh tidak bodoh-bodoh banget dan saya punya keahlian di bidang otomotif. Akhirnya saya kepikiran kenapa tidak mencoba menjadi seorang sales mobil. Berbagai merek saya lamar, dan alhamdulillah diterima."

Pertama kali Dani bekerja, ia tidak memiliki baju, dasi, dan celana yang pantas. Handphone dan motor yang menjadi dua perangkat wajib untuk seorang sales, ia juga tidak punya. Beruntung temannya ada yang meminjamkan pakaian kerja dan ayahnya juga meminjamkan motor butut merek Honda Astrea. Handphone dan kartu perdana ia dapat dari uang hasil jualan barang elektronik kepada saudara-saudaranya. "Pengalaman hidup saya dulu membuat saya tahu gimana caranya bertahan hidup. Di dunia kerja pun akhirnya saya bisa survive, di bulan pertama saya bisa jualan mobil satu, begitu juga di bulan-bulan berikutnya. Saya sadar bahwa saya sendiri yang nyeleneh di keluarga, padahal keluarga saya baik-baik. Cuma saya yang bikin ulah. Tapi ya mungkin itu proses hidup saya. Yang saya lihat di sini positifnya, mungkin dengan saya seperti itu, seneng gaul, nongkrong, sampai akhirnya nyoba-nyoba. Tapi saya ngerasa saya jadi banyak ketemu orang jadi saya juga bisa tahu orang. Bisa tahu gimana cara mendekatkan diri sama orang. Kan yang namanya di kerjaan, bukannya penjilat ya, bagaimana pendekatan kita ke atasan ataupun temen sekantor. Positifnya, ex-user (mantan pemakai narkoba, Red.) itu jadinya lebih kreatif. Karena pengalaman saya memasukkan teman-teman yang juga ex-user di tempat kerja saya juga begitu." ungkapnya panjang lebar seraya menambahkan bahwa bukan berarti sales yang bukan mantan pemakai itu tidak kreatif.

Jangan Takut

"Semenjak saya masuk penjara saya sudah tidak memakai putau. Sampai sekarang saya sudah lima tahun drug free." ujar lelaki yang hobi menata mobil bekas ini bangga. Kondisi seperti ini menurut Dani hanya bisa dicapai apabila kita memiliki hope atau harapan untuk sembuh. "Trust hope, kita harus percaya sama harapan-harapan kita, not fear jangan ketakutan." Karena menurut Dani takut hanya akan menimbulkan pikiran negatif yang belum tentu benar. Dani mengatakan bahwa dirinya bisa menjadi contoh bahwa mantan pemakai narkoba pun mempunyai masa depan, asalkan mau berusaha untuk meraihnya. Dani menghimbau bagi orang yang masih memakai agar berhenti dari sekarang. "Lo pakai narkoba cuma dapat dua hal, yang pertama ke rumah sakit, mungkin mati dan yang kedua berurusan sama hukum atau dipenjara. Kalau lo pake terus, umur lo sekarang sudah berapa? Masih banyak yang belum lo lakuin di hidup ini, yang bisa bikin hidup lo bahagia seperti bekerja, beli barang-barang, rumah. Nikah, punya anak terus ngeliat anak lo nikah. Kalau lo masih make, lo mau ngelakuin kapan?" tantang Dani sekaligus menutup perbincangan sore itu. (DIM

Kisah Rizal - Di Penjara, Narkoba Tuh banyak Banget


Tidak banyak orang yang berani secara terus terang mengaku dirinya mantan pecandu narkoba, mengingat status tersebut memalukan alias aib bagi keluarga serta masyarakat. Rizal, seorang pemuda usia 22 tahun yang tinggal di kawasan Bintaro adalah salah satu dari sedikit orang yang berani mengakui dirinya mantan pecandu dan ingin mengubah paradigma bahwa korban narkoba bukanlah aib melainkan korban yang butuh pertolongan. Rizal bahkan bersedia diwawancarai oleh SADAR untuk mengisi rubrik "Kisah Nyata" dengan identitas dan foto yang tidak ditutup-tutupi.

Hanya mengenakan kaus dan kain sarung, Rizal menceritakan semua pengalamannya kepada SADAR di Masjid Al-Karim, Bumi Bintaro Permai. Pemuda berperawakan kecil ini mengaku sudah mengecap semua asam garam seorang pecandu - dari tahap mencoba-coba sampai harus menginal di "hotel Prodeo" karena tertangkap polisi. Namun saat ini, ia sudah berangsur pulih dan mulai kembali menata hidupnya serta rajin beribadah, seperti sholat dan mengaji.


Mencoba sejak SMP

Sejak tahun 1998 ketika baru lulus Sekolah Menengah Pertama, Rizal mulai mengkonsumsi narkoba. Awalnya, ia mencoba jenis ganja atau dikenal dengan nama cimeng yang terus ditawarkan teman akrabnya. Waktu itu, Rizal belum tahu kalau barang itu adalah ganja. Temannya selalu mengatakan bahwa barang itu enak, sama seperti rokok. Demikianlah yang sering terjadi. Mereka yang menawarkan saat itu memasang wajah akrab, layaknya teman dekat, bukan wajah seram dan memaksa.

Akhirnya Rizal tidak kuat lagi menolak bujukan tersebut, mulailah ia mencoba ganja walaupun sebelumnya pemuda yang gemar berolah raga ini belum pernah merokok sekalipun. Setelah memakai ganja, ia merasa pusing sekali. "Rasanya pertama kali saya isap itu ya nge-fly gitu. Saya kan curiga rokok kok rasanya pusing banget gini. Lalu saya tanya apaan nih? Baru dia terus terang bahwa itu adalah ganja. Waktu make tuh barang biasanya saya main bola gak gampang capek, setelah make barang itu jadi cepet capek," kenang Rizal.

Sekali-dua kali Rizal memakai ganja, akhirnya ia ketagihan. "Seminggu-dua minggu pertama sih sama dia dikasih gratis, tapi lama kelamaan akhirnya saya harus beli sendiri. Waktu itu harga barangnya masih murah lima ribu, kita bisa dapet satu paket isi tiga," tutur Rizal yang mengaku mendapatkan uang jajan dari ibunya sebesar 10 ribu per hari. Walau begitu Rizal masih bisa mengontrol keinginannya membeli ganja. "Belinya ya kalau ada duit jajan lebih aja, kalau pas-pasan enggak beli," ujarnya.

Alih-alih menjadi kawan yang melindungi dan menyadarkan, sohib karib yang tinggal tidak jauh dari rumahnya inilah yang menjadi aktor terjerumusnya Rizal ke dalam jurang narkoba. Ia kemudian kerap memakai ganja bersama - kadang di kamar Rizal, kadang di kamar sang teman atau di mobil ketika sedang jalan bersama karibnya yang lain.

Pergaulannya pun semakin parah ketika Rizal menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata (SMIP), juga bersama sohib ganjanya tersebut. Di situ Rizal bersama siswa yang lain pernah mencoba semua jenis narkoba, seperti obat jenis rohipnol dan nipam, ekstasi, shabu dan lain-lain. Pada masa itu pula Rizal mulai mencoba jenis putaw yang kian mengukuhkannya menjadi pecandu narkoba.

Awal mencoba putaw pun tidak jauh beda ketika ia mencoba ganja. Lagi-lagi sang teman yang memperkenalkan putaw tersebut. Karena mereka selalu bersama-sama saat berangkat dan pulang sekolah serta aktifitas ''main" lainnya - maka ketika sang sohib memakai putaw, rasa kebersamaan itu pun muncul. Rizal menanyakan terlebih dahulu apa barang yang dipakai oleh karibnya tersebut. Kemudian dengan sedikit bujukan, akhirnya Rizal mencoba putaw tersebut. "Alhamdulillah saya gak pernah make putaw dengan cara suntik, karena kan bahaya. Saya makenya dengan cara dihisap atau di-drugs," ujar anak pertama dari dua bersaudara ini.
Masa-masa paling suram ketika dirinya menjadi seorang pecandu, diakui Rizal ketika ia menempuh pendidikan di SMIP. Hampir setiap hari ia memakai barang haram tersebut. Padahal minimal ia harus mengeluarkan uang sebesar ratusan rupiah per harinya untuk membeli barang haram tersebit. "Harga putaw dulu emang masih murah, 20 ribu masih bisa make kita. Satu hari saya make tiga kali. Pagi, siang dan malam. Semuanya sudah halal kalau jadi pecandu putaw. Jual ini dan itu, barang di kamar sampai habis. komputer, televisi, tape, 2 unit HP, dan lain-lain," ujar Rizal. Bahkan Rizal mengaku pernah make putaw satu g (satu baris, Red) dalam sehari, saat ia dan teman-temannya merayakan tahun baru. Ketika itu ia sampai muntah-muntah dan mengeluarkan darah di hidungnya atau mimisan.

Ada satu pengalaman yang tidak bisa dilupakan Rizal, yakni ketika ia memakai putaw di saat sedang menjalani ujian di sekolah. "Suatu waktu saya inget banget sebelum berangkat sekolah pas lagi ujian kita make putaw dulu di rumah teman saya itu. Pas lagi ujian, kita ngerjain soal tuh pas lagi pedaw abis (mabuk karena putaw, Red). Tapi akhirnya kita lulus juga," ucap Rizal sambil tersenyum.


Diculik ke Padang

Tidak bisa dipungkiri karakter seseorang dipengaruhi oleh masa kecilnya, termasuk didikan yang diberikan orang tua sedari kanak-kanak. Ketika kecil, Rizal mengaku bahwa ia sudah harus menghadapi kenyataan pahit perpisahan kedua orang tuanya. Bahkan ia harus rela diasuh secara paksa atau diculik oleh ayahnya ketika ia berumur lima tahun. Waktu ia, kenang Rizal, ia disuruh ibunya membeli sesuatu di warung namun tiba-tiba ayahnya turun dari bajaj dan mengajaknya pergi. Rizal tidak menyangka akan diajak pergi jauh oleh ayahnya yaitu ke Padang dan tidak pulang lagi ke pelukan sang ibu.

Di Padang, Rizal disekolahkan oleh sang ayah di sekolah dasar dekat tempat tinggalnya. Karena kesibukan ayahnya, Rizal mengaku tidak diperhatikan oleh beliau. "Saya tidak keurus abis di situ. Memang dikasih uang, tapi yang namanya perhatian kan perlu juga. Dia pagi keluar, malem baru bail. Jadi saya gak keurus. Rapor saya merah semua, karena gak pernah belajar, orang maen terus. Sekolah pagi, pulangnya langsung maen, balik-balik malem. Terus ngaji, balik ke rumah, dan tidur. Gitu terus setiap hari," ucap anak lelaku satu-satunya dalam keluarga ini.

Ancaman sang ibu yang akan melaporkan suaminya bila tidak mengembalikan Rizal memaksa si ayah membawa kembali Rizal ke Jakarta. "Waktu itu saya kurus banget, karena gak keurus. Ibu saya aja sampai heran, anak saya diapain nih, katanya ke bapak. Gua juga sampe lupa punya adik perempuan di Jakarta. Gua pikir ini siapa kok cakep banget, ternyata adik gue sendiri. Di Jakarta disekolahin lagi, lanjutin SD kelas enam. Disini diurusin sama ibu, jauh banget kasih sayang Bapak sama Ibu. Bapak tahunya ngasih duit, tapi perhatiannya kurang," ujar Rizal panjang lebar.


Titik Balik Kehidupan

Satu siang, tidak biasanya sang kawan datang ke rumah. Sebenarnya ibunda Rizal sudah melarang anaknya keluar rumah, tapi dengan alasan sebentar saja keluar rumahnya, sang ibu pun memberi izin. Tidak disangka itulah awal mula petaka yang paling berat yang harus dialami Rizal.

"Saya dijebak oleh teman saya. Jadi oleh teman saya itu, saya dipaksa beli barang," tutur Rizal. Meski saat itu Rizal menolak, sang teman tetap memaksa ia datang mengambil barang tersebut. Karena duit yang dibawa pas-pasan, Rizal pun naik sepeda bergegas menuju ke rumah sang bandar. "Tempatnya di pom bensin deket perumahan ini. Sepeda saya taruh, terus saya jalan ke atas. Balik bawa barang. Terus tiba-tiba di belakang, ada orang naik motor King ke arah saya. Padahal waktu itu di deket saya ada tukang koran bekas. Insting menjual saya keluar. Karena ada koran bekas di rumah, saya sempet nanya ke tukan koran itu, bang sekilonya berapa? Tapi
tiba-tiba orang yang naik motor itu berhenti di deket saya. Saya naluriah merespon, langsung menjatuhkan sepeda lalu saya lari. untung dia gak nembak. Saya beli BB dua, yang satu udah saya buang, yang satu gak sempet karena susah banget dibuang dari kantong. Setelah kejar-kejaran ama polisi akhirnya gua ketangkep, kepala gua diinjek dan ditodong pistol ama polisi," cerita Rizal panjang lebar.

Pengalaman menginap di balik jeruji besi memang menjadi pengalaman paling pahit yang harus dialami Rizal. Pengalaman pahit ini menjadi kunci mengapa Rizal ingin sembuh dari kecanduannya. Saat itu ia merasa sangat sedih sekali kenapa sampai harus menringkuk di balik penjara dan membuat malu keluarganya. Semenjak itu Rizal mengaku kembali menjalankan sholat dan rajin mengaji.

Saat itu ibu dan ayah tirinya bekerja keras mengurusi Rizal di penjara dan di pengadilan. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Rizal mendapat keringanan hukuman yang tadinya 12 bulan subsider 2 bulan menjadi 10 bulan subsider 2 bulan penjara. Walaupun untuk itu sudah banyak uang yang dikeluarkan keluarganya.

Pengalaman di penjara membuat Rizal jadi tahu sifat macam-macam penjahat. "Mereka pada cerita, ada yang ngerampok, ngebunuh. Dalam hati gua berpikir, mereka sebenarnya yang penjahat, gua sih bukan, gua cuma korban," ungkap pria yang pernah diberi uang oleh Roy Marten ketika berada di penjara tersebut.

Rizal memang bertekad ingin sembuh waktu itu, tetapi lingkungan penjara sangat tidak mendukung. "Di penjara narkoba tuh banyak banget. Makanya saya masih bisa make di penjara. Apa aja di situ ada. Ganja, putaw, anggur. Akhirnya saya beberapa kali memakai narkoba di sama," Rizal menambahkan.


Makhluk Bernama Amir


Kamis, 30 Juni 2006 Rizal akhirnya bebas. Namun ia masih khawatir, niatnya untuk sembuh dari narkoba bisa berantakan apabila terus dipengaruhi teman-temannya lagi. Diakui Rizal, ia sempat make beberapa kali ketika baru pertama kali bebas. Namun beruntung ada sekelompok teman-temannya yang baik di komplek mengajaknya untuk bergabung di kegiatan masjid.

"Mereka bilang lu mau sembuh gak. Gabung aja sama kita di masjid. Kemudian teman-teman saya melobi Om bagus, salah satu pengajar di Masjid Al Karim yang katanya bisa membantu saya sembuh. Om Bagus kemudian memberikan syarat harus ikut kuliah dan sholat lima waktu. Bahkan selama seminggu saya harus tirakat setiap hari pada waktu Maghrib dab Isya. Semenjak itu saya drug free, sampai sekarang sudah sekitar empat bulan. Om Bagus juga kalau sempat selalu menerapi saya. Bentuk terapinya ketika saya ingin mencoba narkoba ada penampakan makhluk yang besar sekali yang ngingetin saya untuk tidak menggunakan narkoba. Kalau saya maksa untuk nyoba, dia marah dan kalau dia udah marah saya bisa merasa sakit dan ketakutan. Jadinya ya, saya gak berani nyoba lagi. Namanya makhluk itu Amir kalau gak salah. Pokoknya dia serem banget, tinggi gede. Baunya seperti kemenyan, gak enak pokoknya!" tegas Rizal.

Keinginannya untuk membangun keluarga, membahagiakan orang tua dan membuktukan bahwa anak yang dibangga-banggakan ini tidak seburuk yang mereka kira, merupakan modal kuat Rizal untuk pulih dari kecanduan narkoba. Tidak lupa Rizal berpesan kepada pembaca SADAR agar menghindari narkoba "Hindari aja barang-barang kayak gitu. Gak ada manfaatnya juga, itu hanya kesenangan sementara aja. Karena lu bisa ngabisin duit. Lingkungan sekitar rumah kita jadi gak tenang, gak damai, jiwa dan hati kita juga gak tenang, selalu dicari-cari. mending kita apa adanya aja nikmatin hidup ini. Untuk yang belum makai, hindari aja. Jangan sampai menyentuh apalagi mencoba. mending cari kegiatan lain yang positif," ujarnya mantap menutup obrolan malam itu.

(dari: SADAR BNN November 2006)



Salah Ketik?


Mungkin ya..saya salah ketik. Mengapa KISSad? tentu saja ada alasannya yang jelas bukan tentang KISS atau cium, juga bukan iklan tentang cium mencium. Lalu apa? Apa...ya? Silahkan terka..
Yang pasti blog ini muncul bukan berisi tulisan-tulisan saya. Lho..koq berani? Ya, saya memberanikan diri karena rekan-rekan saya yang menulis tulisan ini sangat erat dengan pekerjaan saya selama ini. Saya coba inspirasikan apa yang harus mereka tulis, lalu mesti menghubungi siapa narasumbernya, mendiskusikan apa yang perlu ditulis dengan rekan lainnya.
Akhirnya tulisan rekan-rekan ini semakin banyak.....sayang kalau tidak dikumpulkan, sayang kalau dibiarkan hilang terpendam oleh waktu.