Ibarat Pemancing yang dimainkan Ikan


SEWAKTU di pesantren, saya pernah mendengar peringatan seorang kyai, agar jangan lagi menyentuh narkoba karena dapat menyengsarakan diri. Narkoba adalah sesuatu yang tidak berguna dan dapat berakibat kematian. Jadi percuma saja membuang umur hanya untuk menikmati barang haram tersebut.

Bahkan kyai itu pernah membuat perumpamaan, mencoba narkoba itu ibarat tukang pancing yang bisa-bisa dimainkan ikan. Alih-alih memperoleh ikan, malahan kita yang terseret hanyut. Ada benarnya, memang, memasuki dunia narkoba itu bagaikan menceburkan diri kelautan ide yang tidak jelas batas ke dalamannya.
Narkoba bermula dari masalah dan berakhir dengan masalah. Namun, masalah awal dan akhir memiliki bobot yang jauh berbeda. Ketika hidup sedang dirundung masalah dan tak memiliki jawaban bijak dan cerdas, maka hati dan pikiran kita tak lagi tumbuh, terjebak pada kesombongan sekaligus kepicikan hingga akhirnya mencoba narkoba untuk melepas masalah, Padahal itu justru menimbulkan masalah baru yang bisa bermuara pada kematian.
Namaku Bayu (bukan nama sebenarnya). Aku tinggal di Cimanggis, Depok. Pada tahun 1998 hingga 2002, pernah tercatat sebagai santri di salah satu pesantren di daerah Cikarang Jawa Barat. Meski sudah tidak mondok (tinggal) di pesantren lagi, tapi Bayu sebulan sekali masih datang kepesantren untuk mengikuti pengajian guna menambah ilmu keagamaannya. Ia masuk ke pesantren, awalnya bukan lantaran ingin memperdalam ilmu agama, melainkan karena orangtuanya sudah tidak tahu lagi harus mencari panti rehabilitasi seperti apa agar anaknya bisa berhenti pakai narkoba ketika itu.
Beberapa panti rehabilitasi pernah menjadi kost sementaranya, tapi ia tak pernah jera juga untuk tetap pakai barang haram tersebut. “Bersyukur aku dikirim kepesantren, karena kini aku telah sembuh sebelum sempat diciduk aparat karena memakai narkoba, “katanya datar.
Berangkat dari pengalaman yang kerap nyerempet bahaya dan bisa berakhir kematian, kini Bayu sangat ingin bersungguh-sungguh memperdalam ilmu agama bersama sahabat-sahabatnya semasa dulu menjadi ‘pesakitan’ di pesantren untuk meningkatkan kualitas keimanan yang sempurna.

Awal Kisah
Bagaimana Bayu sampai terjerumus narkoba ?. Diakuinya, ia lahir dari keluarga mampu, ternyata membawa penilaian minus yang tak dapat dihindari saat menjalin cinta dengan seorang gadis sebut saja Btari dari keluarga biasa. Sebenarnya Bayu tak pernah mempermasalahkan materi. Bahkan iapun terbiasa makan di warteg atau warung tenda kaki lima, sayangnya hubungan mereka yang telah terjalin lima tahun tidak direstui orangtua Bayu.
“Apalagi waktu itu, aku tengah menempuh semester akhir, gimana ga stres, “katanya sambil menghiasap rokoknya dalam-dalam.
Menurutnya, yang membahagiakannya saat itu adalah cinta Btari yang tidak pernah berubah. Dia tetap Btari yang dikenalnya saat Ospek, penuh ketegaran. Padahal tak terhitung kalinya Btari menangis karena tekanan dari orangtuaku yang mengharuskan kami berpisah. Hubungan kami sempat merenggang. Kami seolah bermain peran, saling menjauh, tak pernah menelpon dan secara rahasia bertemu di tempat-tempat tertentu.
Tapi serapat-rapatnya bermain peran pada akhirnya ketahuan juga. Suatu ketika aku kepergok orangtuaku sedang makan malam bersama Btari. Orangtuaku marah besar begitu tahu aku masih berhubungan dengannya. Diambilnya kunci mobil dan dipaksanya aku untuk naik ke mobil yang ditumpangi orangtuaku. Namun tiidak hanya itu saja, bahkan kekasihku menjadi sasaran kemarahannya. Akupun masih sempat melihat dari balik kaca mobil, Btari beberapa kali menghapus air mata dengan tangannya yang mungil.
Sejak peristiwa itu, untuk menjaga perasan Btari aku memutuskan menjauh darinya. Sialnya, semakin aku berusaha melupakan, semakin dekat saja bayangan dirinya. Kuliahku yang tinggal selangkah lagi, praktis berantakan, apalagi orangtua menuntut untuk segera menyelesaikannya.
Beragam cobaan yang terus menghantamku, membuat jiwaku rapuh. Kesendirian, frustrasi dan entah apalagi yang bergejolak dalam pikiran dan jiwaku. Perasaaan seperti itulah yang mendekam erat dipikiranku dan membuat beban hidupku semakin berat. Gagal dalam urusan cinta dan kuliah mengubah hidupku jadi semakin tak karuan.
Bayang-bayang frustrasi dan keputusasaan menjelma nyata, begitu dekat dimataku. Aku tak kuasa memikulnya. Sebagai pelarian masalah aku sering ke diskotek ‘HP’ sebagai tempat mangkal sehari-hari melepas stress sambil menenggak minuman keras. “Aku juga gak tahu kapan persisnya pakai narkoba. Semuanya mengalir begitu saja. Bosan dengan minuman, aku coba ekstasi terus sabu dan terakhir putaw, “papar Bayu.
Sambil bercerita, sesekali Bayu menghisap rokoknya, kemudian melanjutkan kembali ceritanya. Menurut Bayu, dibawanya ia ke panti rehabilitasi, lantaran kepergok oleh ibunya ketika sedang pakai putaw di kamar. Bapakku yang tengah sibuk kerjapun ditelpon dan dipaksa pulang oleh ibu untuk membuat keputusan buat diriku. Suasana sempat hening sejenak dan tak lama riuh kembali manakala bogem mentah bapakku mendarat dimuka tanpa sempat aku mengelak. Aku coba melawan, tapi lenganku ditarik ibu. Ibupun protes dengan sikap bapak yang tidak dapat mengontrol emosinya. Tak jarang kalimat istiqfar keluar dari mulut ibu untuk menenangkan hati bapak.

Proses Pemulihan
Setelah suasana berubah tenang, kedua orangtuaku membuat keputusan untuk memasukan aku ke salah satu panti rehabilitasi di Jakarta sebagai upaya pengobatan ketergantungan narkoba. Setelah menjalankan serangkaian pengobatan di panti rehabilitasi dan dinyatakan pulih, aku diperbolehkan pulang. Celakanya beberapa bulan kemudian aku relaps (kambuh) lagi. Kemudian aku masuk lagi ke panti rehabilitasi, tapi setelah keluar aku kambuh lagi.
“Beberapa kali aku keluar masuk panti rehabilitasi tapi gak jera-jera juga, sampai-sampai orangtuaku yang gantian frustasi, “kata Bayu setengah bergurau.
Bersyukurlah, aku punya orangtua yang tidak lelah dan patah semangat membantu menyadarkan diri ini untuk segera lepas dari ketergantungan narkoba. Akhirnya aku diajak ke pesantren oleh orangtuaku untuk segera bertobat dari prilaku yang telah menyimpang jauh selama hidup.
“Alhamdulilah, kini aku cukup bahagia. Apalagi kalau ingat pengalaman beberapa tahun lalu, aku masih bergelimang dengan kenistaan duniawi, “ujarnya.
Diakhir wawancara, Bayu mengatakan, meski dirinya pernah gagal dalam cinta, hidup dalam dunia pesta yang tidak pasti dan terjerat narkoba, namun ia sangat yakin hanya ada satu yang bisa memberikan segala yang terindah dalam memilih arah untuk kemana. Kita memohon saja pada yang Maha Pengasih semoga perlindungannya selalu hadir disetiap langkah kita. Oya, tasbih dan sajadah kini selalu ada dibangku belakang mobilnya, Alhamdulilah. (W)

BEREBUT KASIH SAYANG DENGAN BANDAR



Ronny Pattinasarani
BEREBUT KASIH SAYANG DENGAN BANDAR

Di jagad persepak bolaan tanah air dialah sang macan lapangan. Seorang yang siap menjemput bola di manapun disepak. Pada masa-masa jayanya, ia tampil sebagai pemain dan pelatih sepak bola yang paling dicari oleh klub papan atas. Hingga datang suatu masa yang paling suram… ditengah gelap malam yang senyap, dengan langkah gontai menyusuri hitam jalanan mencari-cari dimanakah gerangan sang anak yang ia kasihi.

Saya sudah tidak perduli lagi orang mau sebut apa Ronny Pattinasarani. Kawan-kawan saya bilang , ‘eh sudah gila barangkali si Ronny, kok jalan malam-malam sendirian…’ “Saya akan lakukan apa saja, dan saya akan lepaskan apa saja yang ada pada diri saya demi anak saya yang sedang menderita”, demikian penuturan Ronny Pattinasarani dalam suatu perjuampaan dengan SADAR di kawasan Kemang.
Berkali-kali Ronny menekankan bahwa dirinya lah yang salah sehingga kedua anaknya menderita oleh kecanduan narkoba. “Saya sebenarnya sedang dihukum melalui apa yang menimpa anak-anak saya”, ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Ya, Ronny harus menerima kenyataan bahwa dua anak laki-lakinya terjerat zat yang mematikan itu.
Ketika ia memandangi anaknya yang tertidur di kamar setelah didera siksaan menahan candu, hatinya berbisik, “Apa kesalahan anak ini sehingga ia harus menderita seperti ini?”
Demi mengasihi kedua anaknya, Ronny melepaskan pekerjaannya sebagai pelatih sepak bola yang merupakan sumber pemasukan terbesar buat keluarga. Ia mencurahkan seluruh waktunya untuk mengurusi mereka. Kapan saja ia dibutuhkan, ia akan selalu ada disamping mereka. Kasih sayang yang bercampur rasa iba dan perasaan ikut menderita yang ditunjukkan Ronny, menghasilkan bentuk perhatian yang sulit dimengerti siapapun juga. Dengan sukarela, Ronny acap menyediakan putaw ketika kedua anaknya sedang membutuhkan. Ia mendampingi hingga ke tempat Bandar untuk membelikannya langsung buat mereka.


Hidup Mati, Beda Tipis
Cahaya lampu hiasan di Dimsum Festival tempat kami bertemu malam itu, meremang, seolah ingin memprotes tindakan Ronny terhadap anak-anaknya. Kenapa bisa begitu? “Alasannya hanya satu”, jelas Ronny, “Saya tidak tega melihat anak saya menderita. Setelah saya lihat sendiri didepan mata saya, putaw yang mereka pakai bisa melepaskan mereka dari penderitaan, saya merasa wajib menyediakannya untuk mereka. Pada saat itu, saya juga menangis karena saya tahu saya ikut membunuh anak saya secara perlahan. Saya tidak punya pilihan lain selain saya harus menolong anak saya segera lepas dari penderitaannya walaupun hanya sesaat. Saya lakukan itu juga karena saya tahu pasti, anak saya sudah bertekad mau sembuh. Tapi mereka kan tidak punya jalan keluar… Supaya mereka tidak lekas menyerah, saya ingin mereka teryakini bahwa saya sangat peduli dengan keadaan mereka”.
Lagi-lagi akal manusia sulit menyelami pengalaman pribadi seseorang yang berpasrah dalam iman, seperti yang dialami Ronny. Berikut kesaksiannya: “Bukan karena saya frustasi atau putus asa, tapi karena saya sudah siap kalau pada akirnya saya akan kehilangan kedua anak saya. Buat pemakai narkoba, kemungkinan hidup atau mati itu beda tipis. Cepat atau lambat anak saya akan meninggal, entah itu karena over dosis atau jadi perampok diluar lalu terbunuh oleh polisi, tapi kalau tokh itu terjadi, mereka sedang berada dalam kasih sayang saya. Itu kekuatan saya juga untuk sealu bertahan agar anak saya bisa sembuh. Karena saya yakin tidak ada kata menyerah sama Tuhan, walaupun kita sendiri babak belur”.
Ronny sampai pada satu titik balik dalam pengabdiannya kepada keluarga, khususnya kedua anak laki-lakinya yang sedang berjuang untuk sembuh. Ia memutuskan untuk mengurus sendiri anak-anaknya. “Sebab setelah dua kali terapi dengan dokter, kedadaan mereka tidak kunjung membaik. Lalu saya ulangi lagi dengan dokter yang lain, tetap tidak baik juga. Hati saya tidak rela seandainya mereka meninggal saat sedang ditangani dokter atau yang lainnya. Jadi saya mengubah sendiri cara penyembuhannya, yaitu dengan mendekatkan diri saya secara pribadi kepada Tuhan dan kepada mereka”, tutur Ronny yang mengungkapkan bahwa rahasia sukses kesembuhan kedua anaknya merupakan proses yang berlangsung melalui tiga simpul hubungan antara dirinya dengan Tuhan, keluarga, dan anak-anaknya. Menurut Ronny, yang membuat rumah tangga menjadi terang bagi anak adalah kasih sayang.
Karena itu ia dan istrinya selalu memperlihatkan kesatuan pendapat. “Mengurus anak normal saja pusing, apa jadinya kalau kita sering ribut-ribut didepan mereka?” sambungnya.
Sofyan Ali, Ketua Gerakan Anti Madat [GERAM], yang menjadi fasilitator kami bertemu dengan Ronny Pattinasarani malam itu menambahkan, “Kalau ada anak terkena narkoba, satu keluarga bisa mati. Masalah narkoba ditengah keluarga menyebabkan tingkat keributan keluarga., utamanya selisih pendapat antar suami-isteri, begitu tinggi sehingga hal itu sering berujung pada perceraian”.

Keduanya Terjerumus Narkoba
Kasih sayang yang ia berikan bukan sekedar ungkapan, namun ia praktekan dalam sikap dan perbuatan. Buahnya ialah anak-anak Ronny, yang termasuk anak penurut terhadap orangtuanya. Ronny bercerita suatu kali anaknya terlihat mengambil barang dari rumah dan pergi mencari putaw, lalu ia kejar dan menyuruhnya pulang, saat itu juga dia akan pulang dan mengembalikan barang. Teringat hal itu Ronny terharu sekai sebab ia tahu anaknya saat itu sedang butuh-butuhnya. Tpi karena anaknya merasakan kasih sayang yang nyata dari dirinya, anaknya tidak pernah sedikitpun melawan dan tidak pernah mau ribut dengannya. Itu pengakuan anaknya setelah sembuh, ketika ditanyakan kembali oleh Ronny setelah tiga tahun lamanya menangani mereka.
Anak kedua Ronny, lebih dahulu terjerumus narkoba. Baru kemudian menyusul kakaknya. Pertamakali anaknya mengaku memakai narkoba, reaksi Ronny biasa saja. Karena informasi tentang putaw waktu itu belum bayak , ia pikir putaw hanya semacam minuman ringan beralkohol atau sejenis obat nipam yang tidak terlalu ganas. “Saya curiga, sakit panas dinginnya anak saya, kok lain meskipun sudah dibawa ke dokter, lalu saya cari tahu apa sih putaw, apa sih shabu. Begitu tahu dari teman yang sering pakai, saya kaget setengah mati…”

Tidak Boleh Saling Menyalahkan
Apa tindakan selanjutnya? “Langkah pertama, saya beritahu Stella, isteri saya. Saya bilang, ‘Anak kita Jerry pakai narkoba. Ini bukan aib, hanya suatu musibah. Karena itu kita harus tolong kita punya anak’. Lantas komitmen awal kami adalah agar diantara kami berdua tidak boleh saling menyalahkan. Setelah itu kami bawa dia menjalani perawatan medis. Tapi tidak sembuh. Si kakak yang tadinya disuruh jaga, malahan ikut-ikutan pakai. Mulailah dari situ barang-barang dirumah sering berhilangan”. Kenang Ronny.
Bagaimana agar emosi tetap terjaga? “Dengan doa. Jarang saya sampai marah-marah. Pernah jam 1 malam orang menggedor pintu rumah. Katanya anak saya punya utang. Mau bilang apa kecuali saya minta maaf… Begitu anak pulang, saya tidak apa-apakan dia sebab dia sendiri dalam posisi otak yang tidak normal. Saya hanya buang waktu dan tenaga bicara dengan orang seperti itu. Yang bisa saya perlihatkan hanya sikap. Saya rangkul dia. Lalu dikamarnya saya sempatkan tidur disampingnya biar cuma lima menit. Jadi hanya itu. Kalau kita ngomel bisa-bisa dia malah kabur lagi”. Bentuk kasih sayang lainnya? “Waktu, kedekatan, dan yang paling penting sikap, itu yang dibutuhkan anak”, kata Ronny mantap, “Misalnya sewaktu dia pulang, saya peluk lantas saya tanya dia darimana saja… Dia pikir dia akan dimarahi ternyata tidak”.
Ketika berurusan dengan Bandar? “Saya tidak dendam, karena megurus anak saya sudah susah. Buat apa tambah masalah? Cuma kepada bandarnya saya bilang, dia tahu saya siapa, dan saya tahu dia siapa, jadi saya minta dia jangan berbuat macam-macam dengan anak saya. Saya tidak mau keras-kerasan , karena itupun tidak akan menolong anak saya, tapi bisa malahan lebih parah”.
Menurut catatan Sofyan Ali, bandar bisa menghabisi pelanggan yang ia rasa sudah mengancam keberadaannya, dengan melebihkan dosis pemakaian narkoba secara sengaja atau mencampurnya dengan bahan yang mematikan. Berkaitan dengan itu, Ronny pernah menyaksikan dua teman anaknya meninggal akibat over dosis, namun dalam pikirannya mereka sebenarnya dibunuh. Itulah yang ia jaga dari anaknya. “Makannya saya berebutan kasih sayang sama bandar”, tandasnya. Ronny mengakui kalau dirinya dulu kurang memberikan kasih sayang dikarenakan jadwalnya yang padat sebagai pelatih diberbagai tim kesebelasan daerah sehingga ia jarang bertemu anak. “Makannya saya anggap ini semua hukuman. Tapi Tuhan tidak menghukum langsung, melainkan melalui anak saya. Hukumannya sangat berat... sangat berat… sangat berat”, tambahnya penuh sesal.

Minum Racun Serangga
Seperti apa perasaan ikut menderita? “Pada waktu anak saya sakaw, saya peluk dia terus… Dia meraung minta tolong agar badannya dipukuli . Tapi saya tidak lepas. Saya peluk terus. Sampai menjelang pagi, begitu saya ada uang, saya belikan putaw buat dia… Kalau sudah begitu, saya tidak bisa apa-apa lagi. Apalagi kalau kedua anak saya sakaw berbarengan. Belum lagi ketika salah stau dari mereka, saya dapatkan hendak bunuh diri dengan meminum racun serangga. Dia merasa sudah tidak punya kekuatan lagi untuk sembuh. Dan dia tidak mau mengecewakan saya orangtuanya. Jadi dia cari jalan pintas daripada menyusahkan orangtua terus, dia lebih pilih mati. Itu pikirannya waktu itu. Saya bersyukur dia masih tetap hidup. Ini yang saya jadikan bahan untuk menghiburnya, bahwa masih ada Tuhan, sahabat yang pasti sanggup menolong. Sejak itu dia punya kekuatan untuk terus bergumul”, papar Ronny sambil memperbaiki posisi duduknya.
Kemana mencari informasi tentang metode-metode penyembuhan dari narkoba? “Nggak tahu, saya seperti kehilangan akal. Tapi dari awal, saya percaya ini hukuman Tuhan. Dan saya yakin hukuman ada batasnya. Yang menghibur saya ialah kalau anak saya belum sembuh, berarti saya belum beres sama Tuhan… jadi saya harus beres dulu. Karena itu saya minta tolong sama Tuhan. Dan sewajarnya kita mendekatkan diri kepada siapa kita mengharapkan pertolongan. Itu yang jadi pegangan saya”. Proses kesembuhan anak-anak Ronny tidak terlepas dari pelayanan gereja. Terapinya, kalau orang sakaw biasanya mencari putaw, disana mereka mencari Firman Tuhan dengan membaca ayat-ayat dari Alkitab dan saling mendoakan. “Dalam Tuhan tidak ada yang mustahil , itu yang selalu saya ingatkan pada mereka”, tambah Ronny yang mendapatkan kekuatan diri dengan selalu berdoa.
Apa pengalaman berharga dari semua cobaan itu? “Keterlibatan mereka dengan narkoba dan kesembuhan mereka yang ajaib, sangat berhubungan dengan pertobatan keluarga. Keinginan mereka yang kuat untuk sembuh, membawa pemulihan dalam keluarga, sehingga kami sekeluarga bisa selalu kumpul. Kedua anak laki-laki saya yang tadinya dianggap sampah, bisa berjiwa besar meminta maaf. Dan mereka membuat kesaksian itu didepan keluarga dan banyak orang… Kami semua menangis waktu itu”.
Nasihat orangtua yang mengalami masalah yang sama? “Orangtua hendaknya jangan takut kehilangan status, popularitas, atau kenikmatan hidup. Jangan takut berkorban untuk kepentingan anak. Kalau anak berhasil sembuh , pasti berkat lainnya akan datang”.

Jatuh bangun seorang wanita pecandu


Jatuh bangun seorang wanita pecandu
“Saya Yakin, Setiap Pecandu Bisa Berhenti!”

AGAK berat untuk mengingat masa lalu yang saya alami. Sedikit takut memang. Entah kenapa, ketika ingin bercerita saya harus berpikir keras. Sebagai seorang wanita, banyak yang telah saya alami dalam hidup ini, hidup yang tergolong kacau dan bandel. Khususnya tentang masalah narkoba. Dikerjain teman hingga mabuk sampai “ditiduri”, kabur dari rumah, berpacaran dengan bandar narkoba, sakaw di tempat kerja, dan berbagai hal nista lainnya. Karena narkoba itulah, hidup seperti angin berputar yang tidak tentu arah.

Itulah kisah ringkas Mona (bukan nama sebenarnya, Red.). Iapun tidak begitu setuju bila semua yang terjadi padanya dikatakan sebagai buntut dari perpisahan orang tua sejak ia menginjak sekolah dasar. Bersama dengan lima orang kakak laki-lakinya, Mona memilih tinggal bersama sang ibu. Perceraian itu, diakui Mona, berakibat pada hilangnya perhatian untuknya dan saudaranya yang lain. Hingga, dua orang saudara laki-lakinya juga terjebak dalam lembah hitam narkoba.
Kehidupan bandel Mona, dimulai ketika ia menginjak bangku SMP. Akibat dari pergaulan yang terlalu bebas, ia memulai kebiasaan merokok. Sejalan dengan itu, Mona akhirnya mulai mengenal dan mencoba ganja. “Minuman juga pernah coba, tapi gak terlalu sering.” tuturnya.
Perkenalan dengan ganja terjadi tanpa disengaja. Saat itu, kakak laki-lakinya sering membawa teman untuk menginap. Di rumahnya yang terbilang besar dan sepi, sang kakaknya sering menggelar pesta mabuk bersama teman-temannya. Akibat sering melihat kejadian itu, Mona jadi sangat mengenal seluk beluk orang mabuk. Buruknya, iapun jadi semakin ingin mencoba.
Pada suatu waktu ia bermain di kamar kakaknya. Di bawah kasur, ia menemukan daun ganja baik yang sudah dilinting ataupun yang masih dibungkus koran atau plastik. Jumlahnya lumayan banyak. Mona pun jadi berkesimpulan bahwa kakaknya dan teman-teman yang sering dibawanya tidak saja seorang “pemakai”, tapi juga seorang bandar.
Sekedar iseng, karena terbiasa merokok, Mona jadi sering mengambil ganja yang telah dilinting untuk dihisap. “Awalnya saya mau tahu, bagaimana sih rasanya. Katanya kalau ngisep ganja, matanya merah. Karena itu, sehabis menghisap, saya sering bercermin. Dan ternyata biasa aja. Cuma memang agak sedikit pusing.” ungkapnya mengenang.

Dijebak dan Diperkosa
Menginjak SMA, kehidupan bandel yang dilakoni Mona makin menjadi. Pergaulannya makin bebas. Di akhir pekan, ia sering tidak pulang untuk berkumpul dengan teman-temannya. “Saya mulai bandel untuk gak pulang. Cobain nongkrong-nongkrong, hingga masuk ke diskotik.” tutur anak bungsu ini.
Usia Mona masih 15 tahun saat menginjak kelas satu SMA, namun ia telah mengenal alkohol dan obat-obatan. Tidak sulit bagi Mona untuk mendapatkan 2 jenis barang haram itu untuk dikonsumsi bersama teman-temannya.
Satu waktu, Mona bertemu dengan teman yang dahulu sering nongkrong bersama. Sebut saja nama temannya itu T. Mona menyebut T itu sebagai “abang-abangan”, yaitu sebutan anak nongkrong untuk memanggil teman yang lebih tua. Oleh T, ia dikenalkan dengan seseorang yang dikatakan sebagai pemilik sebuah diskotik di daerah Jakarta Pusat. Bersama T, Mona sering berkunjung ke diskotik yang dimiliki oleh teman T tersebut. “Ketika main ke diskotik itu, sayapun sering ditraktir makan dan minum. Terkadang dikasih ongkos buat pulang.” jelasnya.
Suatu hari, ketika sedang berkunjung ke diskotik teman T tersebut, Mona mabuk berat. Ketika ingin pulang, iapun dicegah oleh T. Saat itu Mona ditawari agar tidak usah pulang dan dijanjikan untuk disewakan sebuah kamar hotel. “Biasanya, sehabis ke diskotik itu saya langsung pulang ke rumah. Namun, kalau tidak pulang saya juga langsung ke tempat teman dan nongkrong lagi di sana sampai pagi.” ucap Mona.
Ketika ditawarkan kamar hotel tersebut, iapun sempat berpikir macam-macam. Namun, karena ia percaya kepada T, pikiran itu tidak digubrisnya. Mona juga sempat dijanjikan oleh T bahwa apa yang ditawarkan adalah karena kepedulian terhadapnya. “Udah, lu masuk aja ke kamar. Masuk dan lu kunci dari dalam. Beres. Tinggal tidur dah lu!” ungkap Mona menirukan ucapan T.
Ketika terbangun dari tidur, dan masih di bawah pengaruh mabuk, Mona melihat seorang laki-laki yang tertidur sambil memeluknya. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah ditipu oleh T. Mona pun yakin ada “bisnis tersembunyi” untuk dirinya yang dilakukan oleh T.
“Ternyata dia berniat jelek. Mungkin dia berpikir, ah si Mona itu kan sering nongkrong dan pergi bebas bersama laki-laki. Jadi gampang aja. Padahal dia salah besar! Walaupun sering main dan nongkrong, saya bukan seperti yang dia kira.” geram Mona mengingat apa yang dirasakannya saat itu.

Kabur ke Jambi
Setelah kejadian itulah, kehidupan Mona berubah. Ia merasa malu dan bersalah. Peristiwa di malam jahanam itu tidak pernah diceritakannya pada siapapun, namun perasaan malu terus menyelimuti. Ia jadi malas untuk melakukan apapun dan makin sering tidak pulang ke rumah.
Tidak kuat menahan beban, Mona akhirnya bercerita kepada seorang teman. Saat itu terlintas di pikirannya untuk membunuh orang yang telah memperkosa dirinya. Dalam kekalutan, Mona mengajak sang teman untuk kabur dari rumah. Pulang dari sekolah, mereka berdua akhirnya pergi ke Jambi. “Saya pikir saya bisa menentukan jalan sediri.” tuturnya polos.
Di Jambi, mereka menetap di sebuah kamar kos. Di daerah asal lagu “Injit-injit Semut” ini, Mona bergaul dengan sekelompok anak motor. Ia pun menjalin hubungan dengan seorang anggotanya. Pria inilah yang terkadang membantu kebutuhan hidupnya. Dekat dengan keluarga sang kekasih, Mona sering menginap di rumahnya. Untuk memenuhi biaya hidup, terkadang Mona mendapatkan uang dengan bertaruh balapan motor.
Kehidupan yang jauh dari keluarga ini memang tidak jauh berbeda dari apa yang dialaminya di Jakarta. Nongkrong, masih menjadi rutinitas. Ritual mabuk-mabukan pun sering dilakukan. “Kalau di sana maboknya gak terlalu parah. Mungkin karena barangnya juga yang gak terlalu banyak.” ulas Mona.
Selama di Jambi, Mona tidak putus komunikasi dengan keluarga. Mona sering menelepon sang ibu, namun ia tidak pernah memberitahu di mana keberadaannya. Walaupun jauh dari Jakarta, pikiran untuk membunuh pemerkosa dirinya masih membara di benak Mona. Seakan ia tidak pernah lepas dari dendam kejadian nista tersebut.
Berkat nasehat dari kekasih dan teman-temannya, lama-kelamaan dendam itu hilang. Mona sering diberi pengertian, walaupun ia membunuh pria amoral tersebut, keperawanan dirinya tidak akan kembali lagi. Bahkan ia nantinya akan berurusan dengan pihak berwajib. “Saat itu saya hanya berpikir, bila membunuh orang itu nanti keluarga akan tahu apa alasan-alasan yang menyebabkan saya jarang pulang dan kabur dari rumah.” geramnya.

Kembali ke Jakarta dan Kecanduan Putaw
Setelah satu setengah tahun menetap di Jambi, Mona akhirnya kembali ke Jakarta pada awal 1996. Saat pulang ke Jakarta, ia tidak langsung ke rumah. Kebetulan ia bertemu dengan teman akrabnya kala SD yang bekerja di daerah Daan Mogot, Jakarta Barat. Bersama temannya pula Mona menetap dan dibiayai untuk menyewa sebuah kamar kos di daerah Kota, Jakarta Utara.
Tidak diduga, penghuni kos sebelah kamarnya adalah seorang bandar putaw. Monapun akrab dengannya. Alih-alih menumpang untuk meracik narkoba dagangan, sang bandar sering datang ke kamar Mona. Dengan tangan terbuka, iapun mempersilahkan sang bandar untuk memakai kamarnya. “Kebetulan kamar yang saya tempati ada AC, dengan alasan itu pula bandar tersebut lebih betah di sana,” tutur Mona.
Sambil meracik, sang bandar sering menawarkan contoh barang dagangan ke Mona. Tanpa segan, Mona pun mencoba memakai putaw tersebut dengan cara di-drugs, yaitu dibakar dan dihisap uapnya. “Setiap hari dia ke kamar. saya dan teman sering dikasih tester putaw dengan gratis. Tapi setelah melihat kita sudah sakaw, iapun jadi tidak numpang meracik lagi. Mau tidak mau kita yang berganti pergi ke kamarnya untuk meminta putaw. Malah dia terkadang tidak memberi bila kita meminta, hingga akhirnya terpaksa harus membeli.” ingatnya kesal.
Mulai dari situ diri Mona kecanduan putaw. Setiap hari ia ketagihan. Kehabisan uang dan tidak tahu mesti berbuat apa lagi, dalam keadaan sakaw, Mona memberanikan diri pulang ke rumah.

Coba Jarum Suntik
Pulang ke rumah, yang ada di pikiran Mona adalah cara mendapatkan uang untuk membeli putaw. Disekolahkan kembali oleh sang ibu, Mona pun memanfaatkan keadaan dengan alasan klise untuk mendapatkan uang, seperti membeli buku, bayar uang sekolah, dan lain-lain. Tamat SMA, Mona mengikuti kursus di sebuah lembaga pendidikan bahasa. Di situlah ia bertemu kembali dengan mantan pacarnya. “Ia sudah beristri, namun katanya ia sayang sama saya. Ia sering memberi uang yang akhirnya saya pergunakan untuk membeli putaw,” papar Mona.
Lulus dari tempat kursus, Mona kembali pergi dari rumah dan ngekos. Di situ ia diajak oleh seorang teman untuk bekerja di sebuah diskotik. “Awalnya pacar saya selalu memberi uang. Ketika mengetahui saya adalah pemakai, iapun memutuskan saya. Di situlah saya kehabisan uang sampai akhirnya kerja di diskotik.” Kenang Mona.
Saat terjadi kerusuhan di bulan Mei 1998, Mona kesulitan mendapatkan putaw. Saat itu dia mendatangi seorang bandar yang hanya mempunyai putaw dalam bentuk cair dan harus dipakai dengan disuntik. Dengan sangat terpaksa, Mona pun mencoba memakai putaw dengan cara disuntik. Kenikmatan yang berbeda pun dirasakan Mona. Sejak itulah ia selalu memakai putaw dengan cara disuntik.

Sakaw di Tempat Kerja, Pacaran sama Bandar
Tahun 1999, Mona mulai kehabisan uang. Jangankan untuk membeli putaw, untuk biaya hidup sehari-hari sangatlah susah. Dalam keadaan sakaw, ia kembali pulang ke rumah. Saat itu Mona dalam pengaruh Leksotan - yaitu sejenis obat yang menurut para pengguna putaw dapat menghilangkan rasa sakaw - Mona mulai cerita pada ibunya semua kejadian yang menimpa selama ini.
Setelah itu, Mona dimasukkan dalam program terapi Rumah Sakit Fatmawati. Dalam pengobatan itu ia berobat jalan. Selama hampir dua bulan Mona menjalani pengobatan di rumah. Setelah pulih, Mona mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan air minum. Sibuk bekerja, iapun lupa dengan narkoba. Diakuinya, disitu ia benar-benar jauh dari segala jenis narkoba, terkecuali merokok. Kehidupan normal itu hanya berlangsung tiga bulan. Satu saat Mona bertemu dengan seorang rekan kerja pecandu putaw. Sebut saja namanya W.
Awalnya Mona tidak tahu bahwa ia pecandu. Namun, karena sering berbincang dengan W, lambat laun Mona tahu. Ternyata, W dan istrinya adalah pasangan pemakai putaw. “Yah, namanya pemakai. Kalau ketemu, ngobrol pasti nyambung aja. Mungkin karena kesamaan nasib,” ujar Mona pelan.
Faktor sugesti dan juga pengaruh W, akhirnya Mona kembali mencoba putaw yang telah ia tinggalkan. Setiap jam makan siang, pastilah W datang dan membawa putaw. Mereka memakainya berdua. Karena pendapatan W lebih rendah, terkadang uang untuk membeli putaw berasal dari Mona.
Karena kebiasaan barunya itu, Mona tergoda untuk menghubungi teman-teman lamanya yang merupakan bandar narkoba. Bila ia dapat membeli sendiri tanpa W, pastilah putaw yang ia dapatkan akan lebih cukup untuk dipakai sendiri, pikir Mona saat itu. Setiap jam makan siang, dengan menggunakan ojek, Mona mendatangi bandar-bandar kenalan lamanya. Mona jadi sering sakaw di kantor, bahkan di saat jam kerja.
Uang gaji pun akhirnya terpakai untuk belanja putaw. Sampai ia bertemu dengan seorang bandar yang tertarik kepadanya. Kesempatan itupun digunakan oleh Mona. Ia menjalin hubungan dengan sang bandar. “Lumayan saya pacarin dia. Kadang-kadang saya bisa dapat barang gratis. Waktu itu saya kalau beli kan pakai ojek, dia juga yang kadang bayarin tuh ojek.” ujar Mona.

Dukungan Orang Tua yang Berarti
Karena tindak-tanduk sang putri bungsu mulai aneh lagi, orang rumah mulai curiga. Hampir delapan bulan Mona memakai putaw sambil bekerja. Rekan-rekan kerjanya tahu dan mengadukan Mona ke atasan. Mona akhirnya dikeluarkan. Dengan sedikit tipu daya, orang tuanya kembali memasukkan ke sebuah panti rehabilitasi di daerah Bintaro, Jakarta Selatan.
“Waktu itu aku sedang sakaw di rumah, saya minta uang pada orang tua. Kemudian ibu menawarkan untuk ikut dengannya dahulu baru dikasih uang. Ternyata saya dibawa ke panti rehabilitasi.” cerita Mona.
Sebelas bulan lamanya Mona menjalani proses terapi. Hingga akhirnya, di awal 2002, ia kabur dari panti rehabilitasi tersebut, dan kembali ke rumah. Mona kembali mendapatkan pekerjaan di sebuah toko kaset. Ia menyewa sebuah kamar kos lagi sambil bekerja. Suatu waktu ia bertemu mantan kekasihnya yang seorang pemakai. Pengaruh narkoba pun kembali hinggap dalam kehidupan Mona.
Setelah itu ia menjalani kehidupan kembali sebagai pemakai narkoba. Hingga akhirnya, ia terkena jangkauan sebuah lembaga yang menangani pecandu narkoba di wilayah Cideng, Jakarta Barat. Lembaga itu bergerak dalam pengurangan dampak buruk dari narkoba, khususnya pecandu yang menggunakan jarum suntik.
Tidak lama setelah itu, Mona pun ditawarkan untuk menjalani terapi substitusi dengan menggunakan Metadon yang ia jalani hingga kini. Menurut Mona, dosis yang dipakai dalam terapinya kini adalah 5 mg. Iapun berharap, dosisnya berkurang lagi di kemudian hari hingga akhirnya ia tidak perlu menggunakan apa-apa lagi.
Dikatakan Mona, seorang pecandu narkoba bila ingin berhenti harus dari keinginan hatinya sendiri. Mona yakin, setiap pecandu bisa berhenti! Iapun mengakui, dukungan orang tuanya sangat besar dirasakan olehnya. Orang tuanya pun akhinya bersatu kembali dan tinggal bersama hanya untuk membenahi apa yang terjadi pada Mona dan juga kakak-kakaknya. “Mereka pernah bilang, mereka rujuk kembali hanya untuk anak-anaknya. Dan hal itu dirasakan sangat berarti bagi saya dan juga semuanya.” tutur Mona mengakhiri pembicaraan. (IR)

Dokumentasi Korban Narkoba tahun 70an, Dispen Polri