Kisah Seorang Pengabdi di tempat Rehabilitasi Narkoba


LELAKI itu setiap hari tanpa jemu mengunjungi dan mengingatkan pecandu narkoba yang sedang dibina di tempat rehabilitasi, untuk tetap mempunyai semangat hidup. Hal itu dilakukan agar penghuni tempat rehabilitasi itu bisa segera pulih dan kembali kepada keluarga dan lingkungannya.
Menekuni pekerjaan seperti itu tampaknya tidak mudah. Buktinya makian atau umpatan pasien sering dialamatkan kepada Zulkifli Lubis, seorang pria yang setia mengabdi di salah satu tempat rehabilitasi di Pekayon Bekasi Barat. Namun demikian, Pak Zul demikian biasa disapa tidak merasa kapok melakoni pekerjaan itu.
Zul sendiri tidak henti-hentinya mengingatkan pasien yang kedapatan tidak disiplin. Misalnya Rudi salah seorang seorang residen yang suka lupa untuk membersihkan dan membereskan kamarnya. Kedatangan Zul dimata Rudi sangat menakutkan karena pikirnya pasti dirinya disuruh untuk membereskan kamar tidur yang masih berantakan. Bahkan sorot mata Zul menyiratkan kekhawatiran bagi Rudi
“Bapak ini suka nakut-nakutin. Saya sudah tahu bapak ke sini, pasti nyuruh beresin kamar lagi. Tapi sebentar lagi ya, pak Zul,”ujar pria berusia 32 tahun sambil tertawa kecil.
Rudi sendiri, seharusnya setiap hari wajib merapikan dan membersihkan kamarnya tanpa disuruh seperti rekan-rekan lainnya yang juga menjadi penghuni di rehabilitasi itu. Namun apa daya, efek narkoba yang menyerang kejiwaan Rudi, membuat laki-laki berkulit bersih itu jadi sering lupa.
“Dahulu, ketika pertama kali Rudi dirawat di sini, ia sering mengamuk, bahkan kalau disuruh membersihkan kamarnya sering melawan. Bahkan tidak jarang ia kerap melempar barang-barang yang ada di kamarnya, tapi sekarang ini sudah banyak perubahan, hanya penyakit lupanya yang masih sering terjadi, “ujar Zulkifli .
Mendengar protes Rudi, Zulkifli yang setiap hari bertugas memeriksa setiap kamar pecandu hanya tersenyum. Kalau sudah begini, pria ramah ini hanya meminta Rudi untuk tetap membersihkan kamarnya, meski harus menunggunya.
"Nanti setelah membersihkan tempat tidur, terus mandi dan kita makan bersama, dengan teman-teman yang lain,” kata pria berusia 46 tahun ini.
Pria yang hanya lulus Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) ini terus membujuk Rudi, agar memiliki kedisiplinan dan inisiatif selama menjalani perawatan di rehabilitasi. Hal itu sangat penting, sebagai gambaran untuk memastikan apakah proses pemulihan yang sedang dijalani Rudi benar-benar telah menunjukan hasil signifikan atau belum. Bila belum, Rudi masih harus menjalani pengobatan lanjutan selama beberapa bulan kedepan.
Bagi Zulkifli, keluhan tentang mahalnya biaya rehabilitasi menjadi penyebab banyak pecandu yang direhab ditempat ini sering mangkir. Bukan cuma keluhan, terkadang kakek lima cucu ini harus berlapang dada mendapat omelan pasien yang keberatan atas kunjungannya.
"Kadang kala, kalau saya berkunjung ke rumahnya, pasien lebih galak!” kata Zulkifli.
Ketika dirinya menanyakan langsung ke pasien, kenapa tidak mau datang ke tempat rehab lagi? Pasien tersebut mengatakan, “Emangnya bapak yang merasakan? Saya yang ngerasain,”ujar seorang pasien seperti dituturkan Zul.
Bagi Zulkifli, omelan pasien merupakan risiko pekerjaannya sebagai petugas pengawas pasien narkoba. Terpenting, ia dapat memastikan mulai dari pengobatan hingga pemulihan yang dijalani penderita hingga tuntas, sesuai perjanjian yang ditandatangani pasien ketika akan menjalani pengobatan. Jika pengobatan pecandu tidak tuntas, karena tidak ada biaya dan kabur yang kasihan adalah keluarganya, namun yang lebih menderita lagi si pecandu itu sendiri. Sebab, bisa dimungkinkan ia akan kembali lagi pada komunitasnya. Bahkan yang paling mengkhawatirkan adalah, kalau si pecandu yang tengah dirawat ternyata positif HIV/AIDS, dan memakai narkoba jarum suntik yang tidak steril. Hal itu tentu bisa menular pada pecandu yang bergantian jarum suntik dengan pasien yang positif HIV tersebut.

Awal Kisah
Zulkifli Lubis menjadi pengawas pasien pecandu narkoba sejak awal 1990. Awalnya, pada 1980 dia bekerja sebagai pesuruh dan penjaga sepeda direhabilitasi narkoba dan kejiwaan dijalan Raya Pekayon Bekasi Barat. Upahnya waktu itu Rp 200 ribu per bulan. Kini gajinya Rp 900 ribu per bulan. Karena keuletan dan kepatuhannya, Zulkifli dipercaya mengurusi arsip catatan pasien. Setelah mendapatkan pelatihan di rehabilitasi itu, kemudian Zulkifli naik pangkat menjadi petugas pengunjung pasien.
Awal bertugas sebagai pengunjung pasien, pria bertubuh kecil ini mengaku takut. "Takut ketularan, apalagi kalau ada pasien yang menderita HIV positif!. Tapi Lama-lama, biasa. Nggak ada rasa takut, apalagi ia diberitahu oleh seorang dokter, kalau penyakit HIV/AIDS hanya bisa tertular lewat, pengguna jarum suntik secara bergantian yang tidak seril, hubungan intim dan transfusi darah” katanya.
Bagi Zulkifli, yang penting menjaga kebersihan dan hidup sehat. Namun, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Baru dua tahun bekerja direhabilitasi itu, Zulkifli diserang batuk hebat berkepanjangan. Menurut dokter, Zulkifli mengidap TBC. "Kaget juga! Lha saya ini ngurusin orang sakit, kok bisa sakit. Gimana kata orang? Yang ngunjungi pasien saja sakit," katanya sambil terkekeh.
Bahkan bakteri TBC di paru-paru Zulkifli sempat menulari putri sulungnya. Istri dan anak-anaknya pun protes dan memintanya berhenti kerja direhabilitasi. Tapi ia bergeming. Zulkifli meyakinkan keluarganya bahwa ia tak perlu keluar dari rehabilitasi tersebut. “Namanya penyakit! Siapa mau sakit? Anggaplah sebagai cobaan,” ujarnya. Syukurlah. Karena berobat secara teratur, Zulkifli sembuh total. Demikian juga putrinya yang kini telah memberinya tiga cucu yang lucu.
Menurutnya jumlah orang Indonesia yang menjadi pecandu narkoba ini tak kunjung turun. "makin ke sini pasien semakin banyak," kata Zulkifli. Dulu ia biasa melayani sekitar 10 hingga 20 pasien. Sekarang jumlah pasien meningkat menjadi sekitar 50 pasien sehari. Tak jarang pada hari Sabtu dan Minggu Zulkifli mengunjungi pasien yang rumahnya jauh. "Ada yang di Bogor, Cimanggis, Tanggerang dan sebagainya,” kata Zulkifli. “Kita datangi mereka. Kadang kala pasiennya nggak ada, cuma ketemu keluarganya." Zulkifli selalu mengingatkan keluarga pasien agar rajin memberi dukungan pada anaknya yang tengah dirawat, sebab kalau tidak sampai tuntas, pengobatan yang tengah dilakukan akan sia-sia," ujarnya.
Walau bekerja di luar waktu kerja, Zulkifli tidak mendapat upah tambahan. Ia hanya mendapat penggantian uang transportasi saat berkunjung ke rumah pasien. "Nanti kita bikin laporannya, sebelumnya pakai uang sendiri dulu," katanya. Dan Zulkifli dapat mengklaim uang trasportasi setiap bulan.
Zulkifli adalah satu-satunya petugas pengunjung pasien di rehabilitasi itu. Ia menanggung beban moril jika tak bisa bertemu pasien. Dengan uang pas-pasan serta menahan lapar dan haus Zulkifli harus tetap mengunjungi pasien. Alamat pasien yang tak jelas juga menjadi masalah. Tak jarang Zulkifli kehilangan jejak pasien. "Ada juga yang numpang alamat orang lain. Pas pindah, atau pulang kampung, nggak lapor ke rehabilitasi. Rasanya kesel juga! Sudah jauh-jauh, kok nggak ada. Padahal, pertama kali berobat, mereka sudah dikasih pengarahan harus berobat sampai tuntas. Malah pasien sendiri yang bilang mau sehat. Tapi, begitu sudah agak mendingan, nggak datang lagi," gerutunya.
Namun keluh kesah Zulkifli berubah menjadi gembira tiada tara ketika pasiennya dapat pulih dari ketergantungan dan efek narkoba. Rasa lelah dan kesal menguap. "Ibaratnya, saya itu berhasil. Sekalipun saya nggak bisa ngobatin, tapi omongan saya didengar mereka," katanya.
Hubungan dengan pasien yang begitu lama membuat Zulkifli merasa bagai saudara sendiri. "Kita kan merasa kasihan. Ada orang yang berobat ke sana ke sini, nggak sembuh. Begitu berobat ke sini bisa sembuh. Orang itu kadang-kadang jadi saudara. Istilahnya ya kita ini cari persaudaraan, menolong sesama,” katanya menyudahi pembicaraan (W)

0 komentar: