Fatamorgana Sang Idola

IDOLA, selalu punya daya magis. Segala atribut dan prilakunya bisa menjadi pembenaran buat sebagian fans fanatiknya. Lantas, apa jadinya jika artis yang diidolakan itu, ternyata pengkonsumsi narkoba? Inilah penuturan seorang laki-laki, yang terjerumus narkoba lantaran mengikuti kehidupan fatamorgana sang idolanya.
Nama saya Toro (bukan nama sebenarnya). Saya dibesarkan di sekitar lingkungan narkoba dan alkohol, tepatnya di daerah Tambak Matraman Jakarta Pusat. Saya sudah merokok waktu usia mencapai 8 tahun. Sementara pada usia 12 sudah mabuk-mabukan, karena hal itu saya selalu mendapat masalah dengan hukum.
Masuk SMP, ketika usia 12 tahun, saya sudah minum, pakai pil BK dan menghisap ganja. Kebiasaan itu berlangsung selama bertahun-tahun. Ketika itu, saya tidak pernah tahu apakah kehidupan yang selayaknya atau hidup bersih. Adapun yang saya tahu dan lakukan adalah selalu mabuk-mabukan dan berpesta setiap waktu bersama-sama teman-teman.
Terus terang, saya adalah fans fanatik salah satu grup musik anak muda. Kecintaan saya pada grup musik itu, bahkan pada salah satu personilnya melebihi segala-galanya. Saking cintanya, kamar sayapun penuh dengan poster sang idola. Tidak itu saja, segala atribut yang dikenakannya, pasti saya tiru.
Singkat cerita, dari informasi yang saya dapat, setiap Rabu grup musik itu selalu menggelar jumpa penggemar, usai latihan bermusik di base campnya di bilangan Jakarta Selatan. Kesempatan itu, saya manfaatkan untuk lebih dekat dengan sang idola, mulai dari minta tanda tangan, foto bersama serta mendengar pengalaman grup musik itu dalam mencapai kesuksesan.
Saking seringnya saya ke base camp, lama-kelaman saya jadi betah dan akrab dengan komunitas itu. Sayapun jadi sering bolos sekolah dan kerap menginap, meskipun tempat untuk menampung para fans grup musik itu tidak terlalu besar. Selama berada dikomunitas itu, saya berkenalan dengan sebut saja namanya Ringgo dari Bogor yang mengaku penggemar fanatiknya dan juga sebagai kurir narkoba.
Ringgolah yang mengajak saya untuk mencoba pada barang haram yang disebut narkoba. Menurut pengakuan Ringgo, selain ia menjual narkoba pada para fans grup musik itu, iapun mensuplai narkoba pada personil grup musik anak muda ini.
Awalnya, saya tidak percaya dengan apa yang diucapkan Ringgo. Tapi setelah melihat langsung, personil grup musik itu memakai narkoba, saya pun membenarkan apa yang dikatakan Ringgo. Saya pun bertanya pada Ringgo, alasan apa sampai mereka mengkonsumsi narkoba? Ringgo menjawab dengan santai, bahwa dengan narkoba, mereka merasa menjadi sangat hebat karena dalam sehari bisa menciptakan puluhan lagu. Selain itu bisa buat tambah pede (percaya diri) saja ketika nyanyi di atas panggung

Berawal dari Bujukan Teman
Seakan, seperti sebuah pembenaran, saya pun mulai memakai narkoba. Saat itu yang terlintas di pikiran saya adalah, idola saya saja pakai, kenapa saya sebagai fansnya tidak?. Seiring berjalannya waktu, saya menjadi sangat ketergantungan narkoba. Sayapun mulai menggunakan jarum suntik dan menyuntikkannya ke lengan saya. Hidup saya berantakan dan melewati berbagai macam keadaan yang beraneka-ragam.
Saya mencuri, berbohong, curang dan semuanya jadi satu dan yang saya ketahui adalah jauh di dalam diri saya, bahwa saya bukanlah orang yang baik!. Saya hampir kehilangan hidup beberapa kali. Saya mencuri dari teman-teman dan keluarga saya. Dari semua perilaku saya yang menyimpang itu, yang paling saya takutkan adalah, kalau semuanya ini suatu saat akan berakhir didalam penjara dan mengindap HIV/AIDS
Selama menjadi pecandu, saya tahu kalau hidup saya sangat gila dan posisi kehidupan saya berada disaat yang terburuk. Saya teringat suatu kali menangis dan memberitahukan pada sahabat saya, sudah mulai jenuh dengan semua ini dan ingin secepatnya kembali pada kehidupan normal. Namun, saya tidak melihat ada cara yang efektif untuk keluar dari kehidupan yang saya jalani ini.
Setelah tiga tahun menjadi pecandu, akhirnya saya bisa juga masuk panti rehabilitasi, untuk melepaskan diri dari narkoba. Selama menjadi orang bersih, saya mendapatkan kembali semua yang musuh telah curi dari saya, beserta bunganya. Sayangnya, hal itu hanya bersifat sementara. Diakui Toto, bukan hal yang mudah ketika dia memutuskan berhenti menggunakan narkoba. Sebab, teman-temannya yang masih menggunakan narkoba selalu berusaha mengajak kembali berkumpul dengan mereka.
Disamping itu, ternyata bukan perkara yang mudah pula untuk memutuskan hubungan dengan mereka. Pasalnya, mereka pasti akan melakukan segala cara agar dirinya bisa kembali dan menggunakan narkoba lagi. Akhirnya, lima bulan kemudian, saya kambuh lagi. Kemudian berhenti lagi dan pakai lagi sampai akhirnya, grup musik idola saya memberikan kesaksian betapa tersiksanya menjadi pecandu narkoba. Bahkan salah satu personelnya, secara blak-blakan mengaku, dia menjadi sosok yang sangat berbeda ketika masih menggunakan narkoba. Setiap kali usai pentas, dia lebih suka berdiam diri di kamar hotelnya daripada menikmati suasana kota di mana grup band rock papan atas itu manggung.
Dari kesaksian itu, mereka berkomitmen sekaligus memberi pernyataan seluruh personel grup musik itu sudah terbebas dari kungkungan narkoba. Mereka pun turut mendirikan sebuah rumah rehabilitasi yang diperuntukan bagi para pecandu narkoba yang tidak mampu berobat, namun yang lebih diutamakan adalah para fanatiknya dulu.
Selain itu, secara berkala personil grup musik itu mengajak para fansnya yang mantan pecandu narkoba di rumah itu untuk menyaksikan mereka berlatih sekaligus berdekatan dengan sang idolanya. Itu salah satu cara untuk membantu penggemarnya yang menderita karena narkoba. Soalnya, mereka sudah merasakan betapa menderitanya hidup dalam cengkeraman narkoba.
Melihat sang idola telah bersih dan dapat menjalankan pola hidup sehat kembali, Toro pun termotivasi untuk berhenti pakai narkoba dan menjadikan grup musik itu sebagai role modelnya guna mengubah hidupnya menjadi lebih berguna. “Idola saya saja bisa berhenti pakai narkoba dan bisa maju, bahkan sampai dikenal orang, kenapa saya tidak bisa seperti dia? Apalgi background sama. Karena itu, saya tetap bersemangat dalam menggapai mimpi dan tidak pernah putus asa untuk lepas dari narkoba “ujar Toro.
Lebih 10 tahun, Toro menjadi pecandu, namun kini, ia benar-benar bersih dan bebas dari segala macam barang setan yang pernah menyeretnya kelimbah kenistaan. Bahkan, kini, Toro pun telah menjadi konselor di salah satu tempat rehabilitasi di Jakarta. Terbebasnya Toro dari narkoba dan bisa menjadi seperti sekarang bukanlah tanpa perjuangan. Pengalamannya selama menjadi pecandu dan keluar masuk panti rehabilitasi diambil manfaatnya sebagai tolok ukur akan kelemahan-kelemahannya. Ditambah peranan sang idola yang dijadikan role modelnya dan kerap memberi pengetahuan serta memotivasinya untuk terus maju, apalagi setelah ia dinyatakan positif HIV. (Iwan)

Kisah Seorang Pengabdi di tempat Rehabilitasi Narkoba


LELAKI itu setiap hari tanpa jemu mengunjungi dan mengingatkan pecandu narkoba yang sedang dibina di tempat rehabilitasi, untuk tetap mempunyai semangat hidup. Hal itu dilakukan agar penghuni tempat rehabilitasi itu bisa segera pulih dan kembali kepada keluarga dan lingkungannya.
Menekuni pekerjaan seperti itu tampaknya tidak mudah. Buktinya makian atau umpatan pasien sering dialamatkan kepada Zulkifli Lubis, seorang pria yang setia mengabdi di salah satu tempat rehabilitasi di Pekayon Bekasi Barat. Namun demikian, Pak Zul demikian biasa disapa tidak merasa kapok melakoni pekerjaan itu.
Zul sendiri tidak henti-hentinya mengingatkan pasien yang kedapatan tidak disiplin. Misalnya Rudi salah seorang seorang residen yang suka lupa untuk membersihkan dan membereskan kamarnya. Kedatangan Zul dimata Rudi sangat menakutkan karena pikirnya pasti dirinya disuruh untuk membereskan kamar tidur yang masih berantakan. Bahkan sorot mata Zul menyiratkan kekhawatiran bagi Rudi
“Bapak ini suka nakut-nakutin. Saya sudah tahu bapak ke sini, pasti nyuruh beresin kamar lagi. Tapi sebentar lagi ya, pak Zul,”ujar pria berusia 32 tahun sambil tertawa kecil.
Rudi sendiri, seharusnya setiap hari wajib merapikan dan membersihkan kamarnya tanpa disuruh seperti rekan-rekan lainnya yang juga menjadi penghuni di rehabilitasi itu. Namun apa daya, efek narkoba yang menyerang kejiwaan Rudi, membuat laki-laki berkulit bersih itu jadi sering lupa.
“Dahulu, ketika pertama kali Rudi dirawat di sini, ia sering mengamuk, bahkan kalau disuruh membersihkan kamarnya sering melawan. Bahkan tidak jarang ia kerap melempar barang-barang yang ada di kamarnya, tapi sekarang ini sudah banyak perubahan, hanya penyakit lupanya yang masih sering terjadi, “ujar Zulkifli .
Mendengar protes Rudi, Zulkifli yang setiap hari bertugas memeriksa setiap kamar pecandu hanya tersenyum. Kalau sudah begini, pria ramah ini hanya meminta Rudi untuk tetap membersihkan kamarnya, meski harus menunggunya.
"Nanti setelah membersihkan tempat tidur, terus mandi dan kita makan bersama, dengan teman-teman yang lain,” kata pria berusia 46 tahun ini.
Pria yang hanya lulus Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMP) ini terus membujuk Rudi, agar memiliki kedisiplinan dan inisiatif selama menjalani perawatan di rehabilitasi. Hal itu sangat penting, sebagai gambaran untuk memastikan apakah proses pemulihan yang sedang dijalani Rudi benar-benar telah menunjukan hasil signifikan atau belum. Bila belum, Rudi masih harus menjalani pengobatan lanjutan selama beberapa bulan kedepan.
Bagi Zulkifli, keluhan tentang mahalnya biaya rehabilitasi menjadi penyebab banyak pecandu yang direhab ditempat ini sering mangkir. Bukan cuma keluhan, terkadang kakek lima cucu ini harus berlapang dada mendapat omelan pasien yang keberatan atas kunjungannya.
"Kadang kala, kalau saya berkunjung ke rumahnya, pasien lebih galak!” kata Zulkifli.
Ketika dirinya menanyakan langsung ke pasien, kenapa tidak mau datang ke tempat rehab lagi? Pasien tersebut mengatakan, “Emangnya bapak yang merasakan? Saya yang ngerasain,”ujar seorang pasien seperti dituturkan Zul.
Bagi Zulkifli, omelan pasien merupakan risiko pekerjaannya sebagai petugas pengawas pasien narkoba. Terpenting, ia dapat memastikan mulai dari pengobatan hingga pemulihan yang dijalani penderita hingga tuntas, sesuai perjanjian yang ditandatangani pasien ketika akan menjalani pengobatan. Jika pengobatan pecandu tidak tuntas, karena tidak ada biaya dan kabur yang kasihan adalah keluarganya, namun yang lebih menderita lagi si pecandu itu sendiri. Sebab, bisa dimungkinkan ia akan kembali lagi pada komunitasnya. Bahkan yang paling mengkhawatirkan adalah, kalau si pecandu yang tengah dirawat ternyata positif HIV/AIDS, dan memakai narkoba jarum suntik yang tidak steril. Hal itu tentu bisa menular pada pecandu yang bergantian jarum suntik dengan pasien yang positif HIV tersebut.

Awal Kisah
Zulkifli Lubis menjadi pengawas pasien pecandu narkoba sejak awal 1990. Awalnya, pada 1980 dia bekerja sebagai pesuruh dan penjaga sepeda direhabilitasi narkoba dan kejiwaan dijalan Raya Pekayon Bekasi Barat. Upahnya waktu itu Rp 200 ribu per bulan. Kini gajinya Rp 900 ribu per bulan. Karena keuletan dan kepatuhannya, Zulkifli dipercaya mengurusi arsip catatan pasien. Setelah mendapatkan pelatihan di rehabilitasi itu, kemudian Zulkifli naik pangkat menjadi petugas pengunjung pasien.
Awal bertugas sebagai pengunjung pasien, pria bertubuh kecil ini mengaku takut. "Takut ketularan, apalagi kalau ada pasien yang menderita HIV positif!. Tapi Lama-lama, biasa. Nggak ada rasa takut, apalagi ia diberitahu oleh seorang dokter, kalau penyakit HIV/AIDS hanya bisa tertular lewat, pengguna jarum suntik secara bergantian yang tidak seril, hubungan intim dan transfusi darah” katanya.
Bagi Zulkifli, yang penting menjaga kebersihan dan hidup sehat. Namun, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Baru dua tahun bekerja direhabilitasi itu, Zulkifli diserang batuk hebat berkepanjangan. Menurut dokter, Zulkifli mengidap TBC. "Kaget juga! Lha saya ini ngurusin orang sakit, kok bisa sakit. Gimana kata orang? Yang ngunjungi pasien saja sakit," katanya sambil terkekeh.
Bahkan bakteri TBC di paru-paru Zulkifli sempat menulari putri sulungnya. Istri dan anak-anaknya pun protes dan memintanya berhenti kerja direhabilitasi. Tapi ia bergeming. Zulkifli meyakinkan keluarganya bahwa ia tak perlu keluar dari rehabilitasi tersebut. “Namanya penyakit! Siapa mau sakit? Anggaplah sebagai cobaan,” ujarnya. Syukurlah. Karena berobat secara teratur, Zulkifli sembuh total. Demikian juga putrinya yang kini telah memberinya tiga cucu yang lucu.
Menurutnya jumlah orang Indonesia yang menjadi pecandu narkoba ini tak kunjung turun. "makin ke sini pasien semakin banyak," kata Zulkifli. Dulu ia biasa melayani sekitar 10 hingga 20 pasien. Sekarang jumlah pasien meningkat menjadi sekitar 50 pasien sehari. Tak jarang pada hari Sabtu dan Minggu Zulkifli mengunjungi pasien yang rumahnya jauh. "Ada yang di Bogor, Cimanggis, Tanggerang dan sebagainya,” kata Zulkifli. “Kita datangi mereka. Kadang kala pasiennya nggak ada, cuma ketemu keluarganya." Zulkifli selalu mengingatkan keluarga pasien agar rajin memberi dukungan pada anaknya yang tengah dirawat, sebab kalau tidak sampai tuntas, pengobatan yang tengah dilakukan akan sia-sia," ujarnya.
Walau bekerja di luar waktu kerja, Zulkifli tidak mendapat upah tambahan. Ia hanya mendapat penggantian uang transportasi saat berkunjung ke rumah pasien. "Nanti kita bikin laporannya, sebelumnya pakai uang sendiri dulu," katanya. Dan Zulkifli dapat mengklaim uang trasportasi setiap bulan.
Zulkifli adalah satu-satunya petugas pengunjung pasien di rehabilitasi itu. Ia menanggung beban moril jika tak bisa bertemu pasien. Dengan uang pas-pasan serta menahan lapar dan haus Zulkifli harus tetap mengunjungi pasien. Alamat pasien yang tak jelas juga menjadi masalah. Tak jarang Zulkifli kehilangan jejak pasien. "Ada juga yang numpang alamat orang lain. Pas pindah, atau pulang kampung, nggak lapor ke rehabilitasi. Rasanya kesel juga! Sudah jauh-jauh, kok nggak ada. Padahal, pertama kali berobat, mereka sudah dikasih pengarahan harus berobat sampai tuntas. Malah pasien sendiri yang bilang mau sehat. Tapi, begitu sudah agak mendingan, nggak datang lagi," gerutunya.
Namun keluh kesah Zulkifli berubah menjadi gembira tiada tara ketika pasiennya dapat pulih dari ketergantungan dan efek narkoba. Rasa lelah dan kesal menguap. "Ibaratnya, saya itu berhasil. Sekalipun saya nggak bisa ngobatin, tapi omongan saya didengar mereka," katanya.
Hubungan dengan pasien yang begitu lama membuat Zulkifli merasa bagai saudara sendiri. "Kita kan merasa kasihan. Ada orang yang berobat ke sana ke sini, nggak sembuh. Begitu berobat ke sini bisa sembuh. Orang itu kadang-kadang jadi saudara. Istilahnya ya kita ini cari persaudaraan, menolong sesama,” katanya menyudahi pembicaraan (W)